Friday, December 21, 2012

Pintu Riuh

Jalan KH Wahid Hasyim belahan yang "sono'an, sesudah pertemuan banyak jalan, bagiku seperti lubang intip ke dunia oom dan tante-tante zaman Menteng menjadi trendsetter.

Di mulut jalan sederetan toko masih beruntung tidak diutak-atik oleh kapital cukong besar (belum?).

Di ujung paling kanan ada toko kelontong yang tak pernah sepi, persis di samping Kantin Rujak Cingur Pak Hadi.  Aku sedang beli rawon dan soto, ketika aku terhenti oleh serumpun object depan pintu biru toko kelontong ini.


Seperti puisi....

Pak Dayat dan Kedai Rokok Bulat




Dunia Pak Dayat terasa hangat. Ukurannya mungil, berupa kios rokok bercat putih di ujung jalan KH Wahid Hasyim dekat Bank Universal, perapatan dengan jalan Cemara. Gordijn di pintu masuk, transistor, jam dinding di atas kepala Pak Dayat membantu menciptakan hawa rumah di ruang sempitnya. Kiosnya unik, berbentuk 'hampir' sirkular serba simetris. 



Meninggalkan tanah kelahiran Surabaya di tahun 1962, Pak Dayat berpindah-pindah sampai akhirnya melempar jangkar di kota tua Jacatra yang sekarang kita panggil Jakarta.

Dan bukan karena kios terlalu nyaman sehingga Pak Dayat sudah cukup lama tidak pulang ke kota asalnya. "Saya malu kalau pulang ndak bawa uang cukup. Tapi saya cukup senang karena bisa hidup dengan harga diri. Itu pesan bapak saya".

'Harga diri' yang disebut Pak Dayat dalam bahasa sederhanya kupahami sebagai sesuatu yang hakiki dan mahal: martabat, dignity. Kompas dari ayah yang sudah meninggal di jaman Jepang, tak aus menuntun Pak Dayat menjalani keseharian di dunia keras Jakarta - berurusan dengan preman, tukang palak, keributan jalanan, hidup dari hari ke hari.


Pelajaran buatku bisa datang dari mana saja. Kali ini datang dari petarung dan pengarung hidup kenyang asam  garam seperti Pak Dayat. Matur nuwun. Sehat2 selalu ya.

Thursday, December 13, 2012

PADU PADAN KETAN


(dari seri “My Love Affair with Food”)

Rumah eyangku di jalan Diponegoro Surabaya berbentuk gerbong kereta api di ingatanku. Walaupun terletak di jalan besar, rumah Pakpuh dan Bupuh (begitu aku memanggil eyang2ku, singkatan dari bapak sepuh dan ibu sepuh) - orang tua ibuku ini, tidak terlalu luas, menyempit ke belakang. Di samping rumah ada gang ke arah perkampungan di belakang. Tahun tujuh-puluhan tersebut, gang banyak diisi oleh pedagang pikulan, pengemudi becak, rumah sementara bagi mereka yang merantau dari desa mengadu nasib di kota.

Kami selalu tidur di kamar utama, terletak paling belakang, yang berbau khas kayu dan kertas tua ini (aku masih ingat ranjang besar besi dengan tiang-tiang di keempat pojok untuk menggantung kelambu) serta berpintu yang membuka ke belakang, langsung menghadap samping rumah kayu mbah Hadi. Mbah Hadi suami isteri dekat sekali dengan kami. Aku lupa mbah Hadi yang perempuan mengerjakan apa, yang jelas kami berlangganan becak dengan Mbah Hadi yang lelaki.
Ketan kuning sendok ditabur nten2 (kelapa parut 
bergula jawa). Kuperoleh di pasar Puri Kembangan
                                                     
Saat liburan dari Sumantrah  (begitu kedengarannya dulu para teman-teman kami di gang ini menyebut pulau seberang), dan menginap di rumah Pakpuh/Bupuh yang teringat olehku adalah ketukan pagi-pagi di pintu tadi. Ketika dibuka, selalu ada pemandangan yang kutunggu, mBah Hadi perempuan dengan ketan kukus di tangannya, masih mengepul-ngepul bertabur parutan kelapa remaja dan kilauan butiran gula di atasnya.


Sedini itu aku ter-convert menjadi pengagum ketan.



♥♥♥

Ketan yang saudara kandung beras di tanah lain disebut sebagai beras lengket (sticky rice), beras bergluten (glutinuous rice), beras manis(sweet rice), beras berlilin (waxy rice), atau beras mutiara (pearl rice). Sisa2 kuliahku dulu di teknologi pangan (yang sayup2 teringat) menginformasiku bahwa, pati atau karbohidrat dibentuk oleh si kembar amilosa dan amilopektin. Yang pertama memberi fitur keras dan amilopektin menjadikannya kelat, lengket. Ketan beramilosa kurang dari 1 persen, sementara beramilopektin tinggi. Makanya saling melekat. Kabarnya, ini juga yang menyebabkan ketan lebih membuat tahan kenyang, mengisi porsi perut lebih besar.

Setidaknya itu yang dipercayai oleh orang-orang Laos (dan Thailand utara) sehingga memilih ketan sebagai staple food, makanan pokok. Aku baru tahu tentang ini saat menonton program teve Nat Geo berjudul Food School, mengenai perjalanan mengunjungi sekolah-sekolah masak di berbagai negara, mempelajari masakan lokal. Hostnya, eks editor majalah Gourmet (sudah almarhum, majalahnya lho, bukan orangnya)  Ruth Reichl, dalam episode di Laos menunjukkan betapa di negeri ini ketan dimakan dengan sayur, kuah kari, daging, dsb., layaknya nasi di tempat lain.

♥♥♥

Aku bersyukur makanan pokok kita bukan ketan. Memasak ketan tidak sesederhana mencuci beras, mencemplungkannya ke rice cooker dan tinggal ‘cetek’ menyalakannya. Ketan seperti saudara beras yang manja, perlu perlakuan hati-hati. Direndam, cuci, rendam lagi, baru dikukus. Waah, kesuwen rek…


Dan karena tidak ditemui setiap hari, aku mengasosiasikan ketan dengan saat istimewa, saat ada sesuatu untuk dirayakan. Seperti sarapan.

Dalam pikiranku, sarapan lebih istimewa daripada saat-saat lain, bagai ritual yang perlu upaya ekstra, dinikmati sebisanya dalam ketergesaan untuk memulai aktivitas - merayakan hari baru.

Dan di seputar Nusantara, sarapan dengan ketan sejamak rumput di lapangan bola (aduh, maksa ya? Apa dong? Ini kan lawan idiom: “mencari jarum di jerami” alias susah dicari… hehehe…).

Dari Aceh aku diceritai oleh kawan-kawanku pedagang kopi bahwa lazimnya di daerah mereka, menyeruput kopi pagi hari ditemani pulut. Di Makasar, menu sarapan bisa songkolo, ketan hitam ditaburi serundeng dan teri plus sepotong telur asin.

(gambar: Tiap kali ke pasar Mayestik, ketupat ketan dimasak dalam santan ini selalu kucari)

 Di kota2 Jawa, kita sarapan ketan disirami juruh alias gula jawa cair. Di Sumbawa, ketan kuning dimakan robekan daging panjang-panjang berbumbu. Di kota-kota Melayu, ketan disebut pulut, berwarna kuning dinikmati dengan bermacam lauk buat makan pagi.

 Di Padang, ketan sering disantap dengan pisang goreng panas, atau sarikayo yang gurih legit. (Begitu menjalin eratnya ketan dengan kebiasaan sarapan di Padang, sampai-sampai (kudengar) dijadikan ungkapan: “Seperti sarapan ketan tanpa kelapa”. Artinya kurang lebih seperti paralelnya di Inggris: ‘bangun di sisi ranjang yang salah’ (wake up on the wrong side of the bed) atau ‘hari rambut jelek’ (bad hair day). Kurang lebih artinya, bangun pagi dan semuanya jadi salah, tidak seperti yang diharapkan. Gitu deh.)

Ketan juga tampil dalam beragam bentuk. Dalam loyang cetakan menjadi dasar untuk ditumpangi adonan telur, gula dan tepung beras warna-warni menjadi berbagai jenis talam (di kampung ayahku, Banjarmasin disebut wadai).

(gambar: Ketan plus pisang goreng Bopet Mini Pasar Benhil)

Lepat ketan berisi pisang, versi Ubud, dibawakan oleh juru pijat, 
Bli Agung
Dalam bumbung bambu menjadi lemang. Dililit daun kelapa menjadi lepat, dibentuk segitiga menjadi lupis. Dipotong bentuk jajaran genjang diamond menjadi wajik.  Difermentasi menjadi tape ketan. Madu mongso yang sering kutemui di lebaran di rumah Bupuh saat aku masih anak, terbuat tape ketan hitam yang  direbus dengan santan, gula jawa dan air tapi sampai kalis, lalu dibungkus kertas minyak seperti permen.

Namun padu padan ketan aku kenal pertama kali lewat Ayahku yang asli Banjarmasin. Almarhum memperkenalkanku kepada ketan putih kukus dengan macam-macam variasinya: dengan  rendang, abon ikan, kolak pisang duren, daging buah duren, atau bahkan sekedar ditabur kelapa. Ketan khas ayah yang paling sering hadir di rumah masa kecilku sederhana sekali, hanya berteman telur asin.

♥♥♥


Tempat favoritku untuk mengobati kangen ketan ada beberapa: ketan hitam bersanding kolak pisang ala Bugis yang kental santannya dan merahnya gula meresap ke pori-pori pisang (dalam gambar sebelah kanan tengah). Ini bisa kubeli di Warung Dessaku Delima, Passer Koeningan di Pasar Festival. Ketan putih kukus disiram serikaya yang padat lembut kubeli di Bopet Mini Pasar Benhil (gambar kanan paling bawah). Boleh juga setiap suap ketan diselingi gigitan pisang goreng kipas panas-panas. Terkadang aku sarapan ketan siram susu di warung jalan Garuda ujung di Kemayoran yang buka 24 jam.

(gambar: Ketan Sarikayo Bopet Mini Pasar Benhil)

Saturday, December 8, 2012

FEMALE CHEF PERTAMAKU: MIA MADRE *

(Serial My Love Affair With Food)


Aku tumbuh dengan mempercayai bahwa dunia masakan - makanan adalah teritori perempuan. Dan dewa dapur adalah dewi, alias perempuan.

Ibuku, contohnya, kupikir salah satu titisan dewi tersebut. Meskipun selesai sekolah hukum, selain banyak bakat lainnya,  ibu juga  terkenal di kalangan yang mencintainya untuk magicnya di dapur. Menggunakan timbangan, gelas ukur, sendok takar, termometer dan timer - beliau menciptakan berbagai kue mueh lezat. Kami tumbuh besar di kota2 minyak - Sungai Gerong, Lirik, Pendopo (Sumsel), Dumai, Duri, Rumbai (Riau), Sanga-Sanga (Kalimantan). Di sini tidak ada bakery, jajanan dan restoran terbatas, hanya menyediakan hamburger, kentang goreng dan masakan Amerika lainnya. Kalau mau makan enak harus pergi keluar kompleks. Maka terasahlah ketrampilan kuliner para ibu di sini. Walaupun terpencil, acara sosial ibu-ibu ini padat - mulai dari coffee morning, kegiatan Women's Club, kanasta, belum lagi harus menghibur keluarganya dengan macam-macam penganan. Intinya, para ibu ini saling menghibur dan mengandalkan satu sama lain. Begitu juga dalam hal resep. Di buku resep ibu selalu ada catatan kecil; resep Lorry, Wolly dsb. Nama-nama teman ibu tentunya. Aku pernah menyimpan buku kumpulan resep "Duri Women's Club" terbitan tahun 70 an akhir. Di setiap resep tertulis nama kontributornya.

                                                   ♥♥♥



Mmmmmm.... Menggiurkan bukan?
Beberapa kue ibu, tak pernah kutemui diproduksi di dapur manapun. Tadinya kupikir aneh, tapi setelah kupikir-pikir, tak terlalu aneh juga sih, karena resep itu diperoleh dari teman dari negara lain sesama isteri pegawai minyak, filipina, amerika, inggris, jerman, arab - lalu berevolusi seiring dengan semakin trampilnya ibu. Contohnya adalah kue warisan 'refrigerator cake'. Kue ini berlapis-lapis dan setiap lapisnya menjanjikan surga (penasaran? ayo ke rumahku, tak buatkan).  Atau kue kebangsaan kami 'Mahogany Big Mountain Cake". Kue dasarnya mungkin tidak istimewa,  tapi setelah dinaik-kelaskan lewat berbagai teknis melapis dan "melulur" (membalurnya dengan krem), maka kue coklat ini  jadi tak ada duanya (silahkan lihat gambar di samping).

♥♥♥

Halaman yang menyirami imajiku, dan mencetus cintaku akan kuliner



"Tolong ambilkan buku coklat mami".... Instruksi  ini kami semua sudah hafal dan paham. Bukan buku tentang coklat, tapi yang covernya dari karton tebal warna coklat (sekarang buku jenis ini tak keluar lagi). Di dalamnya ada gambar-gambar sketsa kue yang diwarnai pakai pensil kelir, ada juga yang berupa potongan gambar majalah. Betapa gambar-gambar ini telah memberikan aku kesenangan hanya dengan memandanginya waktu aku kecil dulu. Salah satunya berupa kue berselaput krem yang ditancapi pohon miniatur berupa ranting. Lalu digantungi macam-macam lolipop dan permen.

Kue Tart Boneka

Dan sungguh, kue ini akhirnya diwujudkan pada salah satu ulang tahunku. Di mataku kue ini semakin magical karena batangnya yang dari perak. Well, bukan sungguhan sih. Oleh ibuku ranting-ranting ini dibalut kertas aluminium, sehingga berkilau-kilau magis.

Guratan kelir warna oleh ibu di atas buku resep berupa boneka dengan rok dari kue tart ini juga dengan tongkat ajaib ibuku hadir beberapa kali dalam keluarga kami. Lintas generasi bahkan. Bukan hanya aku dan adik-adik yang pernah dengan bangga meniup lilin yang ditancapkan ke rok kue princess ini. Anakku dan keponakan2ku juga mendapat kebahagiaan yang sama. Barusan aku menunjukkan gambar ini ke anakku. Ia bilang, "Iya ingat, ma, Ajeng punya warna pink. Dianti dapat yang ungu".



Keterangan gambar: Dalam loyang adalah refrigerator cake. Di latar belakang berwarna merah adalah satu lagi andalan ibuku, buku resep Betty Crocker (mengenai buku ini akan kuceritakan tersendiri). Di depannya, buku sakti ibu yang kumaksud. Sudah disupport kelangsungan hidupku oleh plester plastik coklat agar lembaran2 berharga ini tak bercerai berai.

                                                                       ♥♥♥

Aku bisa tak habis-habis bercerita tentang buku coklat tua yang halamannya menguning-coklat itu. Bukan hanya karena usianya, tapi juga jejak cipratan telur, coklat bubuk, gula halus, mentega, minyak.... Beberapa halaman harus 'memar' karena harus dipisah dengan paksa dengan lainnya karena melekat. Ada juga halaman yang sudah membeku garing karena zat-zat yang tak seharusnya menempel malah bersenyawa, membuatnya berderuk-deruk ketika dibalik.

Salah satu adikku, Emmy, bilang: "Mana mbak, buku coklat itu, biar aku scan lembar-lembarnya". Belum jadi kuberikan, sekarang sedang ada di tanganku. Aku bahkan punya ide lebih aneh lagi.... Dilaminating setiap lembar !! Tidak terlalu outrageous juga sih ide kami ini, mengingat betapa banyak kebahagiaan yang diberikan ibu dibantu catatan-catatan di lembaran berharga ini.


Dalam wadah ini dua jenis kue istimewa ibuku. Tidak mesti satu tahun sekali muncul. Karena susah juga buatnya, mungkin. Yang kiri, penuh dengan pecahan kacang judulnya teatime teasers. Kurasa ini versi miniatur dari pecan pie, tapi istimewa lagi karena kulit pie pakai cream cheese. Di sebelah kanan atas yang tinggal beberapa saking larisnya, adalah apa yang kami sebut pizzaline.  Ini adalah pie dengan adonan berasa pizza, ditutup dengan lembaran keju. Mozarealla lebih asyik


                                                                         ♥♥♥

Akhir-akhir ini, seperti yang kukatakan di atas, buku ini lebih sering menganggur. Bukan berarti ibu berhenti menyenang-nyenangkan hati kami-kami. Waah, jauh !! Menunjukkan cinta lewat perut itu sudah jadi moto keluarga kami. Hanya saja sekarang menggunakan e-resep lewat e-buku masakan, alias lembar-lembar internet. (Beberapa hari lalu aku baru bertelponan dengan ibu. Beliau baru mencoba resep baru somay. Dari mana mam? tanyaku. "Dari google nak", jawab ibuku. Mom, you have come a loooong way... Hehehe).





Di bawah ini adalah satu kreasi terakhir ibuku. Satu hari beliau dikirimi berkilo-kilo telo ungu (dari teman keluarga) dan mangga masak puun (dari yours truly, yana). Karena di rumah hanya ada ibu dan adikku Dina berdua saja, kedua bahan tadi terasa berkelimpahan. Oleh ibu diolah menjadi es krim . Di bawah ini resep yang beliau modifikasi dari resep van internet:




Es Krim Mangga

1 cup whipping cream
1 cup susu
1 biji mangga diblender
gula semanisnya.

Semua bahan dicampur dengan food processor atau blender. Bekukan dalam kotak plastik.
(Variasi Es Krim Telo Ungu, sama seperti resep di atas, 
hanya saja mangga diganti telo ungu dikukus dan dihaluskan.)




Jakarta 8 Desember 2012
♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥


Note: * Mia madre = my mother = ibu saya

Wednesday, December 5, 2012

Pak Djohan dan Dunia Eks Kwitang



Adakah teman yang tahu, kemana para pedagang buku Kwitang pergi? Sampai 24 jam yang lalu, aku sama sekali tak punya ‘clue’.

Tapi kemarin, potongan dunia yang bagiku penting itu, balik lagi ke hidupku.

♥♥♥

 Kemarin aku ke Blok M Square, untuk berburu warung kopi Aceh yang diceritakan temanku. Rencanaku, ngopi, bikin riset sedikit (nanti aku share di cerita lain), lalu pulang. Semua rencana kacau. Aku pulang lebih lambat dari yang aku rencanakan dan mengacak-kadulkan budget yang sudah dirinci, ‘gara-gara’ kepincut lantai ground yang dihuni komunitas Eks Kwitang. Ternyata ke sinilah mereka bedol desa. Lebih dari tiga jam aku berenang-renang di dunia Pak Yos John Preky (namanya digantung olehnya di atas kartu bergambar gadis Eropa. Please lihat gambar), Mas Ipung yang punya kios bernama Bumi Nusantara, Mas Bagus yang seperti ensiklopedia berjalan, dan Pak Djohan.

Yang kusebut terakhir ini,  sesepuh komunitas ini. Sebelum 5 tahun di sini ia telah 27 tahun berdagang di Kwitang, lalu berputar-putar, setahun di penampungan, di Senin, dan beberapa tempat lain, sebelum akhirnya berumah di Blok M. “Saya ikut berjuang lama untuk mempertahankan agar kami tidak dipindah dari Kwitang. Bahkan sampai ke kantor gubernur segala. Sebetulnya kan tidak terlalu mengganggu, kan disana tidak macet. Hanya saja memang mengganggu pandangan mata banyak pejabat yang melalui daerah tersebut”, tutur Pak Djohan tanpa kesan pahit. Menurut beliau ada 130 kios yang akhirnya berpindah kemari.

"Apakah cukup laris?" tanyaku. "Yah, dibandingkan dengan Kwitang, jauh lah mbak... Tapi saya masih selalu optimis". Aku terkagum-kagum karena September lalu usianya sweet seventeen terbalik (istilahnya sendiri) alias 71 tahun. Dan semangatnya masih berkobar-kobar. Kharisma sekaligus kerendah-hatiannya terasa. Aku tahan berjam-jam mendengarkan cerita beliau yang disampaikan dengan sederhana ini.

Contohnya ini, cerita mengenai terjualnya 60 buah buku Ensiklopedia Filsafat (entah Britanica atau Americana, ia lupa) di awal tahun 80-an, yang harus diangkut pakai vespa tuanya. "Wah, seru, depan, muka belakang, penuh buku yang dipak" Pak Djohan mengingat-ingat. Ia berboncengan dari Tebet tempat tinggalnya ke tempat janji bertemu dengan pembelinya, di depan apotek Titi Murni. "Dulu di situ ada warung kopi Al Furqon, tahu kan?" (Aku mengangguk cepat-cepat supaya cerita berlanjut). Cerita ini memang jadi istimewa karena pembelinya juga spesial, seorang  penyair, seniman teater yang juga pemilik toko buku.. "Saat itu dia baru muncul di televisi. Dia telpon saya 'nih, saya baru terima honor 270 ribu, 100 ribu buat anak buah. Saya ada sisa 170 ribu nih. Kalau mau, ini buat ensiklopedia filsafat itu"..."Duit segitu dulu besar banget jumlahnya" Lanjut pak Djohan "Nah, kebetulan saya lagi butuh duit, ya saya langsung cepat-cepat bungkus deh tu buku-buku". Beliau tertawa-tawa mengenang masa-masa indah itu.

♥♥♥

Pak Djohan asli Minangkabau, tapi hanya pernah menginjak tanah leluhurnya itu selama setengah hari dalam hidupnya, saat kakaknya meninggal dunia. Bahasa Jawanya, Sunda dan berbagai dialek, luwes dimainkannya. Tapi ia menegaskan, Minang tetap jatidirinya. Ini yang kudeteksi pada dirinya, keyakinannya akan siapa dirinya. Pekerjaan sebagai broker buku bekas, kulihat dikuasainya dalam. "Pak, saya sedang mengkoleksi buku Prof. Sartono Kartodirdjo, bapak punya gak?"... Jawaban beliau sungguh lancar, "Pemberontakan di Banten ataukah Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia?" Bukan hanya judul, isinya pun fasih dibahasnya. Beliau menceritakan betapa dulu di antara pelanggannya ada Mr. Sunaryo, Adam Malik, Suryono Sukanto, HB Jasin dan banyak nama besar lain. Beliau sudah agak lupa ketika diminta mengulang, tapi koleganya yang lebih muda, pemilik kios tetangga (aku lupa namanya), dengan tangkas menyambung dengan nama2 tokoh zaman Orla dan Orba. Aku jadi terkesan dan menanyakan, dari mana tahu, karena ia masih muda tampaknya. Ia menjawab: "Pak Djohan mengajari kami banyak hal. Banyak yang puluhan tahun telah bergaul bersama dengan beliau."

♥♥♥

Koleganya, pedagang lain yang lebih muda2 dibanding beliau ikut ngeriung ngobrol. Sesekali aku minta izin memotreti, mencoba merekam momen ini.

"Saya biasanya gak mau mbak, dipotret. Saya bilang, eeeh, itu kan ada hak ciptanya. Tapi entah kenapa sama mbak Yana kok saya gak keberatan". Mas Bagus, tetangga yang berjualan di seberang lorong, nyeletuk: "Itu persoalan nyaman dan ndak nyaman. Sekarang ini beliau merasa nyaman".

Mas Bagus, dan teman-temannya mengakui bahwa Pak Djohan adalah pembimbing, suhu mereka. Pak Djohan hanya senyum-senyum mendengar ia dianggap mentor. Tapi aku percaya yang dikatakan mereka betul. Ada dua insiden yang mungkin sekali adalah indikator kebenaran ucapan mereka. Satu, setelah aku beli beberapa buku dari beliau, dia dengan halus mengarahkan aku untuk membeli buku lain yang aku cari di tempat tetangga2nya. Rezeki rupanya tak ingin dia 'peluki' sendirian. Kedua, anak2 muda pemilik kios lain menunjukkan perilaku mirip beliau, membantu pembeli, mendengarkan, tak hanya asal buku terjual. Dan terlebih-lebih begitu begitu menguasai dunianya. Bukan hanya penulis dan penerbit, tahun penulisan, topik, disiplin ilmu, cabang-cabangnya, topik-topik khusus, peneliti, tahun penerbitan dst., khatam mereka lahap.

Misalnya waktu aku menimbang-nimbang ingin membeli buku tua "History of Jakarta"nya Susan Abeyasekere, yang mahal banget, Mas Bagus menawarkan solusi, "kalau yang ibu perlukan adalah isinya, maka tidak usah beli yang ini, beli saja yang telah diterjemahkan oleh Komunitas Bambu. Tak sampai duaratus ribu kok bu. Memang gaya menterjemahkannya berbeda, para intelektual lebih suka terjemahan jadul ini".  Berhubung aku tidak merasa intelektual akupun puas dengan terbitan Komunitas Bambu saja. Wah, aku seperti sedang pergi ke dokter spesialis yang sanggup memindai kebutuhanku dan mencari jalan keluar. Hmmmm.... berintegritas pula, tak hanya asal bisa menjual. Intuisiku bilang ini value diantara banyak lainnya yang ditularkan oleh Pak Djohan ke generasi penerus.

♥♥♥

Sebelum aku bertemu mereka, kupikir berjualan buku second hand itu sub bagian dari berdagang. Tapi Pak Djohan dan 'murid-murid’nya menyadarkanku bahwa aku mungkin salah. Lebih dari berdagang, para penjual ex Kwitang ini memaknai profesinya berbeda. Berbelas, berpuluh tahun mereka dikelilingi jutaan kata-kata yang ditulis oleh banyak orang baik yang masih hidup atau almarhum. Pengetahuan dan wisdom dari pikiran orang2 ini membentuk alam pikiran mereka. Buku2 juga bukan sekedar dipajang dan dijual tapi juga dicintai, dirawat, dan dibaca!! Ini penting, karena, lebih dari sekedar menjual, bapak-bapak ini seperti laiknya dokter atau lawyer memberi advis, tips, solusi, konsultasi kepada calon pembeli sebelum akhirnya buku berpindah ke rak pemilik baru.

Mudah-mudahan aku gak geer, tapi waktu aku menaiki tangga meninggalkan lantai itu, aku punya intuisi kuat bahwa aku dapat teman-teman baru.

Tuesday, December 4, 2012

The Windows and Doors of Melaka





TENTANG JENDELA dan PINTU
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Aku benar-benar paham kekaguman para fotografer beken terhadap jendela dan pintu. Semisal, Sorin Onisor (Romania), Ishu Patel (kelahiran India, tokoh film animasi Kanada), Steve Mccurry (Amerika), atau yang hampir beken, Oguzhan Bozkurt (Turki).  Jepretan mereka yang berobyek dua hal ini, jendela dan pintu,  membuatku menghela nafas dalam-dalam. Indah. Coba lihat di tautan ini:  http://121clicks.com/inspirations/25-amazing-examples-of-doors-windows-in-photography. Cantik bukan?

Tapi kekaguman seperti ini perasaan universal,  bukan cuma milik fotografer. Aku misalnya, yang amatir sempurna . Sama juga terpesonanya akan daun-daunan yang bukan bagian dari tanaman ini.

Bagiku jendela dan pintu bagaikan mata di wajah manusia, lubang untuk mengintip jiwa.

♥♥♥

Saat kanak-kanak, aku tak pernah bosan saat diajak pulang kampung ke Surabaya naik kereta api oleh ayah ibuku. Antara magrib dan Isa serta sesaat sesudah fajar adalah waktu kesukaanku. Di jam-jam tersebut rumah-rumah sepanjang rel kereta api sudah menyalakan lampu. Zaman itu tidak semua tempat kebagian listrik (wah, tua sekali aku ya?) - ada yang pakai lampu stromking atau bahkan lampu teplok. Pintu tak jarang dibuka lebar, sehingga bisa tampak aktivitas penghuninya. Berbagai bentuk pintu yang warna-warni juga mampu menahan aku untuk berjam-jam menengok keluar jendela, memperhatikan kehidupan di balik jendela-jendela kecil yang berkelebatan di luar. (Sayang rumah-rumah tak berpagar dengan pintu terbuka tanpa was-was, sudah jarang kulihat. Bahkan di tempat sejauh Aek Nabara, Tanjung Pinang, Pangkalan Kerinci atau Pangkalan Bun tak kudapati..... Makanya aku begitu senang waktu mendapati  deretan rumah dengan pintu ngablak terbuka dengan teve mengaum keras, dan sandal-sandal berserakan di depan pintu di kiri kanan jalan-jalan pulau Belitung, terutama di luar Tanjung Pandan, dan yang mengarah ke Manggar. Horeeeee...)

Kebiasaan naif ini, hal begitu kecil tapi memberikanku begitu banyak kesenangan ini, melongoki dan menikmati jendela, ternyata tidak otomatis sembuh setelah aku masuk ke dunia dewasa.

Berpuluh tahun kemudian, aku dan sahabatku sejak SD, Herda, menitipkan anak kami yang masih kecil-kecil ke suami masing-masing, terbang ke Solo dan bersenang-senang. Sejenak libur dari kegiatan men-juggling momong anak dengan karir.

Kami berburu pernak-pernik di pasar loak, mengicipi kimlo dan tengkleng, ke pasar Klewer, mengagumi lengkungan penyangga atap besi di lorong-lorong daerah Kauman, sangkar-sangkar burung berwarna meriah yang bergelayutan di depan rumah. Tapi terutama, kami termehek-mehek disihir pesona daun jendela dan pintu Solo. Waktu itu kami belum punya kamera. Justru karena itu imaji pintu dan jendela aneka bentuk, rupa dan warna ini membekas kuat di ingatan.

Sihir yang sama menundukkanku saat berjalan ke Malang melalui Porong yang kosong. Rumah-rumah yang ditinggalkan pemiliknya menyisakan pintu dan jendela yang terlihat murung. Pikiranku melayang-layang berimajinasi. Bagaimana ya, jika semua pintu dan jendela ini diangkut oleh penghuninya, bersama-sama dengan perabot, baju, kelambu, tudung saji, basin sayur dan pecah belah lain? Dengan demikian kehidupan di tempat baru tak akan terlalu terasa asing. (Dikepalaku terbayang gembolan berisi daun pintu dan jendela, dipanggul di bahu pakai tongkat. Aneh ya?).

♥♥♥

Ada apa memangnya dengan jendela dan pintu?

Ini yang aku dapatkan dari buku-buku tua panduan renovasi beberapa kota di Amerika dan Inggris:

"The  design,  materials  and  location  of  windows  and  doors significantly  contribute  to  the  architectural  character  of  buildings."

Desain, material dan tempat jendela dan pintu dipasang bermakna secara signifikan terhadap karakter arsitektur bangunan.

Mungkin karena itu aku tidak memperoleh keasyikan yang sama dalam mengamati pintu-pintu rumah-rumah baru, apalagi rumah baru yang mewah.  Uang bisa membeli keindahan yang megah tapi tidak keotentikan dan sejarah.  Sang waktu (dan hati) memang berperan besar untuk "mengolah" jendela dan pintu menjadi berkarakter.

♥♥♥


Tentu saja di kota seperti Melaka aku seperti menemukan surgaku. Kota itu merawat dan menjaga bangunan-bangunan tuanya. Karena perjalanannya adalah catatan leburan berbagai budaya dan pengaruh, maka jendela serta pintu Melaka merefleksikan ceritanya. Jendela dan pintu Melaka seperti ledakan warna yang kulihat saat mengintip lewat teropong kaleidoskop zaman kanak-kanakku.  Menakjubkan.

Kecuali satu pintu yang tidak jadi kupotret (keburu dibantingi pintu oleh pemiliknya, suatu salon kecantikan di lorong kecil sekitar Jonker Street yang kelihatannya datang langsung dari dunia tahun 70-an. Pada jendela masih tertulis jasa mengeriting rambut ! Mereka memang tidak suka hanya diambil fotonya, sementara jasanya tidak pernah dipakai), aku berusaha merekam sebanyak-banyaknya keindahan Melaka lewat parade jendela dan pintu yang aku hadirkan di sekujur tubuh tulisan ini.


Jakata, 4 Desember 2012

♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥




Rumah Demang Abdul Gani, dari daerah Merlimau (23 km dari kota Melaka) yang dibangun tahun 1831 oleh ayahnya Penghulu Mat Natar.*  Leluhur mereka berasal dari Palembang. Mungkin itu menjelaskan bentuk bubungan atap di atas teras yang disebut "Balai Pengharapan" (seperti ruang tunggu rakyat sebelum beraudiensi dengan pemimpin mereka), yang berbentuk perahu terbalik. Rumah ini terekspos ke berbagai pengaruh budaya. Bagian dapur terpisah, dan memiliki jenis tungku yang disebut dutch oven, clearly ini adalah pengaruh belanda. Tegel keramik bercorak di tangga batu depan menunjukkan pengaruh Tiongkok.

*catatan: dari beberapa referensi seperti  "Sejarah Singkat Nanaing" oleh Professor Abdul Zakaria bin Ghozali, dikatakan bahwa asisten residen konsuler Melaka tahun 1837 mengepalai beberapa Pegawai Daerah Pertama (District First Officer ). Dibawahnya ada lima orang demang. Menganalogikannya dengan sistem SDM di Pemerintah Kolonial Belanda (karena walau berbeda penjajah, tetapi hanya dipisah selat,  budayanya serumpun, dan sama2 mempunyai istilah "demang"), aku semakin  yakin bahwa demang = wedana.

Dinding belang separo kuning separo merah itu adalah sisi kanan dari satu toko berjudul  "Orang Utan". Tadinya aku kira ini yayasan nirlaba, karena judulnya binatang yang dilindungi ini. Lagipula  berjualan T shirt berdisain khusus dengan kata-kata yang lucu mengena (seperti Joger itu lho). Ternyata T shirt hanya spin off dari obyek utamanya yaitu lukisan. Seniman dibalik ini adalah Charles Cham, yang menggabungkan lukisan dengan gambar dan tulisan. Ia cukup terkenal ternyata secara Internasional. (Aku menginap di guest house di sebelahnya, tapi tak sempat mengunjungi gallery ini. Sayang). Papan berwarna coklat di bawah jeruji besi bertuliskan: Jalan Tukang Besi. Dulu disini banyak terdapat pandai besi. Tahun 2007, satu di antara dua pandai besi tersisa meninggal - kemungkinan karena uap tungku yang terhirup hari-hari.  Sekarang hanya tinggal satu pandai besi di sini, persis di depan guest houseku tadi. Nanti aku ceritakan khusus tentang The Last Blacksmith Standing ini.

Keluar dari makan pagi di suatu restoran sederhana mama' - atau India Selatan- (roti prata tambah  doosa -sejenis crepe- dengan berbagai chutney plus kari dan teh tarik hanya seharga 2 ringgit beberapa sen alias tujuh ribuan perak saja!), aku menemui diri di dunia zaman lima  puluhan. Ruko di sebelah resto pilihanku tadi, berdisain jadul. Ditambah sepeda dengan keranjang depan, tiga bapak-bapak  India, yang satu bersarung, lampu neon, jeruji pinu besi............. lengkaplah setting yang  mentransportasiku  ke dunia sepia. Syukur aku sempat "membekukan" momen ini....
Pertokoan bergaya  seperti ini banyak terdapat di Melaka, Penang, Singapura, Medan, dan kota-kota lain di kedua pinggir selat Melaka. Karena mengkombinasikan berbagai kultur mereka disebut bergaya peranakan atau Nyonya. Arsitektur dasarnya Inggris (Victorian) dengan pengaruh Portugis. Nuansa Cina banyak pada ornamen, lengkungan atap, paduan warna meriah dsb. Di Melaka ada daerah2 yang dinyatakan sebagai national heritage sehingga tidak bisa dirubuhkan diganti yang baru.


Di bagian dalam Gerja Christ Church yang sudah berusia lebih dari 250 tahun. Dibangun oleh Belanda, tadinya dicat putih. Tapi kemudian dicat merah pada masa Inggris tahun 1910 an.Aku punya cerita cantik di sini. Kursi jemaat di sini cantik luar biasa. Tapi karena aku tidak boleh memoto, maka aku berusaha membuat sketsnya. Rupanya sang penjaga, yang sebenarnya kerja volunteer, kasihan padaku. Karena tidak banyak pengunjung, aku diizinkan untuk mengambil foto. Horeee..... Alhamdulillah...

Sunday, December 2, 2012

LOVE AT A 'FIRST' SIGHT: BLOK M

Kata 'first' diatas aku beri tanda kutip karena tentunya daerah pasar Blok M telah kukunjungi berkali-kali. Namun tidak dalam enam tujuh tahun belakangan ini (kecuali Pasar Raya). Maka aku agak kaget melihat betapa rentannya hatiku ternyata terhadap pesonanya. Hal ini sama sekali tak kuduga ketika memutuskan untuk ke Blok M, berburu warung kopi Aceh yang telah lama kudengar-dengar keberadaannya. What a pleasant surprise. Hadiah banget...

Di bawah ini beberapa foto hasil jalan-jalan tadi sore. Laporan pandangan mata lengkap akan kubagi dalam tempo sesingkat-singkatnya.

♥♥♥


Apakah karena usia mudanya, maka suaranya sungguh bening? Yang jelas, kuatlitasnya kategori T.O.P. Aku menyesal tak sempat ngobrol. Posenya dalam foto ini menyiratkan banyak hal. Aku terpukau lihat jarinya yang otomatis me'lentik' saat bertumpu pada kecapi bapaknya. Lalu kebaya yang longgar ini, punya siapa? Apakah milik sang emak? Apakah yang dirasakan sang Bapak? Ada ketegaran sekaligus apathy di raut wajahnya. Apa yang dipikirkan?


Pak Djohan, sesepuh Komunitas Eks Pedagang Buku Lawas Kwitang. Berusia 71 tahun, terlihat amat mencintai profesinya, dan percaya bahwa yang ia lakukan dan perjuangkan membawa manfaat. Ia juga adalah mentor yang baik bagi para pedagang sekelilingnya, menginspirasi, menunjukkan apa yang disebut excellence dan dedikasi. Great lesson.


Warung Bang Nasir yang nyaman. Di atas tertulis Warung Kopi Atjeh, di bawahnya,  Mie Aceh.... Hehehe, gak konsisten. Aku betah berlama-lama disini. Kalau sedang tak sibuk melayani, Bang Nasir menghibur tamu-tamunya, termasuk aku. Diperkenalkannya aku ke serombongan keluarganya yang baru datang dari Aceh. Diajak bercerita ke kiri kanan. Tiap kali aku mau bangkit pulang, ia bertanya "kenapa buru2, ini kan hari Minggu".... hahahah, aku serasa sedang mertamu ke tetangga..


Bang Nasir datang merantau ke Jakarta belasan tahun silam. Ketrampilan  yang membuatnya menekadkan diri mengadu nasib di Jakarta diwariskan dari ayah, menjual kopi dan mie aceh. Setelah berbelas tahun malang melintang di emper Aldiron dan beberapa tempat di kawasan Blok M lain akhirnya ia dapat tempat di Square ini. Setiap siang dan sesudah jam lima sore bermeja-meja dirubung langganan setia kopi dan mie acehnya.


Di tengah2 percakapan, sesekali ia bangkit dari kursinya dan melayani pembeli yang datang. Tak ada yang boleh menyentuh pembuatan kopi. "Ini tak ada ilmunya, bu. Jiwa harus melekat (sumpe, istilah dia sendiri lho), supaya kopi yang dibuat sedap".  Di Aceh, urusan kopi, memasak mie dan berjualan makanan minuman pada umumnya adalah ranah lelaki. Tapi di Jakarta ini istrinya ikut pegang peran. Ia bertanggung jawab untuk membuat mie dan masakan lainnya.


Kopi tentunya tanggung jawab bang Nasir.  "Saya tidak mengizinkan isteri saya pegang kopi bu, dikomplain melulu" katanya. Lalu aku tanya, memangnya ibu minum kopi. Dia sambil tersipu-sipu menjawab tidak, karena baru sadar, YA IYALAH, bagimana bisa bikin kopi yang pas kalau sendirinya tidak terbiasa minum kopi. Bang ini gimana yak....:-)


Bang Nasir bagian public relation, ngobrol dengan tamu sambil menyuguhkan teh. Ah, mampir di warung ini seperti sedang menenangga....Di atas ini aku yang  sedang dihibur oleh si Abang. Di sekelilingnya adalah  keluarganya yang sedang berkunjung ke Jakarta, dibawa oleh adiknya (duduk berbaju garis-garis) yang juga menjalankan kedai mie aceh dan kopi di daerah Setiabudi.


Pak Yos Jhon Freky juga exs Kwitang. Ia malu-malu waktu kuambil gambarnya. Mas Anton, pemilik kantin kopi dekat situ, meyakinkan Pak Yos "Lah, ini kan promosi, biar banyak yang datang kemari, beli buku, dan kopiku juga makin laris" katanya cengengesan, sambil tak lepas dari buku panjang saktinya yang mencatat utangan para pedagang buku. Waktu aku mendengar namanya aku bingung, kadang dipanggil Yos, kadang Jhon. Mas Anton menuntunku ke kartu unik menempel di dinding, tulisan tangan dalam huruf latin dan arab melingkari gadis manis eropa: Yos Jhon Preky. Dia ketawa lebar sekali menceritakan asal namanya. Ibunya asli Sumbar, Solok, tempat ia dibesarkan, tapi ayahnya dari Timur, dari Maluku. Nah, nama ini ayahnya yang kasi. Oh, Ok....


Kartu imut bertuliskan nama pak Yos Jhon Preky yang berhati imut juga walaupun bertampang rada sangar.


Mbak Rosa sudah berdagang disini hampir selama Blok M Square ini buka. Buka jam tujuh lebih, lewat tengah malam mereka baru berkemas2 pulang. Jam delapan ia dan adiknya Fitri (dalam foto pakai baju kotak-kotak) mulai belanja. Lalu pas jam 12 teng mereka mulai masak. Aku tidak kebayang berapa besar energi yang mereka harus punya untuk dapat melakukan ini semua. Lauknya saja berjumlah 32 macam lebih !!! Belum lagi melayani, menunggu pelanggan, berkemas dan potongan pekerjaan lainnya. Alhamdulillah mereka kuat. Terutama Fitri. Kalau ada tamu yang pesan minum, anak gadis manis mungil ini teriak dengan sangarnya sehingga suara trebelnya menyebrangi jalan, mencapai telinga penjaja minuman mitra mereka. "Teh botol doa boaaang" begitu misalnya...


Di mataku tumpukan snack ini begitu artistik. Hujan menggelegar, langit menghitam di luar jeruji pagar di bagian atas foto ini.


Beberapa penjahit Blok M terampil membuat kebaya, sehingga sering mendapat kehormatan untuk membuat gaun yang hanya dipakai sekali seumur hidup: baju pengantin. Seperti dara berkacamata yang fabulous ini, sedang mengepas kebaya putihnya yang mempunyai buntut panjang di bagian belakang.

Saturday, December 1, 2012

Melaka Dalam Versiku




Dalam suatu situs resmi Melaka, ada satu halaman yang menunjukkan tak kurang dari 60 tujuan wisata di kota ini. Hampir seluruhnya menarik, otentik dan bersejarah. Tak heran - pelabuhan tuanya jadi saksi betapa berbagai bangsa menjejakkan kaki di sini, dan lantas menggoreskan sejarah (sayang, pantai aslinya telah tertimbun reklamasi). Sejak dibangun oleh seorang pengeran Sumatera - Prameswara- di tahun 1400-an, Melaka menjadi pusat dagang yang sibuk. Bagai anak dara memikat, ia menjadi obyek rebutan. Tak kurang empat bangsa pernah bercokol dan menjajah: Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang (walau sebentar). Perjalanan sejarah mengandung luka ini menorehkan jejak multikultur di setiap fasad dan ceruknya, pada lengkungan pedimen ruko kunonya, pada satu bukit yang penuh diselimuti makam-makam indah (terutama dari etnis Cina), pada kulinernya yang merayakan amalgam dan pengaruh berbagai kultur. Sebagian dari tujuan wisata ini telah kukunjungi.

Namun kenanganku tentang Melaka amat privat, terdiri dari potongan2 pengalaman impromptu yang tak ada di kartu2 pos dan brosur wisata.

♥♥♥

Seiris mosaik kenangan akan Melaka ini datang tak terduga hampir jam enam pagi, saat kota baru mulai menggeliat bangun. Aku dan Marina sobatku (juga teman sekamar dalam perjalanan ini) menyusuri jalan-jalan kecil mencari kedai kopi tradisional. Ini hari terakhir buat Marina dan rombongan kami (teman2 sekuliah) - jam sembilan berangkat balik ke Jakarta. Kami memutuskan untuk tidak makan pagi di hotel. Dari semalam aku mengompori Marina, tiga jam terakhirnya di Melaka harus diperah sekuat mungkin untuk tetap bisa meneteskan pengalaman asyik. Dalam kamusku, itu berarti makan enak. Jadilah kami bangun pagi-pagi sekali dan mengeksplorasi.

Deretan ruko yang mengapit jalan-jalan ini tidak sekuno di kawasan lain di Melaka, tapi tampak tetap mengacu pada tata kota yang sama: lorong antar blok yang lapang, back alley/spasi jalan belakang antar deretan toko yang luas. Satu hal lagi yang memberi kesan lega: mayoritas bangunan tak lebih dari tiga tingkat.

Belum ada kehidupan terlihat, kota baru terjaga. Semua bisnis masih tutup, kecuali hotel2 yang kami temui setiap selang beberapa toko. Kelas kenanga kurasa (di bawah kelas melati, istilahku sendiri, untuk menggambarkan kecilnya). Kulihat para resepsionisnya mencoba mencuri tidur dengan bertelekan tangan di balik meja penerima tamu.