Thursday, January 17, 2013

Kaleng Kosong Cantik Bunyinya





Terselip di antara buku2ku di rak, adalah kaleng yang sudah peyot di sana sini, dengan enamel terkelupas di beberapa tempat. Seputar tubuhnya digambari figurine bertopeng dengan baju begitu fashionable, dan tetap modis di tahun 2012 ini. Sepertinya mereka sedang berpesta tahun baru.

Kaleng ini membawaku jalan-jalan ke perbatasan outer dan inner London, tepatnya di suburban bernama Mitcham. Alkisah di tahun 1600-an banyak orang terkenal bermukim di daerah ini, seperti penyair, pemikir, eksplorer: Sir Walter Raleigh. Tahun 1897, James Pascal, seorang wirausaha confectionery -pembuat permen dan coklat- memindahkan usahanya  ke jalan ini. Sampai sekarang, masih eksis.

Terus, hubungannya dengan kaleng bagaimana? Sebentar, sabar sahabat.  Aku baru saja hampir ke bagian itu.

Walaupun si kaleng telah jadi bagian dari warga rumahku beberapa tahun, aku tak pernah terlalu memberinya perhatian dalam. Sampai suatu hari Minggu koran Kompas bercerita tentang komunitas pecinta kaleng. Aku teringat kaleng bututku dan meneliti tubuhnya. Ini yang kudapat


Kata "Mitcham" kota yang kugambarkan di atas, menjadi bagian dari tulisan di pantat (maaf) kaleng:  

"Manufactured by James Pascall Limited, Mitcham. England..

Tulisan ini membentuk setengah lingkaran mengelilingi tulisan berikut:
               
                  Pascall
                  White Heather
                  Chocolates and toffees
                  1 lb net


Enam puluh dua tahun lalu, satu dari ribuan kaleng permen yang diproduksi di pabrik Pascall, Mitcham, London ini menyebrangi benua dan lautan dan sampai ke Madiun. Isinya, berupa 'hopjes' (ibu menyebut toffee atau permen karamel demikian), dinikmati satu keluarga dengan dua anak di Balerejo, kota itu, dimana sang ayah sedang bertugas sebagai asisten wedana. Anak perempuan dari kedua bersaudara itu cantik sekali (menurutku dan orang2 yang mengenalnya). Dalam daftar takdir Tuhan, ternyata ditetapkan menjadi ibuku.

Nenekku, meninggal tiga tahun lalu. Aku tak sempat menanyai almarhumah bagaimana kaleng ini bisa sampai ke Madiun. Biarlah tetap jadi teka-teki.

♥♥♥

Aku tumbuh bersama benda ini. Saat ibu menikah, ibunya membekali satu set perhiasan, dan ditempatkan dalam kaleng ini. Bertahun-tahun kemudian, karena fungsinya, wadah perhiasan, kaleng ini bersembunyi di balik lipatan kain di lemari baju. Mungkin ini sebabnya kaleng ini begitu misterius sekaligus mempesonaku dari kecil.


Sekali sekala aku melihat ibu mengeluarkannya, mengambil salah satu penghuni kaleng dan mengenakannya sebagai pelengkap berkebaya saat kondangan. Momen seperti ini kutunggu-tunggu, karena bisa bertemu dengan 'temanku', si kaleng. Sambil menemani ibuku memasang sanggul dan   berias, aku duduk di tempat tidur, memutar-mutarnya dan memperhatikan gambar figurine. Di sekelilingku akan terbentang  berbagai warna selendang  beserta beberapa corak jarik/kain panjang batik, menunggu dipilih ibu  untuk padanan kebaya hari itu.  Jika ibuku sedang murah hati, kadang aku diizinkan mengeluarkan isi kaleng satu satu untuk mengagumi bentuknya. 

Orangtuaku bukannya kaya raya, dan bukan tipe yang memamerkan diri lewat perhiasan. Karena itu perhiasan ibu tak pernah berlimpah ruah. Namun setiap potong selalu didisain dengan indah. Di setiap kota yang kami tinggali, ibu punya langganan pandai emas. Ibu biasanya membawa guntingan gambar dari majalah dan katalog, berdiskusi dengan sang pande yang  kemudian akan menempa perhiasan sesuai keinginan ibu. Batu-batu indah, rubi, safir, amethyst sering diberi atau dibeli ayah dari keluarganya asal Martapura, daerah penghasil intan di Kalimantan Selatan. Yang aku paling kenang berupa satu setel kalung, cincin dan anting berbentuk jalusi melengkung dihiasi bulir-bulir mungil bermacam warna batu. 

Setelah aku besar dan  bisa membeli sendiri perhiasanku (walau aku bukan pengkoleksi emas), aku lamat-lamat sadar  bahwa sepanjang hidupku tak pernah kulihat ibu 'mengidap' keterikatan dengan kebendaan, termasuk para isi kaleng ini.  

Seindah apapun perhiasan, tak pernah ibu menyesalinya jika harus berpisah, dengan cara apapun: kehilangan, kecurian atau - ini lebih jamak terjadi -  dijual.

♥♥♥




Berat kaleng berfluktuasi, tergantung fase yang tengah dilewati keluarga. Saat anak2 ibu masih kecil-kecil, dan ada yang dapat disisihkan dari gaji ayah, maka isi kaleng bertambah. Ketika akan membangun rumah sendiri (bertahun-tahun kami tinggal di rumah yang disediakan perusahaan minyak tempat ayah bekerja), surut lagi isinya, dilipat bakal modal beli tanah dan material. Lantas menabung lagi, sehingga kembali berat kaleng bertambah. Setelah beranjak umur, ayah menderita sakit, banyak keperluan, isi kaleng berpindah rumah, ditukar dengan lembaran rupiah. Begitulah berat badan kaleng naik turun seperti grafik indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Jakarta.

Di usia tujuh puluh, ibu merasa cukup dengan sedikit perhiasan tersisa. Tak perlu satu kaleng yang dapat memuat satu pon coklat untuk menyimpannya. Maka kaleng dipensiunkan. 

Saat ini kaleng tetap kosong, berpindah fungsi menjadi penghias rak bukuku.

♥♥♥

Tepat 40 hari sebelum aku lahir, untuk pertama kalinya seorang seniman belum punya nama berpameran tunggal di satu galeri Los Angeles. Dengan cepat nama artis ini menanjak dan menjejakkan brand dan alirannya dalam sejarah. Andy Warhol memajang tiga puluh dua lukisan kaleng sup "Campbell' dengan ukuran dan bentuk umum hampir identik. Dunia seni terguncang, sebagian murka, menganggap Warhol merendahkan derajat seni dengan menampilkan sesuatu yang begitu biasa, begitu remeh seperti kaleng sup Campbel yang dikonsumsi  rakyat Amerika kebanyakan sehari-hari. Terutama di masa itu.

Yang mereka tidak sadari adalah cerita di balik kaleng sup ini. Di masa kecil Andy, ibunya berjualan bunga yang dibuat dari guntingan kaleng untuk membantu menopang hidup. Dan di zaman Andy berjuang agar diakui sebagai seniman, setiap hari Andy menyantap berbelas kaleng sup saat sedang kerasukan bekerja di studio. 

Kaleng bukan sekedar kaleng. 

♥♥♥


Kalau kaleng begitu berarti buat Andy Warhol, di rumah masa kecilku juga begitu. Namun benda bekas ini kami simpan untuk alasan berbeda. Kaleng margarin Blueband (bergambar anak sedang makan rot) yang sudah kosong diiris melingkar tutupnya, dimanfaatkan jadi tangkringan saringan 'transit' makanan yang digoreng supaya minyak menitik ke bawah. Kaleng biskuit Khong Guan menjadi tempat kerupuk. Atau kaleng biru segi empat bekas biskuit Jacobs, dijadikan wadah alat-alat jahit. Tahun lalu, waktu  aku ke rumah adik nenekku di Malang, gembira sekali hati menemukan  rengginang yang disuguhkan dalam kaleng bekas butter cookies merek Monde. 

Aku jadi teringat akan kaleng-kaleng dalam hidupku ini ketika membaca artikel Kompas yang mengupas komunitas pecinta kaleng. Mereka sampai berburu kesana kemari untuk mengumpulkan kaleng tua. Aku bisa memahami kemabukan mereka akan kaleng. 

Tapi tak serta merta aku tergiur menjadi kolektor kaleng bekas. Aku hanya memelihara kaleng yang menyimpan cerita di baliknya. Seperti foto dalam tulisan ini:  yang berwarna biru langit dengan ornamen padang rumput (gambar kanan tengah)  sebenarnya adalah container yang mengemas cangkir teh istimewa lengkap dengan saringan. Ini hadiah dari anggota team kantorku tercinta, Dini Sunardi yang pindah mengikuti suami keMalaysia. Kaleng berbentuk bis double decker, dibeli anakku sebagai oleh-oleh waktu pulang study tour ke Hongkong. Kaleng berbentuk mobil warna merah beroda, masih berisi kue kering ketika kubeli untuk menghibur hati saat anakku sakit. 


Pada dasarnya, kaleng-kaleng kupajang untuk mendeklarasi sudut pandangku. Bahwa satu pajangan, berhak mendapat tempat terhormat dan dirawat di rak bukuku, tidak ditentukan oleh nilai nominalnya, tapi  oleh cerita, sejarah, dan arti dibaliknya. Di pandanganku, kaleng berbentuk bis tingkat oleh2 anakku  bukti perhatian dan cintanya, lebih berharga dari keramik antik dinasti Ming. Kaleng bekas tempat cangkir teh yang menandai persahabatanku dengan Dini, jauh lebih bermakna ketimbang kristal Bohemia berpinggir emas.


Karena itu, kaleng penyok tua bergambar figurine bertopeng yang aku ceritakan di atas tadi, jauh lebih berharga sekarang, daripada ketika masih diisi oleh setelan perhiasan emas ibu.

Aku beruntung memperoleh pelajaran hidup dari ibu lewat kaleng ini, bahwa yang tak kasat mata seringkali invaluable. 

Tak terbeli.


                                                                                                                                                                       YA,
                                                                                                                                                                       Jakarta, December 30th, 2011