Friday, May 31, 2013

Masakan Bugis Rumahan di Passer Koeningan (Bagian 1)


Namanya Bale Tapa. Badan bandeng pinggang ke bawah terbelah dua, membentuk kipas - begitu sexy di mataku. Lapisan merah cabai membaluri dagingnya yang tebal. Kukeluarkan duri halus satu persatu, mengangkat serpih daging ikan dari kulitnya yang dibakar utuh dengan sisiknya, lalu memasukkannya ke mulut. Ikan terasa baru keluar dari tambak, berasa matahari, garam laut dan asap pembakaran. Biasanya bagian perut kutinggalkan sampai terakhir. Bukan karena tak suka, sebaliknya, justru karena berlemak, lezat. (Kata pemasaknya, ia selalu menekan bandeng di bagian perut ketika membeli, memastikan tebal dagingnya.)

Setiap jengkal sambal yang melumuri ikan kupastikan bersih masuk mulut. BegItu istimewa, padahal di warung ini hanya dibuat dari garam dan cabai. Mungkin karena ikan terasa lemak segar, seperti baru diangkat dari air. Sejenak aku merasa sedang piknik duduk dalam dangau di atas tambak bandeng, kena semilir angin laut.

Tapi tidak. Aku sedang menikmati ikan yang dimasak ala Bugis, di Warung Desakoe Delima, di Passer Koeningan, semacam pujasera di Pasar Festival, Kuningan. Masakan yang menyihir saraf pengecapku tadi diproduksi dapur sempit di bagian belakang kios. Dapur dan konter pembayaran dibatasi jendela besar yang dihiasi korden. Warnanya hijau daun pisang, disibakkan ke samping kiri kanan seperti belahan poni, menyiratkan aura feminin. Tentu saja, kru warung Desaku Delima perempuan semua, dan bergantung pada jejari mumpuni satu koki perempuan yang sekaligus juga salah satu pemilik warung.

@@@

Sang koki perempuan bernama panjang: Andi Dewani Tenri Ampaulang, dipanggil Ani. Sekilas tak menggambarkan seseorang yang betah berkreasi dengan jahe, pala, dan teman2. Kostum standarnya celana selutut, kaos dengan tulisan metal di depannya dan sepatu olahraga. Terakhir kali aku bertemu dia, tulisan di T-shirtnya berteriak "Funk, Funk, Funk". Ia mengaku bahwa saat remaja ia dikenal tomboy.

Tapi ajak dia bicara masakan terutama dari daerah asalnya, Bugis, maka semua pori-pori tubuhnya mengeluarkan sisi keibuan. Matanya melembut, seperti layaknya perempuan berbicara tentang bayinya.


Jangan lupa ya membaca sambungannya Bagian 2..  
---------------------------------------------------------------------------

P/S: Semua foto masakan Andi Ani kuambil di warungnya dan di rumahku di rentangan waktu dari Juni tahun 2012 sampai pagi ini.


Keterangan gambar (seputar jarum jam):
Kiri atas: Bale Tapa Bandeng- bandeng dibelah masih bertulang dan bersisik, dibakar (dalam pembakaran unik spt dalam gambar)
Kanan atas: Sop Ubi, soto bugis berbahan baku singkong goreng.
Kanan tengah: Bale Nasu, ikan kuah asam dengan asam mangga.
Kanan bawah sekali: Bale Tapa dengan ikan salamata (kakap hitam) yang durinya lebih sedikit dari bandeng. Aku lebih suka bandeng karena lemaknya tebal walaupun duri banyak.
Kiri bawah: barongko, penganan pisang dihancurkan dengan telur dan santan dikukus dalam daun.
Kiri tengah: Kolak pisang istimewa dengan ketan hitam kukus

"Ubel-Ubel"



Ibu ramah penjual jajanan khas Bali -pisang rai- yang mangkal di bawah pohon ini kujumpai di jalan masuk ke arah Tanah Lot, Bali (Foto kuambil tahun 2009). Pisang rai dibuat dari tepung beras disuji hijau, diisi pisang dan setelah matang direbus, digulingkan dalam kelapa parut.

Setiap kali kulihat foto ini, senyumku tak bisa tertahan. Aku terkagum-kagum memikirkan betapa warna Indonesia terpelihara lebih kuat di tataran masyarakat yang relatif lebih sederhana ini, para bakul, mbak berjualan jamu dan tentunya termasuk sang ibu penjaja pisang rai ini.

Tapi yang membuat senyumku lebih tambah lebar, dari pipi ke pipi, adalah kenangan yang ditrigger oleh imaji "ubel-ubel" - kain di kepala sang ibu penjual pisang rai.

Kok bisa? Begini ceritanya.

@@@

Di satu tahun awal 2000-an, aku sedang naik angkot antara pasar Ubud ke Sanggingan. Angkutan berbentuk Colt (L 200? ) cukup besar, dimodifikasi menyerupai bis mini. Deretan kursi semua menghadap depan. Saat itu, angkot di Ubud tidak begitu banyak, tapi masih ada melayani rute ini. Jalananpun masih belum ramai macet seperti sekarang.

Aku duduk diapit tumpukan sayur, janur, salak, buah-buahan bakal sesajen dst. Ibu sebelahku mengangkut ayam yang disimpan dalam keranjang khusus penyimpan ayam (berbentuk agak gepeng bisa dirapatkan dengan bukaan di satu sisi agar sang ayam dapat mengeluarkan kepalanya). Karena si ibu duduk dekat jendela, maka penumpang unggas ini diletakkan dekat kakiku. Semua jendela dibuka lebar-lebar. Udara Ubud yang tahun2 itu masih segar, masuk leluasa ke dalam bis mini, mencampurkan rupa-rupa bau sebelum terbang lagi keluar jendela.

Tak lama bis berjalan, ibu di sebelahku tadi berteriak. Aku tak paham karena dalam bahasa Bali. Yang jelas bis mengerem dengan segera, sang ibu turun dari bis, disusul ledakan tawa seisi bis. Teman perjalanannya, si ayam dan belanjaan lain, ditinggalkannya dalam penjagaanku. Pak supir tertawa paling keras, namun bis tetap dibiarkan berhenti. Kelihatannya menunggu ibu tadi.

Aku celingak celinguk kiri kanan, mencari tahu apa yang membuat geli penumpang lain. Tapi tak ada yang dapat menjelaskan karena sibuk tertawa (selain banyak juga yang tidak berbahasa Indonesia dengan fasih).

Tak lama si ibu naik lagi dan misteri terjawab. Ia tersipu-sipu sambil menenteng.... ubel-ubel kain kepalanya !! Oooh, rupanya bukan saja angin Ubud yang leluasa keluar masuk jendela, tapi juga sang buntalan kain penutup kepala si ibu.

Ya ampyuun. Aku ngakak belakangan. Dan segera disusul gelak geli si ibu begitu rasa malunya reda.

~~~~~~~~~~~~~~
Selamat Merayakan INDONESIA
Jumat,19 April 2013

*) Ubel-ubel: istilahku untuk kain yang dililitkan di kepala seperti yang dilakukan ibu di gambar ini.

Rumah Warisan Masa Lalu di Suryakencana



Sejak mahasiswi aku terpesona melihat satu rumah bergaya kolonial Belanda, campuran gaya eropa dan tropis, di satu jalan perdagangan utama, Bogor, yang di zaman Belanda disebut Handelstraat. Bersama sobatku saat kuliah itu, Dita - yang kebetulan putri alm. wartawati/penulis terkemuka - kami memutar akal, bagaimana caranya memperoleh kartu wartawan, agar diperbolehkan masuk. Tentu saja angan2 itu tidak terwujud. Bertahun2 kemudian kesempatan masuk tak kunjung datang. Sekarang bahkan bangunan tak ditempati lagi. Pupuslah harapan bisa melihat bagian dalamnya.

@@@

Beberapa tahun ini setiap pulang aku menyempatkan diri mem"bezoek"nya. Kuatir betul aku kalau suatu saat diruntuhkan. Yang aku tak sadari adalah bahwa bangunan ini sudah aman, sudah diberi status BCB alias Bangunan Cagar Budaya. Jika aku buta akan informasi tentangnya dapat dimaklumi. Sepanjang Handelstraat atau sekarang disebut jalan Suryakencana ini, tak satupun warga, dari berbagai jenjang usia, yang dapat memberi informasi mengenai rumah ini.

Untunglah ternyata di tahun ini aku beruntung menemukan beberapa tulisan tentangnya di internet. Yang paling lengkap berupa paper bermuatkan penelitian dari mahasiswi IPB (saat penulisan) bernama Karista Paramita. Ajaibnya, cucu dari pemilik rumah ini, yang menyebut diri dan disapa dengan Mario, memiliki blog serta aktif berinteraksi dengan para pecinta bangaunan tua di berbagai situs. Dari tulisan Mario-lah aku menjadi tahu keberadaan peneliti bernama Setiadi Soepandi yang berfokus pada jalan ini. Tulisannya mengenai jalan Suryakencana diterbitkan di Kompas pada 16 Maret 2003. Dari sinilah aku jadi lebih banyak tahu tentang bangunan2 tua di jalan ini dan bahwa beberapa di antaranya telah menyandang status BCB.


@@@

Dikatakan bahwa di zaman VOC dan Hindia Belanda, pemukiman ditata dan disegregasi berdasarkan warna kulit. Bagitu juga di kota Bogor. Bangsa Eropa diberi hak untuk berdiam di kawasan yang terbentang dari Istana, seputar Kebun Raya sampai sekitar Paledang. Kaum Arab di daerah Empang, serta warga keturunan Tionghoa sepanjang jalan Suryakencana. Daerah ini diperuntukkan bagi para pedagang yang cukup status sosialnya. Kaum pedagang Tionghoa yang lebih rendah strata sosialnya, berumah sepanjang jalan Roda, sejajar Suryakencana, tapi terletak di belakangnya.

Titik nol jalan Suryakencana atau pemilik nomor urut satu di jajaran itu adalah klenteng berusia lebih dari 300 tahun, Hok Tek Bio jika menuruti informasi dari pengurus harian klenteng, Koh A Jung. Beliaulah yang mengatakan konon Hok Tek Bio didirikan sekitar tahun 1672 oleh komunitas pedagang Tionghoa pertama yang sampai di Bogor dengan melayari sungai Ciliwung serta kali-kali yang meneruskannya ke pedalaman. Karena itu aku 'mencurigai' bahwa pasar Bogor persis di samping klenteng ini juga berusia sama.

Penelitian lain oleh Setiadi Soepandi sang arsitek yang kusebutkan di atas menunjukkan bahwa klenteng dibangun tahun 1867 serta Pasar Bogor tahun 1872. Jika perkiraan ini benar, maka usia klenteng dan pasar tak sampai 200 tahun.

Setelah bangunan pasar, bangunan2 ruko di zaman itu didirikan membentang ke arah Selatan. Jika di awal jalan ruko2 berbentuk tradsional dengan atap agak melengkung seperti khasnya bangunan tiongkok dan rapat bertumpuk, maka semakin ke Selatan rumah semakin mewah, karena status sosial pemilik semakin tinggi. Arsitekturnya pun berubah, lebih banyak hawa eropanya. Design seperti ini pada eranya sering disebut gaya Indiische. Ukurannya pun mekar, lebih besar, tak jarang dengan halaman luas di depannya.

Rumah indah yang kuceritakan di atas terletak di belahan Selatan, milik keluarga terkemuka Tan. Di zaman penjajahan setiap golongan etnis dikepalai oleh 'kapiten' yang ditunjuk Belanda. Nah, selama beratus tahun, berkali-kali Kapiten yang mengepalai warga tionghoa di Bogor berasal dari keluarga Tan ini. (Dalam penelitian Karista bahkan ditunjukkan dokumen yang mencatat daftar kapiten tionghoa Bogor). 


@@@

Aku lega sekali mendapatkan cerita dibalik bangunan yang menyihirku berdekade-dekade ini. Masih terawat rapi, kecuali hilangnya emblem berbentuk perisai dan pedang dari metal yang tadinya menempel di salah satu dinding (atau pintu?). Aku tak terlalu ingat lagi, tapi bentuk ornamen tersebut masih jelas tercantum dalam ingatan.

@@@

Di jalan ini masih ada lebih dari beberapa lusin bangunan uzur yang beruntung luput dari renovasi dan penghancuran. Aku mengkhayalkan jalan Suryakencana (dan jalan bersejarah lain di berbagai kota di Indonesia) yang diberi status warisan budaya. Aku memimpikan bangunan-bangunan di jalan ini yang mendapat kesempatan untuk dipugar, dipelihara dan akhirnya bisa menjadi saksi sejarah buat anak keturunan kita.

Mudah-mudahan obsesi terhadap segala sesuatu yang modern, baru, minimalis, ultramodern, maju, barat dst, tidak membuat bangunan2 warisan ini dirontokkan. Dan lantas kepingan tegel, jendela, kusen dst, dpreteli lalu dijual di situs-situs yang menawarkan barang jadoel.

PRICELESS


"Jangan lihat harganya, lihat artinya", sering kudengar kata2 ini mengiringi pemberian hadiah. 

Hari ini aku kegirangan dapat hadiah istimewa, dan kata2 tadi terngiang kembali. Wah, susah juga - bukan saja artinya cukup besar, hadiah ini juga tak ternilai - priceless. Karena memang tidak ada yang jual.

Apa gerangan? Segenggam buah kersen.

@@@

Buah kersen berbentuk bundar kecil, yang masak berwarna merah seperti berry. Pohonnya sedang tingginya dengan juntaian dahan serta daun yang membentuk payung (lihat gambar). Di masa kecilku di kota2 minyak Sumatra, pohon ini terdapat di mana-mana. Jika kesulitan melacak keberadaanku, cari saja di pohon2 kersen. Biasanya aku sedang ter'sangkut' di antara dedahanan, menikmati buah kecil yang sebenarnya diminati burung ini, dengan kaki terjuntai yang diayun-ayun senang. (Sering tak langsung pulang dari sekolah, mencari kersen. "Harga" yang harus kubayar adalah disetrap ayahku).

Di Jakarta pohon kersen biasa kutemukan di pelataran parkir - kurasa mereka ditanam dengan alasan mudah tumbuh membesar dan rindang. Pohon kersen disini kuamati jarang berbuah sampai merah. Apakah persaingan di dunia perburungan begitu sengit (karena tak ada banyak pilihan di belantara beton ini), atau karena polusi? Wah, aku bukan ahli tanaman, jadi hanya bisa menebak-nebak.

Yang jelas terlihat mata orang2 di sekitarku adalah Yana yang kontan hilang jaim begitu lihat pohon kersen. Seperti seketika tersihir, dengan malu-maluinnya aku akan menyempatkan diri berburu buahnya. Bagian paling seru adalah menemukan butiran yang ranum menggiurkan di atas, namun jauh dari jangkauan. Maka yang dilakukan adalah menarik ranting yang terhubung sejauh2nya ke bawah, sampai buah dapat diraih. Namun selama ini aku tak pernah sukses memanen lebih dari lima butir.

Terbayang kan, senangnya menerima hadiah segenggam kersen ini? (telah kuhitung, tepatnya ada 25 buah !!!). Mau beli dimana coba?

@@@

Orang yang memberiku kersen ini, melakukannya dalam kesederhanaannya. Pak Noval, pengemudi setia kami yang lugu dan baik hati, menyodorkan seplastik buah seperti beri ini dengan keterangan bersahaja: " Di Depok waktu nungguin Ajeng, saya petikin aja bu, karena pohonnya banyak. Teman saya ada yang dapat satu botol aqua kecil".

Terimakasih ya Pak Noval. Besok waktu mengantar Ajeng kuliah lagi, bawa botol aqua yang rada gede ya? (nglunjak...hehe)

P.S: Info lebih dalam mengenai kersen yang ternyata banyak terdapat di seluruh dunia mulai dari Asia sampai Amerika Selatan ini, ada di link ini :
http://kucingbatu.blogspot.com/2010/12/berbagai-manfaat-pohon-kersen.html

(dari sini baru tahu bahwa di Meksiko dijual dalam jumlah besar, di Srilangka dibuat selai/jam.... Hmm, aku tahu jalan karirku selanjutnya.... berkebun pohon kersen !

GORENGAN PLUS SAMBAL



Di banyak tempat di Indonesia, terutama di bagian timur, goreng2an dimakan dengan sambal. Tak percuma Jakarta dikatakan tempat 'melebur di wajan' (hehehe, terjemahan langsung dari kata "melting pot"), aku tak perlu jauh2 ke tempat asalnya untuk ketemu snack dalam negeri inni. Di bawah ini foto sampel gorengan yang kudapat dari beberapa sudut Jakarta.

Keterangan gambar searah jarum jam, dari kiri atas:
- Singkong goreng Kopi Tiam Oey (Oey adalah huruf W dalam aksara Cina, konon, dan mewakili kata Winarno. Iya, ini yang punya pak Bondan tea), dengan sambal roa (rating sambalnya 8 dari 10, tapi singkongnya rada ga konsisten rapuhnya. Aku suka yang gembur).

- Singkong goreng sambal ala Bugis di food court "Passer Festival". Warung yang menjual namanya "Warung Desaku Delima". Penekanannya pada makanan Bugis, jadi agak beda dengan banyak tempat makan Makassar di Jakarta. Sambal jajanan ini unik, dikentalkan dengan singkong itu sendiri yang dihaluskan, dan terasa asam dari belimbing wuluh yang dihancurkan. (sambal, 7.5 dari 10, tapi singkongnya aku kasi rating 9 - gurih dan gembur)

- Pisang goreng sambal roa dari jembatan penyeberangan ITC-Ambassador Cassablanca. Dari begitu banyak warung masakan Kawanua di sini, hanya satu menjual pisgor sambal. (Rating, pisang, 9 out of 10, sambal 7. Bagiku untuk dimakan dengan pisgor, perbandingan bahan baku sambal kurang pas, terlalu banyak ikan, kurang cabe).

- Sukun goreng dengan sambal ikan bilis (ratingku, 10 untuk sukun, 10 untuk sambal. Bukan apa2, belum kuicipi soalnya. Gambar kuambil dari internet:www.ucubakery.blogspot.com ).

Perkenalkan, Cimbabal, Bayi Nangka


Foto diatas (yang agak kabur karena kuambil sekenanya saat mobil berjalan) di atas, menunjukkan sentra penjualan nangka di depan Taman Pahlawan Bogor. Kupikir para pedagang es campur, es teler, cendol, pada berbondong-bondong kesini untuk memperoleh bahan "racikan"nya yg cukup vital ini: nangka. Lebih dari selusin lapak menjual buah ini dengan kualitas prima. Di situs resmi kota Bogor, bahkan sentra di jalan Pahlawan ini dijadikan tujuan wisata. Maklum, mencari nangka masih dalam gelondongannya bukannya mudah. Melihat gundukan nangka, aku jadi teringat masa kecillku.

~~~

Di tempat aku besar, di kota2 kecil daerah minyak di Riau (Rumbai, Duri, Dumai dst), nangka seperti tanaman wajib. Hampir semua warga punya pohon nangka di halamannya, terutama bagian belakang. Nangka adalah pohon buah yang prolific, rajin berbuah. Seingatku, tak ada musimnya, selalu saja ada yang yang harus disarungi karena sudah hampir matang.

Namun bagi kami anak-anak daerah tersebut, bukan buah nangka ranum gemuk menggemaskan itu yang kami incar. Tapi bayi buahnya sebesar-besar jempol. (Sebenarnya menurut literatur iini adalah bonggol bunga jantan. Namun untuk keperluan tulisan selanjutnya kusebut buah dan bayi buah secara berganti-ganti demi kepraktisan menulis dan membacanya.) Teksturnya padat, renyah, dan diselimuti oleh serbuk kuning yang kubayangkan berfungsi dalam perkawinan, menjadi buah, jika tidak terlanjur sudah dimangsa kami, anak-anak bandel pemakan bayi nangka ini.

Diapakan? Diuleg seperti rujak bebek, dicampur dengan cabe, garam, terasi dan gula. Atau dimakan dengan garam begitu saja. Enakkah? Hmmm..... setelah kucoba lagi saat berkunjung ke Pekanbaru tahun lalu, alah mak jan (itu seruan ala kami, anak2 Rumbai/Duri/Dumai), perlu bergelas-gelas air untuk mendorong seretnya cimbabal ini menembus kerongkongan. Sepet.

Cimbabal? Ya begitulah si bayi-bayi lucu ini disebut. Aku barusan meng-google image dengan kata cimbabal dan hanya ada satu site yang menampilkan gambar ini. Dan surprise, surprise.. (atau malah dapat ditebak ya?), situs yang menampilkan cimbabal ini adalah adik kelas seperguruan, sekolah Cendana (dapat dilihat di situs inihttp://wienblog-growingtree.blogspot.com/2010/08/duri-kota-kecil-di-riau-dari-catatan.html. Jeng Wien Wardana ini punya beberapa blog yang bagus-bagus. Monggo disinggahi..). Kadang kami juga menyebutnya cembabal, cibabal atau babal.

Hasil searching di 'wilayah' google image dengan menggunakan kata kunci cembabal, cibabal atau babal dan buah babal, menghasilkan banyak situs. Wawasanku tentang cimbabal terkuak lebih jauh.... Ternyata di Jawa namanya pun babal, dan dirujak pula. Hanya bedanya dicampur dengan pace dan daun pepaya mudah. Yummy (atau nggak ya? Kan pahit semua?). Penulusuran lebih lanjut belum mencerahkanku tentang asal muasal kata babal ini. Jauh dari nama latinnya Artocarpus heterophyllus. Dari mana datangnya kata babal ya? Kugoogle untuk mencari tercetusnya nama 'babal', yang keluar "bebal". Wah, yang itu sih aku tahu, karena dalam kadar tertentu aku mengidap "penyakit" ini, bebal. Hehehe....

Kembali ke laptop... eh.. ke buah cimbabal.

Buah gratisan (kadang nyolong pulak) ini begitu berkesannya di hati kami semua, sehingga ada group reuni sekolah di daerah perminyakan Caltex tersebut (sekarang Chevron), Duri, yang menamakan diri group Cimbabal. Para anggotanya disebut, yang tersebar di seluruh dunia, menyebut dirinya cimbabalers. Kalau kita google, terdapatlah berita-berita ajaib seperti: "Mr. Cimbabal acceptance ceremony. California, USA.Merry Christmas, You are now officially a Cimbabalers also !!" (Hello Oscar Matulessya !!. Sorry, sambil numpang menyapa adik kelas).

~~~

Kenapa ya cimbabal kok begitu mengesankannya? Bahkan seolah menjadi salah satu hal penciri identitas kami, anak-anak hutan Riau ini?

Hasil sok analitikal-ku begini:

1. Di kompleks perumahan saat itu hampir bisa dikatakan tidak ada yang menjual jajanan (kecuali di sekolah, dengan pilihan amat terbatas) . Dengan kesibukan bersekolah, beraktifitas ekstra-kurikuler dll. kami jarang meninggalkan kompleks untuk pergi ke daerah non-kompleks seperti kota Pekanbaru, dimana banyak dijual jajanan (dari Rumbai masih 7.5 km. Dulu itu jauuuh rasanya). Karenanya si bayi-bayi cimbabal inilah penawar hati kami, bersama dengan macam2 buah liar seperti seletup, cemplokan, suren (Waktu kutanya, apa itu suren, dijawab temanku Herda Jt Peleh, saat kami SMA: "Oh, itu seperti duren, cuman pakai es... Aduhh...).

2. Kami, anak-anak pegawai perusahaan minyak tsb., lumayan heterogen. Hampir seluruhnya adalah pendatang generasi pertama (setelah kemerdekaan) yang berasal dari segala penjuru Indonesia. Keterikatan kami pada tanah yang kami injak tidak mengurat akar pada generasi-generasi sebelumnya. Aku bahkan baru pindah ke kawasan itu saat usia sembilan tahunan. Banyak di antara pegawai-pegawai ini, bapak2 kami, yang diputar tugasnya di antara ketiga distrik, Duri, Dumai, Rumbai. Perasaan kohesif menyatu dengan lingkungan, komunitas, tak pernah seratus persen utuh. (Anehnya justru semakin tua dan meninggalkan Riau, kami semakin akrab sekali. Ratusan teman masa kecil masih saling terikat lewat berbagai wahana sosial, ya arisan, bb group, reunian, facebook dst. Aku cerita tentang ini di lain kesempatan saja ya? Another story).

Tapi namanya juga anak rantau, pasti kreatif kan. Maka kami, anak-anak pegawai generasi pertama Caltex inilah yang menciptakan kultur Dumai/Duri/Rumbai. Latar belakang dan pengalaman bertumbuh yang sama menciptakan kedekatan dan kesamaan. Kuperhatikan, atribut apapun yang bisa merekatkan, kami gunakan untuk menguatkan identitas. Bahkan ada kosakata yang khas kami, jarang kudengar ada di daerah lain (mungkin di Sumbar ada ya, karena mayoritas pendatang dari tanah Minang) : mada untuk "gila" (dalam konteks "gile lo"), cengkelet untuk curang, rol untuk penggaris/mistar, pelipus untuk penghapus, cido/ibil untuk kecewa, setatak untuk permainan engklek (hasil konsultasi kepada teman SMA, Ellen Lawalata, "pakar" bahasa aneh ini. Aku banyak lupa).

Dan kata Cimbabal adalah satu atribut utama yang amat digadang-gadang, karena terasa amat khas kami. (Makanya hanya ada beberapa situs di internet yang mengemukakan kata cimbabal - kurang dari sepuluh. Semua berhubungan dengan kota minyak Duri. )

3. Hasil analisa sok-sokanku yang ketiga adalah: cimbabal sebenarnya berfungsi sebagai simbol atau memory trigger (kata ahli psikologi) akan masa kecil yang cukup unik dan membahagiakan. Buah ini berasosiasi dengan rasa girang karena berhasil kabur dari kewajiban tidur siang, dan nangkring di atas pohon nangka. Atau excitement mengumpulkan cukup banyak cimbabal sehingga bisa bikin rujak beramai2 dengan teman - yah, semacam Cimbabal party gitu deh. Atau kesenangan memanjat pohon nangka, berburu buahnya yang masih kecil.

~~~

Tak terbayangkan waktu dulu mengunyah-ngunyah rujak cimbabal keseretan dan kepedasan, bahwa benda begitu terlihat kecil, ada dimana-mana dan tak perlu beli ini ternyata membawa banyak kenangan indah saat tua. Kalau aku balik ke Sentra Nangka depan Taman Pahlawan Bogor minta tolong kepada para juragan nangka untuk mencarikan cimbabal, aku bisa membayangkan kening mereka akan berkerut: "Hah? menyetop membesarnya cikal bakal buah nangka suegerrr wangi menyala oranye itu sebelum waktunya? Ndak lah yaow.... Maap Tante"...

Cimbabal oh cimbabal.....


P/S: Foto yang kabur di gambar sebelah kanan, tentang sentra nangka, milikku sendiri. Maklum amatir. Foto sebelah kiri, cimbabal, yang diambil apik, kupinjam dari blog adik se"tanah air": Wien Wardana (aku belum kenal sebelumnya, hanya tahu lewat blognya saja berjudul: "Growing Tree").

MONGGO, SILAKAN DIKUPAS


Hujan mulai turun di mana-mana. Dan banjir mengikutinya. Namun bukan banjir yang menakutkan - ini malah menggembirakan, karena yang sedang meluap-luap adalah mangga. 

Yang lebih menyenangkan lagi dari panen kali ini adalah bahwa teknologi sudah cukup maju untuk memungkinkan petani mangga menjual mangga yang masak pohon (bukan peraman) dengan harga terjangkau.

Tertarik oleh kualitas mangga yang prima, dan harga yang meluncur terus, buah mangga hadir terus di meja makanku.

(Btw., suatu ketika di salah satu bb groupku ada teman yang melontarkan cerita bahwa di Probolinggo, jika mangga terlalu berlimpah ruah, sapi-sapi pun diberi makan mangga. Satu teman lain bertanya dengan polosnya "apa harus dikupas dan dipotong-potong dulu ya?". Aku sampai sakit perut karena geli membayangkan seluruh kampung sibuk memotongi mangga buat sapi piaraan masing2....hihihi.... Untung tidak dijus sekalian.)

@@@@@

Buah sekeren ini perlu dinikmati dengan sepenuh hati, kurasa. Maka ritual mengupas mangga ini kulakukan dengan mindful, dengan perhatian.

Aku sering mengupas mangga dengan cara yang dipelajari ibuku saat berkunjung ke Mesir berpuluh tahun silam. Mereka - kata ibuku- mengupas mangga dengan menorehkan pisau di seputar "pinggang" mangga, lalu me'miting' kedua belah atas dan bawah dengan arah yang berlawanan. Kedua bagian akan berpisah (lihat gambar) dengan pelok alias bji mangga menempel di satu bagiannya. Daging mangga kemudian dinikmati dengan cara disendoki sesuap-sesuap. Bukan hanya daging buahnya, juicenya pun deras bisa kita hirup.

Cara lain yang diturunkan dari ibu adalah dengan mengiris kedua belah "pipi" mangga (bagian paling berdaging). Lalu daging buah yang masih melekat pada kulit, digurat-gurat dengan pisau tajam membentuk kotak-kotak. Ketika bagian bawah yang berkulit kita dorong ke atas, potongan ini akan merekah membentuk potongan2 kubik daging mangga yang masih tertempel pada kulitnya (lihat gambar). "Teknik ini dari mana asalnya, mam?" kutanya ibuku. Menurut beliau, ini teknik rumahan, telah dikenalnya sepanjang masa kanak2nya di kota2 di Jawa. Di internet, walaupun gambar yang menunjukkan teknik ini banyak ditemui, tak dapat kutelusuri dari mana muasalnya.

Aku sering juga mengupas kulitnya secara sederhana, lalu memotong-motongnya berbentuk kotak2, atau dengan potongan ala tukang rujak buah. Namun jika sedang iseng aku kadang membiarkan kulit terkupas panjang dan tergantung di pangkal buah, sehingga menyerupai gurita (lihat gambar).

Temanku Christine dari Australia menunjukkan aku cara mengupas yang aneh lagi. Ia akan membentuk juring berselang seling pada buah mangga secara memanjang tanpa dikupas (please lihat gambar kiri tengah). Seksi ini dinikmatinya terlebih dahulu dengan langsung mengerokotinya dan meninggalkan kulit. Baru setelah bagian ini habis, juring yang melekat pada biji mangga ditariknya dengan mudah. Lalu daging mangga dimakannya langsung dari kulit yang masih melekat.

Jika bosan dimakan begitu saja, mangga kupotong kotak-kotak kecil, kutambahi perasan jeruk lemon, kucampur dengan dua buah markisa (isinya saja tentunya), sesendok madu dan beberapa lembar daun mint. Didiamkan dulu di kulkas paling tidak sejam, sehingga aroma markisa, lemon, madu dan mint sudah menyatu dengan mangga. Nyam.

Monggo, dinikmati mangganya....

P/S: Dina, ding, terimakasih ya difotoin... 

NASIHAT BISNIS WARREN BUFFETT... ehhh... WARUNG BOPET



Sama-sama berinisial WB, Warren Buffett dan Warung Bopet (Mini) punya kemiripan. Di tengah2 arus deras perubahan (era “next two hours” menurut pakar chaos, DJ Patil) bisnis yang bertahan lebih dari tiga dasawarsa tergolong langgeng.

Usaha kedua WB menunjukkan hal demikian. Berkshire Hathaway yang dikelola Warren Buffett, multimilyader Amerika, berumur 44 tahun. Warung Bopet (Mini) yang terjepit diapit kios di tengah pasar Bendungan Hilir, hampir sama tua, 31 tahun.

Jika Warren Buffett menggema di dunia (mBah Google mengeluarkan 7.660.000 situs yang memuat kata kunci namanya, hanya dalam 0,19 detik), Warung Bopet (Mini) cuma tenar di kandang sendiri. Ya iyalah Yana – begitu kudengar teman2 protes – masak Warren Buffett dibandingkan dengan kios sederhana di tengah pasar Bendungan Hilir? Mana tempatnya nyempil pula, terjepit di antara kios alat pembuat kue, barang kelontong plastik dan pecah belah. Eitt, jangan salah, warung ini cukup ngetop lho. Dalam 0,29 detik google mengeluarkan 24.000 hasil yang memuat nama legitimatenya, Bopet Mini.


Sampai di paragraph ini memang kupelesetkan judulnya menjadi Warung Bopet karena bunyinya mirip sekali dengan nama orang ketiga terkaya Amerika yang dermawan itu. Pendiri Warung Bopet (Mini) yang juga dermawan, Ibu Et (nama lengkapnya Revmaningsih) mengatakan bahwa kata Bopet berarti warung. Mungkin sekali berasal dari kata ‘buffet’ yang berarti prasmanan. Jajaan di warung Ibu Et dijajar di etalase maupun dalam wadah berbagai tipe dan bentuk, plastik, alumunium, stainless steel maupun baskom jaman dulu, seperti sistem buffet.

Tahun 1981 itu, saat dibuka, yang dijual hanya makanan untuk sarapan : ketupat sayur, serabi padang, macam2 talam dan serikaya ketan serta juaranya: bubur kampiun. Seperti namanya, bubur kampiun memang pantas dijagokan. Tak kutemui di propinsi lain, bubur unik ini memadukan berjenis bubur dalam harmoni dalam satu mangkuk: bubur candil, kacang hijau, kolak pisang, sumsum, pacar cina. Serabi padang tak seperti yang kita kenal di Jawa; yang ini gemuk sintal dengan kuah santan gula kelapa yang rasio campurannya pas surapas. Favoritku adalah ketan serikaya. Penyajiannya : seonggok ketan pulen mengkilat, ditangkringi oleh beberapa gunduk serikaya sexy yang disendok langsung dari baskom tempat dimasaknya. Srikaya serupa puding yang dibuat dari santan, telur dan gula malaka. Menurut ulasan pakar kuliner di situs resmi dan setengah resmi yang kujumpai di internet, masakan Bopet Mini terjaga keotentikannya, asli minang! Tak heran jika tempat ini selalu laris manis.


Memasuki tahun 90-an, Ibu Et merasa tergerak untuk membuka warung nasi, di kios di depan Bopet, berukuran lebih besar. Banyak yang tak setuju – keluarga meragukan kemampuan menjalankannya. Namun seperti yang dikatakan Rina, anak bungsu Ibu Et, pebisnis wanita ini intuisinya tajam. Segera warung nasi malah lebih melejit dari warung jajaan sarapan.

Saat aku datang ke sana, jam 11 siang, warung nasi sudah penuh separuh kapasitas, dan antrian di warung sarapan tak berhenti. Walaupun Bopet Mini saat ini memiliki cabang di gedung Arthaloka, jalan Sudirman, tetap saja outlet di pasar Benhil ini adalah primadonanya. Tampilan Bopet Mini yang bersahaja dan unik, di tengah pasar ini mungkin sekali malah menjadi kekuatannya.

Rina menunjukkan air muka heran ketika kutanya bagaimana trend perkembangan Bopet Mini. “Seperti bisnis lainnya, semakin lama semakin berkembang dong bu”, jawabnya (mungkin Rina sambil berpikir, pertanyaan aneh model apa ini?). Dibesarkan oleh orangtua yang ulet, kurasa tak terpikir oleh Rina bahwa yang namanya usaha bisa juga nyungsep. Yang disaksikan Rina selama ini adalah ibunya yang kebetulan berkualitas OK, sehingga mendorong kurva trend terus menukik ke atas. 

Selain intuisi bisnis yang tajam, menurut Rina, kualitas ibunya yang menonjol adalah disiplin. Ketika ditanyakan langsung ke Ibu Et (mereka kuajak bicara dalam waktu berbeda), beliau mengiyakan. Terdengar klise memang, tapi sungguh menarik mendengar bagaimana si Ibu menjabarkan disiplin.


“Disiplin itu, kalau mengantuk tidur, kalau lapar makan, kalau waktunya kerja, serius” Tadinya aku tersenyum mendengar betapa sederhananya definisi Ibu Et. Setelah kurenungi, dalam juga ternyata. Kurasa yang dimaksudkannya adalah kemampuan pengelolaan diri, memimpin diri sendiri. Dalam dua jam aku ngobrol dengan si Ibu, bertaburan contoh mengenai hal ini. “Selepas sholat subuh, lewat sedikit dari pukul 5, saya berangkat kerja. Jadi anak-anak bisa melihat bahwa sayapun disiplin, bukan hanya menuntut”. (Yang disebutnya “anak-anak” adalah karyawan maupun putera-puterinya sendiri). Bahkan di tahun ke 31 inipun ia masih sering turun ke pasar. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena “senang saya ikut memilih-milih bahan masakan itu. Ada saja ide muncul” begitu jelasnya.

Bagian terakhir dari definisi disiplin versi Ibu Et “....kalau waktunya kerja, serius” diterapkannya dengan tegas terhadap anak-anaknya. Tiga dari empat anaknya bekerja di Bopet Mini, diberi gaji seperti karyawan dengan jam kerja yang tetap. Saat bekerja, mereka bukan lagi keluarga pemilik, tetapi bagian dari angkatan kerja Bopet Mini.

                                                                                          @@@@
                                                                       

Insight bisnis yang ia miliki sekarang diperolehnya dengan harga mahal. Di tahun sembilan puluhan pertengahan, ia hampir kehilangan Bopet Mini. “Saat itu, besar pasak dari tiang” ia menguak cerita lama. Warung yang ramai membuatnya menderita euforia. Sebuah rumah di Taman Mini, mobil kijang, dicicilnya dengan antisipasi bahwa penerimaan sehari-hari dari warung akan cukup buat menutupi cicilan per bulan. Perkiraannya meleset, rumah terpaksa dijual, mobil ditarik karena tak kuat bayar. Untung ia biasa hidup susah. Disiplin ketat membuatnya bangkit dari kesulitan ini. Dan akhirnya disiplin menjadi panduan utama dalam menjalankan usaha Bopet Mini. The rest is history.

Ibu Et sekarang berusia 60 tahun, wajahnya masih licin, air muka berseri. Mungkin dari air wudhu sholat dhuhanya yang tidak putus. Cintanya terhadap pekerjaannya juga tak putus-putus. Ia bercerita dengan antusias tentang rencananya untuk bulan puasa nanti, menu apa saja yang akan ditampilkannya. Setiap ramadhan, kios tengah yang saat ini terisi meja kursi belaka, disulapnya menjadi dapur. “Kami mulai masak jam tujuh pagi dan kompor baru mati jam empat sore.” Berbagai stasiun teve datang meliput “atraksi’ masak-memasak di tengah pasar ini.

Di sela-sela pembicaran denganku, sempat-sempatnya ia -bagai jenderal di tengah perang- mengeluarkan instruksi kepada karyawannya yang hilir mudik melewati kami : ‘Satu kilo cabainya ya, bawang merah setengah saja”... atau “panci ini digosok dulu ya, mau dipakai buat rebus santan” dst..... (Ternyata kesibukan “perang” ini berkaitan dengan pesanan untuk pesta perkawinan di malam harinya).





Sekilas perilaku ini terlihat seperti micro managing, bertentangan dengan teori kepemimpinan modern. Namun kurasa ia dengan kesederhanaannya sedang membangun suksesi dengan cara mencontohkan gaya pengelolaan model Ibu Et.

Memang kemampuan manajerial terlihat merupakan kekuatannya. Para pegawai dipondokkannya di asrama miliknya tak jauh dari pasar. “Seperti kos-kosan saya buat. Setiap beberapa kamar satu kamar mandi. Untuk orang kepercayaan saya kamar dibuat lebih besar, bisa menampung satu keluarga dengan kamar mandi di dalam”. Yang disebutnya sebagai orang kepercayaan ada dua, Mbak Timi, tukang masaknya berbelas-belas tahun, serta satu lagi (namanya saya lupa), penyelia warung yang suaminya dibukakan Ibu Et warung kelapa di pasar Bendungan Hilir juga. Ini satu lagi gaya manajemen Ibu Et dalam hal mengelola SDMnya, satu keluarga dia urusi. Memang cara tradisional, namun esensinya mungkin bisa ditiru.


Kunci penting lain dari kelanggengan bisnis Ibu Et adalah passionnya, semangatnya, kecintaannya akan bisnisnya. Matanya berbinar-binar menceritakan berbagai aspek warung ini, aspirasinya, rencana-rencana masa depannya. Namun kurasa di atas segala-galanya, kemampuan memberi teladan (role-modeling) adalah landasan terpenting yang menyebabkan bisnis ini bisa bertahan lama. Semua nilai yang beliau usung, kesederhanaan, ketekunan, ulet, disiplin, pantang menyerah, tertib kelola dsb., ditunjukkan dan diamalkannya dalam kesehariannya.

Ibu Et bukan manusia sempurna. Pengelolaan bisnisnya juga bukan yang paling tanpa cacat, suatu ketika perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun aku yakin banyak yang bisa dipelajari dari Bopet yang bertahan tanpa sistem franchising, belum menggunakan cash register yang mencatat uang masuk secara sistem, bertahan di tengah pasar, tidak bersolek dalam ruang ber-AC dan tetap berkibar.