Monday, June 10, 2013

SORE HARI



Entah kenapa - seperti satu baris lagu yang bersiul berulang dalam kepala- sekeping gambar mengikuti saya, terbawa bertahun-tahun. Tentang suatu sore.
@@@
Saya pulang kerja lebih cepat. Di pengkolan satu pemukiman padat, di balik gedung-gedung gagah jalan Jenderal Sudirman, berendeng lima lelaki muda mencangking helm keselamatan, berjins koyak berkaus penuh noda semen dan cat, menuju ke arah perumahan penduduk yang masih tersisa. Langit mulai jingga. Mereka berjalan dengan langkah merdeka, bercanda saling meninju lengan, tertawa lepas. Kelihatannya baru pulang kerja dari salah satu proyek pembangunan gedung di sekitar tempat itu.
Beberapa rumah dari tikungan, ada deretan ruko tua dengan teras lantai dua yang cukup luas. Dua gadis yang saya tahu kerja di toko tersebut (saya seorang langganan toko mereka) sudah rapi mandi berdandan sedang riuh berceloteh sambil menyuapi anak majikan. Cekikan mereka menghentikan langkah para pemuda, yang melontarkan pandang ke atas, melempar teguran dan seketika membuat tawa kedua gadis tertahan jadi tersipu-sipu. Kejadian ini hanya sebentar dan tak ada yang istimewa yang kemudian terjadi. Pekerja bangunan pulang meneruskan langkah saling menggoda teman, lawan jenis mereka di balkon meneruskan memomong anak. Tetapi kombinasi jalan gontai asoi para pekerja bangunan, rambut setengah basah habis mandi melekat di kepala para gadis, sapuan bedak di wajah, keriangan mensyukuri selesainya pekerjaan hari ini, menciptakan magis yang membuat keadaan ini membeku dalam album di kepala saya.
Saya ingat  betapa hati  tersengat tertulari kebahagiaan sederhana ini dan terpikir, betapa berharga dan betapa mulai langka sore nikmat. Lalu sadar, ada aroma ajaib ketika hari akan bersalin gelap. Seolah di titik ini alam sedang bersujud syukur bersama, satu hari produktif lagi diselesaikan.

@@@
VS Naipaul, penulis pemenang Nobel dalam bukunya "Among the Believers" menceritakan pengalamannya bertualang ke negara-negara Islam. Di satu halaman ia melukiskan sketsa satu sore di kampung daerah Jawa Tengah. "Sore begitu penting buat mereka" observasi Naipaul.
Seakan menegaskan kesimpulan Naipaul, anak saya mengamati hal yang sama. Desa keluarga angkat Ajeng saat tugas sekolah berada di Jawa Tengah, di desa Sukorejo. Setiap sore para ibu berkumpul di satu pondok, masing-masing membawa cemilan, dan satu teko teh kental terhidang. Mereka akan ngerumpi ngalor ngidul menunggu panggilan adzan magrib. Ajeng antusias menceritakan ini, mungkin rindu akan sore-sore hari  saat kecilnya, disuapi sambil bermain ayunan dan perosotan depan rumah ditemani sekawanan anak-anak lain.
@@@
Dalam memori saya yang mulai memburam, berlembar-lembar sore indah lain terkenang. Beberapa menonjol jelas, seperti foto berwarna di antara gambar hitam putih. Kebanyakan bersama orang tua saya.
Masih jelas anggukan daun pohon palem di pinggir Sungai Musi, saat masih kecil dan tinggal di kompleks perumahan Sungai Gerong, Palembang. Sore-sore kami sekeluarga menyusuri trotoar di bawahnya. Sungai lebar memisahkan kami dari titik-titik kecil di seberang, rumah-rumah bertonggak di atas air. Di mata kanak-kanak saya sama perkasanya badan air Musi ini dengan lautan.

Seringkali jalan-jalan diteruskan ke "Kamar Bola", semacam klub komunitas yang mayoritas pegawai Stanvac, perusahaan minyak tempat ayah bekerja. Kalau ayah sedang murah hati kami diperbolehkan memesan es krim tanpa pengawet, melulu susu yang diwadahi gelas stainless steel setengah bola. Sekali sekala boleh minum limun hijau.  Kalau sudah begitu, saya merasa paling beruntung sedunia.
Ayah juga sering membawa kami berputar-putar di antara waktu asar dan magrib. Waktu usia saya kurang dari sembilan tahun, mobil ayah bermerek Dodge dengan bak belakang. Saya bersama adik-adik  duduk di bak beralaskan terpal, menikmati udara sore dalam arti sebenar-benarnya dengan terpaanangin di muka. Kemana? Tak tentu, kadang ke penjahit langganan - tante Merry- di Kampung Baru, kadang menyambung silaturahmi mampir ke rumah guru mengaji, seperti yang saya katakan, sesuka-suka setir ayah membawa.
@@@
Sudah beberapa bulan ini saya tidak bekerja keluar rumah. Sore-sore jadi milik saya lagi. Selepas asar saya akan duduk depan jendela apartemen di tingkat 32 memperhatikan dua kavling tanah luas berpagar seng dijepit gedung-gedung tinggi. Beberapa bulan lagi pemandangan ini akan terhalang. Tanah kosong sebelah kanan telah ditanami berkubik-kubik fondasi, gedung-gedung berpuluh tingkat akan tumbuh di atasnya. Yang sebelah kiri, areal berumput satu-satunya yang tinggal sudah dikepung pagar seng, siap digilas proyek berikutnya. Sementara ini hanya ada satu jalan tanah membelah rumput subur kavling ini.
Sementara ini, saya masih diizinkan Tuhan menikmati pemandangan macam-macam. Ketika sore masih muda tadi, sering terlihat pasukan sapi atau kambing  merumput, kadang berpapasan mobil berat proyek, yang terpaksa menunggu dengan sabar sampai gerombolan ternak berkenan memberi jalan. Sering saya potret (dengan lensa berzoom tinggi) mengamati perilaku hewan-hewan ini untuk mengamati polanya. Kambing-kambing biasanya dengan tenangnya mendeprokkan badan, berbaring di jalan tanah setelah merumput. Sapi sering bercanda satu sama lain, melompat dan menyeruduk canda. Dan tak sengaja membuat sore lebih berwarna.

Satu sore, satu motor terlihat dihentikan di lapangan rumput. Lensa kamera cukup kuat untuk melihat bahwa ini adalah motor pedagang dengan semacam bak berisi barang dagangan di belakang (tak jelas apa).

Sang pengemudi turun dari motornya, tegak berdiri di samping motor cukup lama, sebentar memandang ke atas, menghadap ke sana, bertolak pinggang. Saya merasa agak tak enak hati, seperti mengintip privasi tanpa izin, walau bertengger jauh di atas, berada tiga puluh dua lantai dari bumi. Setelah kira-kira 20 menit ia menstarter motornya dan segera hilang dari pandangan. Mungkin dia mengisi ulang semangatnya, menikmati sore jatahnya.
@@@
Di akhir 70-an awal 80-an, Denny Malik menyanyikan hits-nya, "Jalan Sore-Sore". Himbaunya, "Mari kita mencuci mata.. Mumpung kita-kita masih muda". Di tingkat urban kini, bahkan yang muda pun susah menikmati sore. Beban tugas semakin berat, mengarungi jalanan memerlukan waktu panjang, rumah baru bisa dipeluk saat malam sudah turun.
Teman, kapan terakhir sempat memperhatikan sore?

Jakarta, 10 Juni 2013


Saturday, June 8, 2013

SATE ENTOK DAERAH RASUNA


When life gives you traffic jam, make picnic - kalau hidup melemparkan macet padamu, buatlah jadi picnic (plesetan dari when life gives you lemon, make lemonade).

Kira-kira ini yang terjadi kemarin sore. Macet seperti iring-iringan semut. Merangkak bagai siput dari rumah di Apartemen Rasuna ke depan KPK, padahal kami sudah memutar lewat belakang, ke arah Imperium. Tapi bagi saya, yang sudah lama keluar rumah, serasa piknik. 

Segerombolan sapi yang sering saya lihat dari lantai 32 apartemen sedang bermain-main merumput di sepetak lapangan tersisa diantara beton Jakarta, dilingkari mobil rapat parkir di pinggirnya. Deretan gerobak dorong menggelar bangku di kaki lima di depan gedung-gedung tinggi, bertembok pagar tanaman gedung yang rapi seperti rambut baru diset di salon, mengkontraskan yang ideal (gedung tinggi) dan realita (kaki lima). Bangku-bangku papan menampung sebagian manusia-manusia yang keluar dari kantor-kantor megah, yang tingkat dompetnya hanya mampu dibelanjakan di warung-warung seperti ini.

Macet tak juga reda, dua jam duduk dalam taksi, tak jauh ruas jalan yang kami berhasil tembus. Saya bertukar strategi. Tak mungkin juga janji bisa dipenuhi tepat waktu. Saya batalkan pertemuan, dan segera pak supir taksi balik kanan jalan.

@@@
Tapi saya sudah terlanjur kesetrum udara luar. Mau pulang merasa rugi, sudah ada di luar. Sudah dua bulan sakit saya menghalangi menikmati jam pulang kantor penuh uap bersyukur. 

Saya menelisik deretan gerobak dengan nanar. Satu menarik perhatian. Bukan karena warna, bentuk atau meriahnya, tapi tulisan di kaca etalasenya. "SATE ENTOK" serunya di kaca kiri "LONTONG SAYUR" terpampang sebelah kanan. Pak Supir pun segera cari parkir.

 

@@@

Hidangan ini dihadirkan sebagai setelan dua jenis pemeran yang sama pentingnya: lontong sayur (diameter lontong sebesar bumbung bambu), dengan satu atau dua tusuk sate entok. Kalau dibawa pulang, lidi bambunya dilepas, daging entok yang diiris pipih dicemplungkan sekalian ke dalam lon-say (istilah orang sumatera untuk lontong sayur).  "Nanti menusuk plastiknya, bisa bocor" kata penjualnya.
`
Sayurnya bersantan cair, bumbu dan sambal yang pas nian, serpihan tempe dan irisan halus kacang panjang (atau buncis) hanya sayup-sayup terlihat. Daging entok yang kucurigai akan amis, muncul mempesona sebagai primadona. Seratnya rapat seperti daging kerbau. Warnanyapun lebih gelap daripada bebek atau ayam. Citarasanya susah saya gambarkan selain satu kata ini: mantap. Lebih menyerupai daging mamalia daripada unggas, empuk seperti sapi muda.

Sambil menunggu disiapkan, saya seperti biasa, mengobrol dengan pemiliknya. "Nama saya Nok, bu" kata sang istri yang cantik semok.  "Hah, mbak Nok jual entok?" saya keceplosan karena merasa seronok mendengar nama yang  berselaras dengan  bunyi "entok". Mbak Nok tidak tersenyum. Kelihatannya tidak terlalu menyukai gurauan saya. Namun wajah mbak Nok mekar sumringah begitu mulai bercerita tentang bisnisnya. Bisnis ini baru setahun belakangan ini dirintisnya bersama suami (mbak Nok cerita sambil senyum-senyum, seolah bisa baca pikiran saya yang terkagum-kagum menyaksikan antrian yang panjang menungggu sate entok dan meja-meja berlantai rumput beratap langit yang selalu penuh). Sebelumnya mereka berjualan nasi goreng.

"Kenapa terpikir menjual sate entok?" "Ini masakan khas Brebes, bu, kampung suami".

Sampai di rumah saya langsung bercengkerama lagi dengan teman baik, Mr. Google. Tidak keluar gambar maupun cerita yang memadukan sate entok dengan sandingan ketupat sayur.

 
Penasaran, besoknya saya beli lagi - selain ketagihan juga ingin tahu lebih banyak mengenai masakan ini. Dari mana asal resepnya? Apakah kreasi sendiri? Resep warisan nenek? Pertanyaan berderet di kepala saya. Mbak Nok tertawa ketika aku setengah mengeluh bercerita tentang kesulitanku mencari informasi mengenai sate entok di internet. "Mungkin orang mengenalnya sebagai ketupat entok bu", katanya. 

Well, hasil pencarian saya dengan kata kunci "ketupat entok", menggiring saya ke penemuan baru. Saya duga keras (sungguh keras, teman-teman, ciyuss nih), bahwa sate entok mbak Nok tergolong jajaan Brebes yang disebut kupat blengong. Atau lebih tepatnya kupat glabed plus sate blengong. (lihat site: http://www.tempo.co/read/news/2009/12/13/105213494/Kupat-Blengong).

Dari site ini saya jadi paham bahwa aslinya, daging sate terbuat dari blengong hasil persilangan bebek dan entok. Keturunan kedua jenis spesies inipun masih harus diseleksi, hanya yang jantan, karena dagingnya lebih tebal. Tak jelas apakah mbak Nok suami isteri memakai daging blengong atau entok, seperti yang tertulis dengan cat tebal pada kaca gerobak dorongnya.

Entok atau blengong, satu hal sudah jelas: piknik tak sengaja malam itu mempertemukan saya dengan jajaan mbak Nok dan suami yang mantab punya !!!

P/S: Oh, iya, gerobak dorong sate entok baru operasional sore-sore menjelang pulang kantor sampai malam hari.

Friday, June 7, 2013

PONDOK SAPI BENGGALA


Sapi benggala ditambatkan di pondok sederhana ini. Di kampung manakah gerangan?



Mungkin kalau dizoom out lebih jelas kelihatannya.....


Oooh, kampung di belakang gedung?


Rupanya satu pondok tersisa dari satu kampung yang tinggal puing-puing, menghitung sisa hari untuk juga diratakan, menjadi gedung bertingkat seperti jendela tempatku menginguk ini.

Jakarta 1 Juni 2013]

 (Dari "Diari Jendela")

MAYESTIK


Saya masuk Jakarta akhir tahun 80-an. Pasar yang paling sering saya kunjungi pasar Mayestik . Di mataku yang awam kota metropolitan ini, pasar seperti miniatur kota. Tak ubahnya seperti ucapan Ishai Golan, pembawa acara dan produser acara Market Value (National Geography): menurutnya jika kita ingin mempelajari suatu masyarakat dan budayanya, pasarlah tempatnya.

Semakin famiiliar saya dengan pojok-pojok Mayestik - dimana beli kecombrang, tali tambang, renda, korset; berkenalan dengan pramuniaga Toserba Esa Genangku; rajin berlangganan berbagai jajanan di depan Restoran Miramar dst - semakin pede saya akan pemahaman magnitude Jakarta. Saya yang dari kota kecil - Rumbai kemudian Bogor - menjadi gape berurusan dengan kompleksitas dan skala Jakarta.

Terakhir kali saya kemari, agak terhenyak melihat bangunan sederhana pasar yang pojok-pojoknya begitu akrab dengan saya sudah beralih rupa menjadi bangunan kubus hijau belang-belang kuning seperti kotak kue bika ambon Zulaika Medan.

Syukurlah saya masih bertemu dengan ketupat ketan rebus santan kesayangan di depan toko outlet Khong Guan yang tak berubah, di dekatnya masih bisa saya nikmati ayam bumbu rujak dijepit bambu mbak Tini (meneruskan bisnis almarhum ibunya), Kedai Selera favorit saya dengan lontong cap-gomeh dan pindang kudus andalannya masih pol aslinya, toko Nasional yang tak mengenal istilah layout toko, panci, rantang, cangkir enamel diletakkan di atas mesin jahit (yang ternyata punya orang, sedang direparasi).

Jiwa Mayestik yang seada-adanya, juga masih tak tersentuh, seperti terlihat di kios berjualan pecah belah dan keramik biru Belanda (pura-pura), yang di bawahnya ditimbuni bawang brambang (gambar kiri paling atas).

@@@@

Jokowi dalam buku berjudul namanya: JOKOWI, menulis pikirannya tentang pasar tradisional (hal. 122) :

"...saya juga merevitalisasi pasar-pasar tradisional dan menekan tumbuhnya jumlah supermarket dan tempat belanja modern. Solo adalah kota dengan potensi ekonomi kerarkyatan yang sangat kuat. Pedagang-pedagang kecil jumlahnya sangat banyak dan masyarakat kami juga masih menganut hidup yang kental dengan tradisi. Di antaranya, para ibu yang setia berbelanja ke pasar. Ekonomi berputar karena pedagang kecil di pasar terespon baik oleh apresiasi pembeli. Situasi indah ini tak boleh dirusak.

Modernisasi boleh ada, tapi itu tak boleh menciptakan shock kultur. Biarlah secara alamiah dan perlahan modernisasi akan menyentuh berbagai elemen kehidupan, termasuk perdagangan. "

@@@@

Besar harapan masyarakat kebanyakan Jakarta, agar (setelah bukti mengesankan di Solo) Jokowi teguh dengan kebijakan berkepihakan kepada rakyat banyak (non-korporasi) ini. Mall-mall tidak bertambah, dan pasar dirawat beserta segala nilai dan makna budayanya.

Amin


SELAMAT MERAYAKAN INDONESIA
Gerakan mengupload foto, status, video, note, link, cerita, anekdot, refleksi, renungan tentang hal-hil yang benyawa Indonesia, setiap Jumat di kabupaten Facebook.

7 Juni 2013

Wednesday, June 5, 2013

ACCIDENTAL RECLAIM

Saya tidak terlalu yakin apakah judul di atas benar secara grammar. Namun bagi saya amat tepat menggambarkan pelajaran yang saya tarik dari kejadian semalam.

Saya kehilangan laptop.

Untuk menggambarkan keseriusan dari keadaan ini, izinkan saya menjelaskan isi laptop tersebut. Semua pekerjaan saya dari tahun 2005 s.d. saat ini terkumpul di dalam tebaran ribuan file-file di dalamnya. Sebagaimana jutaan knowledge worker lainnya, sudah barang tentu output dari kiprah kita di dunia kerja berbentuk soft copies. Dengan kata lain, saya kehilangan output aktivitas saya selama lima tahun terakhir.

Kok bisa ? Komentar ini yang saya terima dari orang-orang terdekat saya. Saya mendeteksi ada rasa kasihan di dalamnya, berusaha bersimpati, dst. Namun saya merasa the underlying feeling pasti rasa jengkel. Kok seorang dewasa (well, lebih dari dewasa. Lebih tepat disebut berumur), sehat rohani dan pikiran ( ini pasti) dan sehat raga (hmmm.... debatable...), tidak bodoh-bodoh amat, bisa-bisanya meninggalkan barang "jimat"nya di lalu lalang keramaian publik di mall ? Lagipula yang ditinggal bukan berukuran kecil. Laptop disimpan dalam koper geret beroda "fourwheel" berukuran 50 xx 45 x 25 cm. (Yes, I love you too, pembaca. Tapi tidak sampai begitu cinta "head over heels" sampai harus mengeluarkan meteran dan mengukurnya dengan rinci. Ini hanya ukuran taksiran).

Saya punya berbagai kilah : kelelahan, banyak pikiran, dikejar deadline, tidak fokus, dst. Yang paling benar adalah faktor U. Akhirnya saya mendapatkan sekelumit pengalaman bagaimana penderitaan teman-teman yang didera gejala Alzheimer. Selama beberapa jam yang berlalu di antara saat saya tertinggal koper (di Pondok Indah Mall) sampai saya turun di bilangan Mampang tempat saya tinggal, sistem sensori saya tidak sekalipun mengirimkan warning ke otak bahwa ada yang tidak beres. Kotak hitam segi empat beroda berisi laptop itu seolah-olah hilang dari dunia Yana. Padahal Yana dan laptop bisa dikatakan tak terpisahkan.

Saya tidak akan membuat bosan pembaca dengan menceritakan detil kehilangan tersebut . Well, fast forward boleh deh.....(Babak 1 :Yana kerja di PIM bersama partner bisnis saya Eliseo dan seorang dari team kami, Michael, makan, pergi ke Gramedia, beli buku, mampir ke Food Mart, panggil taksi dan pulang. Babak 2 :Yana sampai , dan ditanya orang rumah : mana koper geretnya?. Babak 3 : Yana balik ke PIM 1, pergi ke Foodmart dan disodori satu tas geret besar asing beserta seplastik belanjaan Ace Hardware. Satpamnya yakin sekali saya yang punya, walaupun saya menyangkal. Dua tiga detik saya tergoda untuk mengiyakan. Kelihatannya yang ini lebih menarik dari koper laptop usang saya. Hmmm..... Babak 4 dimana tirai ditutup dan penonton bisa pulang dengan bahagia : Yana masuk Gramedia, disambut satpam yang tanpa banyak kerumitan menunjukkan harta karun saya disimpan. Prosedur pengambilan minimal, pelayanan istimewa, cara mengkonfirmasi bahwa saya pemilik juga halus sekali. Pendek kata, happy ending.)

Sekarang saya sedang mengetik di atas laptop tua usang saya itu. Ajaib. Ada perasaan baru menyelimuti saya. Walaupun kadar cinta tetap sama, namun saya tidak merasa terlalu "attached" lagi ke benda ini.

Kalau percakapan saya dengan laptop direkam bunyinya seperti ini :
Yana :"saya cinta padamu"
Laptop :"saya juga"
Yana :"tapi saya sanggup hidup tanpamu"
Laptop:"lho kok? Berarti kau tidak mencintaiku lagi. Hatimu berpaling"
Yana: "bukan. Hanya saja saya sadar bahwa kalau kami tidak ada, duniaku tidak runtuh"
Laptop: "apakah artinya saya sudah boleh pensiun?"
dst. dst.

Beberapa jam kehilangan barang andalan ini menyadarkan saya akan beberapa hal:

Kehilangan akan menunda perjalanan sejenak, but life goes on: Saya tiba-tiba sadar bahwa kehilangan itu adalah kejadian paling alamiah dalam hidup kita. Saat ini, saat saya mengetik, saya sedang kehilangan beberapa hal : waktu, usia, sel tubuh dst.Sahabat saya teriak di telpon saat seya cerita tentang kehilangan laptop: "Yana, ini benar-benar musibah. Separo dari"otak" perusahaan ada di dalamnya".

Hari ini saya baca Ayu Azhari melaporkan anaknya yang dituduh mencuri USD 50.000.- darinya. Ayu pasti merasa kehilangan, dan bahwa anaknya somehow terlibat menghilangkan uangnya, mungkin dianggap Ayu sebagai musibah besar.

Tapi jika letakkan dalam perspektif yang tepat, kehilangan laptop, bahkan kehilangan yang dialami Ayu tidak ada apa-apanya. Dalam skala tidak terbayangkan. Mentawai, Padang, Yogya, Wasior, menderita kehilangan luar biasa. Dan mereka yang berduka berupaya untuk bangkit lagi dan melanjutkan hidup sekuat tenaga.

Andaikan laptop saya benar-benar hilang, memang dunia saya jungkir balik sejenak.. Namun hal ini tidak akan menyurutkan langkah saya untuk "jalan" terus.

Tidak ada barang yang begitu indespensable / tidak tergantikan :
Beberapa tahun lalu aku pernah membaca artikel tentang seorang inovator yang kehilangan bukunya. Ia menghabiskan begitu banyak waktu untuk mencari buku catatan kesayangannya itu. Baginya, sebagai inovator, kehilangan catatan pikiran dan ide adalah musibah besar. Semua buah pikirannya telah dituangkannya walaupun masih dalam bentuk kasar dalam berbagai disain awal dan konsep.

Suatu hari buku itu kembali. Seorang pelayan kafe yang mendengar dari pelanggan lain tentang buku yang hilang ini segera menghubunginya. Dengan kegirangan dibukanya lembar demi lembar untuk memeriksa catatan-catatannya.

Oh my God, pikirnya, ternyata apa yang selama ini dipikirnya penemuan (invention) sensasional, ternyata tak lebih dari coretan-coretan mentah yang naif. Ada satu dua ide yang pantas dikembangkan. Tapi tidak perlu dibaca dari catatan, karena telah terpatri cukup sempurna dalam pikirannya.

Cerita di atas menginspirasiku. Karena itu jam-jam kehilangan saya isi dengan menginventori hal-hal yang sifatnya meminimalkan kerugian. Isi pikiran saya saat itu seperti ini : 1) bagaimana dengan file di dalamnya? Alhamdulillah sampai bulan Juni 2010 sudah diback up. 2) Bagaimana dengan file dari bulan Juli sampai sekarang? Yang penting pasti ada disangkutkan dalam korespondensi via internet. 3) Waduh, saya bisa susah nih, semua hal yang current dan paling up-to-date ada dalam file yang belum di back up. Well, kalau sebegitu pentingnya, how come saya tidak sempat memback-upnya? Jika sebegitu penting,bagaimanamungkin saya tidak membuka file-file tersebut selama beberapa bulan? 4) bagaimana dengan beberapa artikel yang baru ditulis, awal dari beberapa paper dst? well, saya selalu bisa menulisnya ulang dari mula. Kali ini bahkan lebih gampang karena ide sudah pernah dituangkan ke tulisan.

I Should NotTake Things for Granted (jangan anggap kecil apa yang saya miliki)
Sekarang saya lebih siap kehilangan laptop. Isi laptop telah saya backup dalam dua buah external harddisk.
Namun pada saat yang bersamaan laptop ini makin saya sayangi. Begitu setianya ia menemani saya pergi ke pelosok, ke tempat terpencil, ke hutan, ke luar negeri. Saya baru saja menyapukan kuas kecil di seputar keyboard, mengeluarkan remah-remah yang tertinggal di antara tombolnya. Layar saya usap hati-hati dengan bahan khusus. Sepanjang barang ini masih dipercayakan kepada saya, akan saya rawat lebih hati-hati.Mudah-mudahan pelajaran ini bisa "nempel" untuk jangka waktu agak lama. Tadi pagi pena parker pemberian teman nyelip entah dimana. Saya menghabiskan satu jam mencarinya sambil stress dan mngomel-omel menyalahkan diri sendiri. Susah rupanya menerapkan pelajaran dengan konsisten.

Yang penting kan usahe.... iya nggak?

Tuesday, June 4, 2013

PANTAS MASUK TAMAN JURASSIC?

”No good writing can be produced from a connected desk (tak ada tulisan bagus yang dapat tercipta dari atas meja yang tersambung (ke dunia cyber)".
Ini adalah ucapan Cate Kennedy, penulis buku award winning “The World Beneath” saat saya menghadiri acara bedah bukunya di Ubud Writer’s Festival, Oktober lalu. (Mengenai event ini, akan saya ceritakan di tulisan terpisah).
Saat itu ucapan Cate masuk akal. Apalagi diteruskannya dengan: "Tulisan yang baik dihasilkan dari jam-jam merenung dan orat-oret di pojok ruangan". Hmmm… iya juga ya?  Argumen yang diutarakan Cate adalah bahwa fokus penulis bisa teralihkan dengan menelusuri dunia cyber tanpa terbendung.  Melihat reputasi Cate, dengan deretan buku larisnya, dengan pembawaannya yang karismatik, susah untuk tidak menyetujui hipotesisnya di atas :  penulis tak perlu internet, atau dengan kata lain, teknologi.
Beberapa waktu belakangan ini saya mulai ragu apakah saya masih sependapat dengan Cate. Jenar Mahesa Ayu, penulis yang benar ayu itu, menghabiskan malam-malam penciptaan berbagai novel dan cerpennya di teras Coffeewar, Kemang Timur. Wifi menghubungkannya ke bendungan informasi lewat berbagai pintu, google, dan mesin pencari lain.
Di tempat yang sama minggu lalu, saya menyaksikan kejadian yang makin membuat saya ragu, apa iya penulis kreatif  saat menulis sebaiknya tidak terhubung ke dunia maya? 
Saat itu saya menemani anak mengerjakan tugas jurnalistik kelompoknya. Hasil akhirnya tak dapat dikatakan tulisan bergenre kreatif,seperti karya seniman teman2 Mahesa Ayu di kafe ini.  Tetapi saya berani tanding panco dengan siapa saja yang mengatakan bahwa proses penulisannya tidak kreatif.. Begitu kreatifnya sampai-sampai melibatkan paling tidak tujuh wahana berteknologi.
Di bawah ini saya mencoba menvisualisasikan kerepotan Ajeng , anak saya, dalam mengerjakan laporannya yang dihadang deadline tersebut.
Di layar laptop (perangkat pertama), terbuka halaman facebook (wahana kedua) dimana Ajeng terhubung dengan teman2nya satu kelompok melalui chat room (tool ketiga). Inbox facebook dipakai untuk mengirimkan kepingan2 pekerjaan yang digarap oleh anggota kelompok berbeda (tool keempat). Email juga diberdayakan untuk menampung hasil wawancara yang direkam lewat video (tool kelima dan keenam). Sambil merakit potongan2 dan menyelesaikan bagiannya sendiri, Ajeng memonitor proses pengkoleksian bahan ini lewat blackberry messangernya (tool ketujuh)…..
Saya tercengang-cengang melihat Ajeng dengan gesit berakrobat men”juggle” ketujuh wahana berteknologi ini untuk mengalahkan deadline yang semakin merapat.
Tiba-tiba saya merasa sama usangnya  (dan pantas punah) dengan dinosaurus beserta keluarga besarnya.
Tepat di saat yang sama saya sedang menggarap satu tulisan bersama dengan rekan kerja. Ia minta tolong agar lembar draft yang kami oret-oret pada pertemuan sebelumnya dikirimkan kepadanya yang sedang berada di luar kota.
Buah pikiran kami yg jadi landasan tulisan tersebut kukirimkanlah lewat…. sebelas potong SMS !!!  Percaya ga sih?  Tidak email, tidak pesan BB, tidak pula berupa hasi scanning. Saya dan rekan saya itu memang perlu diafkirkan ke Jurrasic Park,  saking tertinggalnya dalam hal kegapean teknologi.  SMS – yang benar saja !. S udahlah  memakan waktu, tidak tepat guna dan rentan terhadap kesalahan pula.  Sejam lebih  saya tertatih-tatih mengetik kalimat demi kalimat dalam frame sms yang kecil-kecil itu.  Jika Ajeng ada dalam posisiku, pekerjaan sesederhana ini sudah diselesaikannya dalam waktu jauh lebih singkat.
Memandang Ajeng malam itu saya  diam-diam tersenyum. Suatu keyakinan merambat di hatiku bahwa Insyaallah di masa depan Indonesia akan lebih mantab (pakai “B” bukan “F”) jalannya karena  digiring oleh generasi yang amat gaptek (baca :  GAPE  teknologi).
Dan sementara menunggu masa depan, siapa bilang orangtua tidak bisa belajar dari anaknya agar dapat menguasai teknologi dengan lebih baik?  Seperti saya, yang minggu  ini lebih TangTek (tanggap teknologi) dibanding kemarin-kemarin. Thanks to Ajeng.
P/S: Cate Kennedy seumuran saya. Tak heran ia  tidak canggih teknologi…..

Monday, June 3, 2013

PIPIT, BIDADARI DARI INDRAMAYU



Pipit (17 tahun), asal Kertasemaya, desa Tulungagung, Indramayu, muncul di pintuku saat aku sedang mencari tenaga untuk menemaniku di rumah, pulang dari Hari ini -setelah percobaan minggu lalu gagal, dan menghasilkan bundaran gepeng- Pipit berhasil membuat kue sus. Tak banyak kutuntun, memang bakat dan kecerdasannya luar biasa. Tak henti-hentinya ia tertawa cekikikan mengagumi hasil karyanya sendiri. Sebentar-bentar pintu oven diintipnya sambil mengeluarkan bebunyian: Waaah, woooow, aaaah. Agaknya takjub ia karena bisa menciptakan magic : "Kok bisa gembung begitu ya bu?" Aaah, indah sekali melihat dunia dari kacamata Pipit. sakit.

Pertemuan pertama telah menyiratkan reaksi kimia begitu mutual, sehingga hari-hari kami selanjutnya begitu meriah diisi keindahan seorang Pipit.


Ia tak melanjutkan SMA setelah selesai SMP (dimana ia selalu ranking 1) untuk memberi jalan abangnya yang di SMA (tak kurang berprestasinya, sehingga sering dibantu Kepala Sekolah dalam hal pembiayaan). Ayah Pipit sudah lama tak bisa bekerja sebagai pemasak saat hajatan; paru-paru dilumuri asap terlalu lama sehingga tak sehat lagi. Ibunya di hari-hari beruntung mencuci pakaian tetangga, di sisa hari lain terpaksa keliling mengamen. 

Rapor Pipit mencengangkanku, kecepatan ia menyerap semua instruksi dan pelajaran membuatku terkesan. Acara teve Arirang, Opera Van Java, program memasak dan jalan-jalan di luar negeri jadi kegemarannya. Waktu senggangnya dibuat browsing internet. Saat membaca suara2 keluar dari Pipit, tak bisa membaca dalam sunyi. "Baca apa Pit", tanyaku dari kamar. "Kisah para nabi, bu". Suatu hari ia bereaksi kagum lebih nyaring: "Bu, ada foto stasiun Kertasemaya dekat kampung Pipit. Lihat mesjid besar, Jami' Al A'Dhom itu bu? Lorong ke kanan sesudah tembok itu ke arah kampung Pipit".

Mulai bulan ini Pipit tercatat sebagai pelajar pengejar Paket C (SMA) di Tebet Dalam. Di samping itu ia mengantongi ketrampilan lain: memotret, membuat kue, memasak.....

Ia rajin membaca buku resep - memang cita-citanya ingin jadi koki terkenal. Baru-baru ini ia kuajari membuat stew, masakan Eropa berupa ayam yang kuahnya dikentalkan seperti cream sup. Ia bercerita tentang percakapannya dengan maknya di kampung bahwa ia sudah bisa memasak stew. "Apa itu stu" tanya ibunya. "Itu mak, ayam dimasak seperti opor tapi bukan opor"... Hehehehe aku terhibur mendengar analoginya, walaupun selain berbahan sama2 ayam (yang dimasak stew ayam soale), aku tak melihat kemiripan stew dengan opor.

Bagaimana menulis stew? tanyaku. "S T O E" jawabnya yakin. hihihi....

Hari ini -setelah percobaan minggu lalu gagal, dan menghasilkan bundaran gepeng- Pipit berhasil membuat kue sus. Tak banyak kutuntun, memang bakat dan kecerdasannya luar biasa. Tak henti-hentinya ia tertawa cekikikan mengagumi hasil karyanya sendiri. Sebentar-bentar pintu oven diintipnya sambil mengeluarkan bebunyian: Waaah, woooow, aaaah. Agaknya takjub ia karena bisa menciptakan magic : "Kok bisa gembung begitu ya bu?" Aaah, indah sekali melihat dunia dari kacamata Pipit.


Potret ini kucuri, Pipit tak suka difoto, ia lebih suka menfoto. Setiap sore, ia pergi ke depan jendela dan melaporkan kepadaku, "bu, langitnya bagus bu. Pipit potret ya?". Intuisinya dalam men-frame objeknya, mengambil sudut, membuatku semakin ber-wow-wow, bersyukur dikirimi seorang Pipit.

Barusan kutunjukkan tulisan ini kepadanya: "Ah, Ibuuu...." Pipit lalu menyembunyikan mukanya di tangan sambil tertawa malu. Tak lama ia duduk depan komputer dan mulai membaca sambil senyum2.

Ah, Pipit. Lucu banget sih.

PERJALANAN BERIBU MIL DIMULAI DARI SATU LANGKAH KECIL *)


Rahangku terjatuh melemas menghasilkan bunyi "woow" - tercengang melihat beberapa produk di outlet Kedaung, kemarin. Barang-barang meriah mencolok ini bercorak gambar krayon seputar budaya Indonesia.

Celengan murah (cuma 13 ribu saja), misalnya; di sekujur dindingnya yang membentuk silinder, berdetil menarik, dengan beragam tema. Salah satunya menampilkan keseharian di desa. Ada orang menampi beras, lelaki berselempang sarung, iperempuan2 menumbuk padi, anak2 dolanan, bis parkir, ibu menggendong bayi, memberi makan bebek, padi dijemur, ibu menjunjung bakul di kepala dst. Cukup mencengangkan karena diameter kaleng hanya 7 cm. Piring dan gelas berhiaskan prosesi upacara Bali, tak kalah menariknya.

Sekarang kaleng celengan sudah nangkring dengan indah bersama pernak-pernik lain yang kuanggap bernilai di rak bukuku. Harga instrinsik celengan jauh melewati harga nominalnya yang murah, di mataku. Patut dipajang dan dikagumi.

@@@

Di rumah, kuteliti kemasannya. Di sudut kotak ada alamat situs: www.ykai.net. Aku tergerak mengunjungi situs Y(ayasan) K(esejahteraan) A(nak) I(ndonesia) ini, dan menemukan lagi sekelompok orang-orang peduli bangsa yang berhasil menterjemahkan visi ke dalam langkah-langkah kongkret.

Ini yang tertulis sebagai misi mereka: "Meningkatkan kualitas dan kesejahteraan anak Indonesia melalui upaya-upaya peningkatan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan masyarakat, untuk mengembangkan potensi anak sesuai dengan hak-haknya .....dst."

@@@

Aku sadar bahwa banyak agen-agen perubahan di negeri kita yang hebat selain YKAI. Bahkan dari sisi YKAI sendiri aku jadi tahu dari halaman2 situsnya bahwa menghasilkan gambar untuk dicetak di keramik dan celengan ini (lewat lomba tahunan rupanya) hanyalah satu dari banyak aktivitas YKAI lainnya (ada perpustakaan keliling, program sejuta buku, revitalisasi Posyandu, beasiswa, dst)

Tetap saja, aku terkagum-kagum dengan jurus kerjasama mereka yang menghasilkan rekaman mosaik budaya Indonesia di atas produk Kedaung ini. (Mungkin karena di tanganku secara fisik aku memegang buah pikiran YKAI yang dijelmakan jadi benda nyata). Menurutku ini pijakan strategis sekali ke arah visi; mengembangkan potensi anak Indonesia. Manfaat jangka pendek penjualan produk akan menghasilkan uang untuk membiayai program-program idealis mereka, ataupun membantu anak2 kurang sejahtera secara langsung.

Namun bagiku, manfaat tak langsungnya yang kupikir te-o-pe be-ge-te.

Bayangkan seorang anak Indonesia –katakan namanya Dion- membeli gelas dan piring bergambar... emm... ibu-ibu menumbuk padi, atau barongsai. Setiap pagi, setiap sarapan, ia akan melihat dan memperhatikan gambar yang sama. Rasa ingin tahunya akan mendorong Dion untuk bertanya lebih lanjut kepada ibunya, ayah, lingkungannya. Penelusuran ini akan membawanya mengenal aspek lain dari budaya Indonesia. Dan Dion jadi paham akarnya, tak hanya kenal Sponge Bob, Dora Emon dan Ice Age.

Beribu Dion, lewat efek viral, akan menghasilkan anak-anak lain yang lebih aware tentang tradisi bangsanya. Mereka yang paham siapa dirinya, akan tumbuh lebih percaya diri dan sanggup lebih kritis dalam menyikapi pengaruh yang diterima.

@@@@

Aku pernah baca ini: "Semua hal tercipta dua kali - satu dalam imajinasi, sesudah itu di dunia nyata"

YKAI, di mataku, contoh berhasil mengejawantahkan imajinasi ke dalam dunia nyata. Celengan kaleng yang bertengger di tengah2 buku-bukuku adalah bukti bahwa jalan menuju perubahan tak perlu melalui gagasan megah dan maha. Bisa melalui hal-hal kecil sederhana.

Salut.

Jkt, 14 April 2013

*) Kata-kata bijak Konfusius : "A journey of a thousand miles starts with one single step"

Keterangan foto: kanan dan kiri atas serta kiri bawah, produk-produk Kedaung dengan berbagai tema.

Gambar kanan bawah: foto anak-anak yang ikut lomba gambar tahunan yang diadakan oleh YKAI. Gambar pemenang lomba inilah yang akhirnya tercetak di atas produk Kedaung. Foto lomba gambar kupotret ulang dari atas kotak kemasan piring.



I LOVE YOU = I FEED YOU


"Say it with flowers"... Di keluargaku pomeo ini berbunyi berbeda: utarakan cintamu dengan.... makanan ! Mungkin itu menjelaskan kenapa begitu meninggalkan masa remaja aku segera 'terpeleset" masuk dalam kategori molijg, plump, berisi atau (aaah, berat mengucapkannya)...gemuk ! Naik ke atas timbangan selalu jadi pengalaman menegangkan.


Aku ingin menyalahkan orangtuaku untuk habit makan ini. Tapi tidak sanggup, karena kebahagiaan di baliknya jauh mengimbangi dampaknya terhadap lingkar pinggang.

Waktu aku dan adik-adik masih kuliah di Jawa, orang tuaku (yang tinggal di kota di Sumatera) dengan teganya minta tolong secara berkala kepada teman-temannya yang dinas ke Jakarta untuk menenteng berkilo-kilo buah tangan buat anak-anaknya. Ketiga saudaraku mendapat bingkisan yang identik dengan yang kuperoleh. Aku curiga bahwa agar sama rata, setiap paket ditimbang supaya adil

Makanan ini semua buatan tangan ibuku, chicken kiev (ayam diolah ala rusia, diisi mentega bumbu), udang galah sebesar-besar lengan bayi sudah dibumbui dan digoreng, rendang, dan macam-macam lainnya. Ayahku, yang doyan masak, juga tak mau kalah. Beliau akan mengirimkan kue gulung atau lapis legit yang ia buat sendiri. (Aku masih bisa membayangkan almarhum ayahku di dapur, bertaburan panci2 serta wadah2 kotor, berantakan. Cipratan kocokan telur biasanya hinggap di tembok, di pintu lemari dapur. Di dapur, keteraturan logisnya sebagai dokter medis, tak bersisa. Panik, kurasa, di luar zona nyamannya.).

@@@

Setelah aku dewasa, bingkisan cinta dari jangkar kekuatanku di Bogor tak juga berhenti. Bermacam-macam penganan, baik buatan ibu maupun dibeli jadi, secara rutin menyeberangi tol dan mendarat di meja makanku. Bedanya, jika zaman dulu kami mendapat kiriman identik, di era ini setiap paket unik isinya. Apakah ibuku menerapkan policy berbeda? Tidak juga, tetap adil, karena disesuaikan dengan kegemaran penerima.

Memilihkan bingkisan yang sesuai dengan selera penerima sebenarnya keahlian adikku nomor dua, Dina, yang sekarang tinggal bersama Ibu di Bogor. Ia hafal semua favorit seluruh anggota keluarga, ibu, tante, saudara2, sepupu, keponakan2. Jika isi paket bukan berupa masakan ibu, maka Dina mendapat tugas luar, logistik, pergi ke toko membeli penganan buat bingkisan. Satu ketika aku akan memperoleh asem kering thailand yang lengkap dengan batangnya, satu hari lagi, buah keranji yang susah diperoleh. Pernah aku dikirimi buah kemang yang sudah sulit dicari. Dan karena aku tertarik pada kuliner, kiriman dari Bogor mencerminkan perkembangan inovasi warga Bogor dalam hal makanan.

@@@

Semalam aku kembali dihadiahi oleh-oleh dari Bogor. Melihat kotak pembungkusnya, aku penasaran, begitu banyaknya jenis lapis di Indonesia (ada lapis Surabaya, ada Mandarin di Semarang, di Medan lapis di sepanjang jalan Mojopahit juga pantas bertanding). Bagaimana lagi Bogor bisa menjagokan lapisnya? Pagi ini, kopiku ditemani sepotong lapis Bogor yang semalam belum sempat aku iris. Segera aku yakin, ini bisa jadi primadona baru bersama makaroni panggang, roti unyil, Pia apple pie dkk. Kenapa? Ternyata dibuat dari ketela ungu !!! Ketela kan khas Bogor..... Kereeeen. 

(Btw., aku minta tolong anakku untuk menyembunyikan kue ini, supaya aku tak tergoda menghabiskannya beberapa potong sekaligus. Bahayaaa....)

@@@

Matur nuwun Dina, Mami, pasokan energi cintanya. Cukup buat amunisi sebulan ke depan. hehehe.... Love you so much...

Keterangan gambar, beragam buah tangan tanda sayang dari Bogor:

Kiri atas: Beberapa bulan lalu aku dikirimi asinan. No, ini bukan asinan kedung dalam. Aku tak tahu my sister beli dimana, yang jelas amat istimewa, karena dilengkapi dengan oncom bakar dan secuil jambal (gabus asin). Pangkal bawang mudanya juga kriuk-kriuk bau langu tapi menambah selera.

Kanan atas: Lapis Bogor berwarna ungu kuning, mengandung campuran telo ungu dan bertabur keju serut. Kemasannya memantulkan kombinasi warna yang sama.

Kanan bawah: Tapi ketan hijau dipulung seperti kelereng oversized, ini khas Banjarmasin. Dibeli Dina di warung Soto Banjar Khatulistiwa di jalan Pajajaran, Bogor. Rasa dan aromanya berbeda dengan yang dari Kuningan dan dijual dalam stoples kecil, bukan dibungkus daun jambu.

Kiri bawah: Ikan mas balita goreng renyah, bertrade mark "Ikan Danau Goreng". Bogor adalah bagian dari tanah Priangan, dan saung makan di daerah ini kondang banget dengan ikan mas, baik yang balita, remaja, kanula (ikan usia lanjut).

Jakarta, 11 April 2013 —  

TAPE, PAKET DARI SURGA




(serial Mari Cintai Pasar)


Kapan terakhir bertemu tape singkong yang sempurna? Aku beruntung memperolehnya di pasar Pantai Indah Kapuk. Di pintu masuk, bungkus daun pisang berisi tape hampir tertimbun penganan lain yang lebih atraktif. Untung aku sempat tanya, kukira jongkong. Ternyata harta terpendam.

Betul, bungkus daun memendam harta singkong diragi yang mungil-mungil, berair, putih menuk-menuk, manis, cukup matang dengan alkohol fermentasi yang hanya terasa samar, gembus berpori udara sehingga lembut lumer di lidah. Dan tak ada satu bagianpun yang keras.

Dan untung hanya beli dua bungkus. Habis seketika.

♥♥♥

Aku ingat di masa kecilku, bibi yang membantu kami di rumah akan menyusun potongan2 singkong yg sudah dikukus dalam panci besar blirik yang dialasi daun pisang. Setiap lapis ditaburi ragi kualitas prima. Ditutup dan disimpan di lemari tempat menyampan loyang dan cetakan (karena paling jarang dibuka). Beberapa hari kemudian... voila.... tape singkong yang mulai berair manis terfermentasi menggiurkan segera dipindahkan ke wadah-wadah dan disimpan di kulkas. Lebih sering proses ini menuai sukses. Tapi adakalanya tape tidak jadi seperti yang diinginkan. Konon karena yang membuat sedang datang bulan

~~~~~

(From the serial "I Love Traditional Markets")

When was the last time you happen to come across a perfect fermented cassava or tapai? I was lucky to find it at Pantai Indah Kapuk Market, North Jakarta. Located at the entrance, these delicacies were almost buried underneath other obviously more attractive items such as traditional small cakes and savories. I - fortunately asked the seller what's inside those banana leaves wrappers. I thought it was a popular kue called Jongkong (in most part of Indonesia). Turned out that I found myself a treasure.

I call these treasure, since heaps of delicately cut chunks of fermented cassava, were hidden inside these banana leaves packets. They were moist, juicy, white in color, tinted with golden-ish yellow, not too sweet, and the alcohol is juuuust enough to tempt your appetite, porous-ly soft that it melts in your mouth. Not one part of them was flawed in any way.

It's good that I only bought two parcels, they disappeared into my stomach in no time.

♥♥♥

I remember the times in my childhood when the bibi ( the woman who helped around the house) would arrange small pieces of steamed cassava inside a big granite-ware enamel basin with lid. But not before lining the base and it's wall with banana leaves, first. Every layer would be sprinkled with top grade yeast. Then she closed the lid and hid it inside my mother's cupboard that contain cake pans - this part of the cupboard was seldom opened. You waited for a few days and .... voila..... you would see lines of deliciously looking moist, juicy, sweet, slightly alcoholic scented fermented cassava. They were then divided into several containers and stored inside the fridge. Most of the time this process I described ended in success. But there were few times that the end product did not turn out the way we wanted. It was believed that such failure stemmed from the fact that whoever made the fermented cassava was having period.


KISAH KECIL DARI PINTU KECIL




Sebelum bertemu Bu Lili, jika ada yang bertaruh bahwa aku dapat mengenal seseorang jauh lebih dalam, bagai menonton riwayat hidupnya lewat film yang dipercepat -kurang dari satu jam- aku akan mempersilahkan orang itu (dengan amat sangat sopan) untuk ke laut. Yang betul saja.... Mana mungkin ! Namun itulah yang kualami saat ngobrol dengan Bu Lili van Gang Pintu Kecil Lima, Glodok.


Empat puluh lima menit aku duduk di atas bangku plastik merah terpisahkan dengan Ibu Lili oleh sepotong meja tempat ia meletakkan jajaannya, Di akhir pembicaraan petang hari itu, aku merasa menyebrangi pemisah ini, seolah telah lama mengenalnya, berkelebat ke belakang melongok kisah hidupnya. 

@@@@@

Bu Lili meggelar deretan panci-panci mengkilat setinggi pinggang balita berisi kolak pisang, bubur ketan hitam, singkong santan, jenang buah atap, kacang hijau, biji salak, bubur jali, dan sejenisnya di bawah terpal biru kuning yang menaungi sepanjang gang. Ia diapit tukang buah dekat mulut gang dengan aneka buah tersusun tinggi bak sesajen persembahan dI Bali, dengan penjual DVD yang menyetel musik keras-keras di samping satunya.

Bertahun-tahun kemari aku jarang mencoba, malas antri. Dagangan bu Lili selalu laris manis. Kalau kadang belipun, kuminta dibungkuskan 

Sore itu berbeda. Asar sudah lepas, lorong mulai lengang. Beberapa kios kukut-kukut mengemasi dagangan. Depan meja bu Lili aku melambatkan langkah, memilih di antara isi panci2 yang tinggal bersisa di dasar dan memutuskan mencicipi kolak di tempat. 

Derai matahari yang tembus lewat sela terpal memuram, sudah semakin petang, aku ingin buru-buru pulang. Dua suap pertama kutelan dalam diam. Ibu Lili (yang saat itu belum ku ketahui namanya) juga larut dalam lamunannya. Suap berikutnya dievaluasi saraf perasaku dan diberi nilai 9. Mata ikut-ikutan menilai, dan menyukai apa yang terlihat. Pisang, singkong, buah atap, biji salak, terpotong rapi berenang di genangan santan. Mendorong rasa ingin tahu lebih jauh tentang yang membuatnya.

Pertanyaan pertamaku yang sederhana - berapa lama sudah jualan di sini- bagai membuka pintu air yang menumpahkan banjir cerita penuh tekstur: "Lebih dari dua puluh tahun Non, sejak Pak Harto masih ada..." 

Ibu Lili berpindah dari satu sub-topik ke lainnya dengan transisi mulus (walaupun kadang membingungkan kapan ia pindah ke rel jurusan lain, saking mulusnya). Ia tidak banyak menggunakan bahasa badan, begitu pula ekspresi wajahnya. Uniknya ia mengatur ritme dan intensitas cerita dengan sorot mata dan senyum, seperti tombol yang menaik-turunkan level.. Aku seperti sedang di bioskop.

@@@@@

Ibu Lili lahir di Blitar. Sebulan sebelum ia dapat menstruasi, ia dinikahkan dengan teman abangnya dari kampung sebelah. “Sebulan menikah, baru deh haid. Biar masih anak, saya sudah pintar bantu-bantu membuat gula merah, mengumpulkan air buah aren, memasaknya di kuali gede seharian, lalu dicetak di batok kelapa" kenangnya. Tapi bisnis utama keluarganya berternak babi. "Tahun tujuh-puluhan itu usaha keluarga sedang maju-majunya. Mas saya saja punya babi dua ratus ekor. Belum lagi paman-paman saya. Saya sering tugas membersihkan kandang. Di Blitar kandang babi dicuci bersih, tidak seperti di Jakarta". Sempat-sempatnya Ibu Lili memasukkan fragmen adegan ini ke kepalaku: air disemprotkan melalui sela-sela jeruji kandang dan suara panik "oink, oink" para babi bertabrakan berlarian dalam kandang menghindari basah. 

@@@@@

Ibu Lili berpisah setelah punya 2 anak. "Saya dari dulu kuat kerja. Kalau dia lagi cari air aren atau keluar rumah bertemu pembeli besar, saya memasak air bakal gula di kuali sampai pekat". Seluloid di kepalaku menayangkan dapur berdinding bambu berselaput jelaga akibat debu kayu bakar bertahun-tahun : Lili muda berkacak pinggang dengan muka memerah di depan tungku.

Tapi "saya masih muda, gampang cemburu. Dia cakep sih non", Bu Lili menghela nafas mengingat masa lalu. Ia tidak kuat menahan cemburu karena setiap kali suami berjualan ke pasar, ia pulang pagi hari. Ilustrasi sederhana "pergi ke pasar selalu pulang pagi", melukiskan dengan pas, perihnya, curiganya, galaunya sang Lili muda di perkawinannya yang juga masih seumur jagung (dalam film di kepala, ia sedang terbaring di ranjang memandang eternit, dengan jarit batik sampai ke dagu dan airmata mengalir dari sudut matanya ke pelipis). "Saya pengin kabur. Masak sih saya tidak berani mengadu nasib, siapa tahu nasib berubah". 

@@@@@

Anak-anak dititipkannya di orangtuanya dan Ibu Lili merantau. Dua tahun di Semarang (yang tidak dielaborasinya lebih lanjut. Mungkin pahit), ia diajak ke Jakarta oleh temannya untuk bekerja di "konpeksi". Sampai disini wajah Ibu Lili berubah cerah, seolah perjalanan napak tilas batin di titik ini mengingatkannya ke sesuatu yang membahagiakan.

Aku tidak salah kira. Disini dia ketemu belahan jiwanya, Engkoh Sutanto (diperkenalkannya dengan bangga. Sang suami datang karena harus membantu mengangkut para panci, bangku dan perlengkapan lain begitu kios ditutup). Suami isteri ini cerita bersahut-sahutan membangun image di kepalaku bagaimana Sutanto muda jatuh hati melihat kembang dari Jawa Timur di pabrik.. "Saya suka karena halus perangai dan perilakunya. Wah, waktu saya kawini dia mah cakep banget, sekarang gendut". Engkoh Sutanto sudah tidak bergigi lagi, namun masih mengerling mesra pada isterinya saat menceritakan ini. 

Mereka tertawa geli mengingat bagaimana Bu Lili terpaksa disembunyikan di bawah ranjang karena perkawinan antar karyawan di perusahaan konveksi itu dilarang, dan mandornya mendadak inspeksi. Melihat ukuran Ibu Lili sekarang, susah aku membayangkannya "merungkel" menggelung diri masuk ke bawah katil. Tapi terkilas di kepalaku sang mandor galak mengendus-endus curiga karena ada bau wanita dalam kamar Sutanto.

@@@@@

Kami masih berbicara hilir mudik dan tergelak-gelak ketika aku memandang keluar lorong dan sadar bahwa magrib telah turun menyelimuti jalan besar. Aku segera memohon diri, menyalami mereka satu-satu dan berjanji akan kembali lagi – merasa seperti tamu di rumah mereka saat Imlek. 

Sebelum melangkah pulang, kutanya, apa yang merekatkan mereka selalu rukun. Hampir serempak mereka menjawab "Kami orang sederhana, Non", seolah seluruh dunia sudah sepakat bahwa sesederhana inilah kunci sakti ke arah bahagia. Engkoh Sutanto menambahkan: "Saya tidak pernah protes dimasakin apa saja. Kalau ada lauk ya syukur, kalau tidak nasi dengan kecap juga boleh. Dia ..." Engkoh menunjuk isterinya dengan dagunya, " juga tidak pernah protes dibawain uang berapa saja." Bu Lili lalu menanggapi :"Dia mah ga sulit. Tidurnya saja di batu". Aku membayangkan Zen Master yang tidur bertapa di atas batu besar bulat rada ceper berwarna abu-abu kelam. Keterangan selanjutnya mngembalikanku ke zaman ini "Tinggal dibentangi bedkoper aja dia sudah ayem di batu". Ooh, maksudnya Engkoh Sutanto tidur di lantai toh, bukan sedang bertapa.

@@@ 

Kisah di atas begitu biasa, diceritakan oleh seseorang yang juga amat biasa. 

Namun bagiku, kisah kecil yang diceritakan dengan begitu terbuka, jujur dan sederhana oleh Bu Lili, terasa luar biasa, menyihirku dalam kebiasaannya. Kisah yang dialami jutaan orang lainnya di Nusantara ini bak testimoni dari kekuatan terpendam kita, rakyat Indonesia. 


(DIedit dan ditulis ulang dari note-ku berjudul, Ibu Lily, Kolak dan Storytelling, dua tahun lalu, 28 Mei 2011)

~~~~~~~~~~

Selamat Merayakan Indonesia..
Gerakan mengupload foto, status, cerita, video, renungan, fragmen, anekdot, pikiran dll., yang berkarakter Indonesia, di kampung FB setiap Jumat.

Jumat, 30 Mei 2013