Terselip di antara buku2ku di rak, adalah kaleng yang sudah peyot di sana sini, dengan enamel terkelupas di beberapa tempat. Seputar tubuhnya digambari figurine bertopeng dengan baju begitu fashionable, dan tetap modis di tahun 2012 ini. Sepertinya mereka sedang berpesta tahun baru.
Kaleng ini membawaku jalan-jalan ke perbatasan outer dan inner London, tepatnya di suburban bernama Mitcham. Alkisah di tahun 1600-an banyak orang terkenal bermukim di daerah ini, seperti penyair, pemikir, eksplorer: Sir Walter Raleigh. Tahun 1897, James Pascal, seorang wirausaha confectionery -pembuat permen dan coklat- memindahkan usahanya ke jalan ini. Sampai sekarang, masih eksis.
Terus, hubungannya dengan kaleng bagaimana? Sebentar, sabar sahabat. Aku baru saja hampir ke bagian itu.
Walaupun si kaleng telah jadi bagian dari warga rumahku beberapa tahun, aku tak pernah terlalu memberinya perhatian dalam. Sampai suatu hari Minggu koran Kompas bercerita tentang komunitas pecinta kaleng. Aku teringat kaleng bututku dan meneliti tubuhnya. Ini yang kudapat
Kata "Mitcham" kota yang kugambarkan di atas, menjadi bagian dari tulisan di pantat (maaf) kaleng:
"Manufactured by James Pascall Limited, Mitcham. England..
Tulisan ini membentuk setengah lingkaran mengelilingi tulisan berikut:
Pascall
White Heather
Chocolates and toffees
1 lb net
Chocolates and toffees
1 lb net
Enam puluh dua tahun lalu, satu dari ribuan kaleng permen yang diproduksi di pabrik Pascall, Mitcham, London ini menyebrangi benua dan lautan dan sampai ke Madiun. Isinya, berupa 'hopjes' (ibu menyebut toffee atau permen karamel demikian), dinikmati satu keluarga dengan dua anak di Balerejo, kota itu, dimana sang ayah sedang bertugas sebagai asisten wedana. Anak perempuan dari kedua bersaudara itu cantik sekali (menurutku dan orang2 yang mengenalnya). Dalam daftar takdir Tuhan, ternyata ditetapkan menjadi ibuku.
Nenekku, meninggal tiga tahun lalu. Aku tak sempat menanyai almarhumah bagaimana kaleng ini bisa sampai ke Madiun. Biarlah tetap jadi teka-teki.
♥♥♥
Aku tumbuh bersama benda ini. Saat ibu menikah, ibunya membekali satu set perhiasan, dan ditempatkan dalam kaleng ini. Bertahun-tahun kemudian, karena fungsinya, wadah perhiasan, kaleng ini bersembunyi di balik lipatan kain di lemari baju. Mungkin ini sebabnya kaleng ini begitu misterius sekaligus mempesonaku dari kecil.
Sekali sekala aku melihat ibu
mengeluarkannya, mengambil salah satu penghuni kaleng dan mengenakannya sebagai
pelengkap berkebaya saat kondangan. Momen seperti ini kutunggu-tunggu, karena
bisa bertemu dengan 'temanku', si kaleng. Sambil menemani ibuku memasang
sanggul dan berias, aku duduk di tempat tidur, memutar-mutarnya dan
memperhatikan gambar figurine. Di sekelilingku akan terbentang berbagai
warna selendang beserta beberapa corak jarik/kain panjang batik, menunggu
dipilih ibu untuk padanan kebaya hari itu. Jika ibuku sedang murah
hati, kadang aku diizinkan mengeluarkan isi kaleng satu satu untuk mengagumi
bentuknya.
Orangtuaku bukannya kaya raya, dan
bukan tipe yang memamerkan diri lewat perhiasan. Karena itu perhiasan ibu tak
pernah berlimpah ruah. Namun setiap potong selalu didisain dengan indah. Di
setiap kota yang kami tinggali, ibu punya langganan pandai emas. Ibu biasanya
membawa guntingan gambar dari majalah dan katalog, berdiskusi dengan sang pande
yang kemudian akan menempa perhiasan sesuai keinginan ibu. Batu-batu
indah, rubi, safir, amethyst sering diberi atau dibeli ayah dari keluarganya
asal Martapura, daerah penghasil intan di Kalimantan Selatan. Yang aku paling
kenang berupa satu setel kalung, cincin dan anting berbentuk jalusi melengkung
dihiasi bulir-bulir mungil bermacam warna batu.
Setelah aku besar dan bisa
membeli sendiri perhiasanku (walau aku bukan pengkoleksi emas), aku lamat-lamat
sadar bahwa sepanjang hidupku tak pernah kulihat ibu 'mengidap'
keterikatan dengan kebendaan, termasuk para isi kaleng ini.
Seindah apapun perhiasan, tak
pernah ibu menyesalinya jika harus berpisah, dengan cara apapun: kehilangan,
kecurian atau - ini lebih jamak terjadi - dijual.
♥♥♥
Berat kaleng berfluktuasi,
tergantung fase yang tengah dilewati keluarga. Saat anak2 ibu masih
kecil-kecil, dan ada yang dapat disisihkan dari gaji ayah, maka isi kaleng
bertambah. Ketika akan membangun rumah sendiri (bertahun-tahun kami tinggal di
rumah yang disediakan perusahaan minyak tempat ayah bekerja), surut lagi
isinya, dilipat bakal modal beli tanah dan material. Lantas menabung lagi,
sehingga kembali berat kaleng bertambah. Setelah beranjak umur, ayah menderita
sakit, banyak keperluan, isi kaleng berpindah rumah, ditukar dengan lembaran
rupiah. Begitulah berat badan kaleng naik turun seperti grafik indeks harga
saham gabungan di Bursa Efek Jakarta.
Di usia tujuh puluh, ibu merasa
cukup dengan sedikit perhiasan tersisa. Tak perlu satu kaleng yang dapat memuat
satu pon coklat untuk menyimpannya. Maka kaleng dipensiunkan.
Saat ini kaleng tetap kosong,
berpindah fungsi menjadi penghias rak bukuku.
♥♥♥
Tepat 40 hari sebelum aku lahir,
untuk pertama kalinya seorang seniman belum punya nama berpameran tunggal di
satu galeri Los Angeles. Dengan cepat nama artis ini menanjak dan menjejakkan
brand dan alirannya dalam sejarah. Andy Warhol memajang tiga puluh dua lukisan
kaleng sup "Campbell' dengan ukuran dan bentuk umum hampir identik. Dunia
seni terguncang, sebagian murka, menganggap Warhol merendahkan derajat seni
dengan menampilkan sesuatu yang begitu biasa, begitu remeh seperti kaleng sup
Campbel yang dikonsumsi rakyat Amerika kebanyakan sehari-hari. Terutama
di masa itu.
Yang mereka tidak sadari adalah
cerita di balik kaleng sup ini. Di masa kecil Andy, ibunya berjualan bunga yang
dibuat dari guntingan kaleng untuk membantu menopang hidup. Dan di zaman Andy
berjuang agar diakui sebagai seniman, setiap hari Andy menyantap berbelas
kaleng sup saat sedang kerasukan bekerja di studio.
Kaleng bukan sekedar kaleng.
♥♥♥
Kalau kaleng begitu berarti buat
Andy Warhol, di rumah masa kecilku juga begitu. Namun benda bekas ini kami
simpan untuk alasan berbeda. Kaleng margarin Blueband (bergambar anak sedang
makan rot) yang sudah kosong diiris melingkar tutupnya, dimanfaatkan jadi
tangkringan saringan 'transit' makanan yang digoreng supaya minyak menitik ke
bawah. Kaleng biskuit Khong Guan menjadi tempat kerupuk. Atau kaleng biru segi
empat bekas biskuit Jacobs, dijadikan wadah alat-alat jahit. Tahun lalu, waktu
aku ke rumah adik nenekku di Malang, gembira sekali hati menemukan
rengginang yang disuguhkan dalam kaleng bekas butter cookies merek
Monde.
Aku jadi teringat akan
kaleng-kaleng dalam hidupku ini ketika membaca artikel Kompas yang mengupas
komunitas pecinta kaleng. Mereka sampai berburu kesana kemari untuk
mengumpulkan kaleng tua. Aku bisa memahami kemabukan mereka akan kaleng.
Tapi tak serta merta aku tergiur
menjadi kolektor kaleng bekas. Aku hanya memelihara kaleng yang menyimpan
cerita di baliknya. Seperti foto dalam tulisan ini: yang berwarna biru
langit dengan ornamen padang rumput (gambar kanan tengah) sebenarnya
adalah container yang mengemas cangkir teh istimewa lengkap dengan saringan.
Ini hadiah dari anggota team kantorku tercinta, Dini Sunardi yang pindah
mengikuti suami keMalaysia. Kaleng berbentuk bis double decker, dibeli anakku
sebagai oleh-oleh waktu pulang study tour ke Hongkong. Kaleng berbentuk mobil
warna merah beroda, masih berisi kue kering ketika kubeli untuk menghibur hati
saat anakku sakit.
Pada dasarnya, kaleng-kaleng kupajang untuk mendeklarasi sudut pandangku. Bahwa satu pajangan, berhak mendapat tempat terhormat dan dirawat di rak bukuku, tidak ditentukan oleh nilai nominalnya, tapi oleh cerita, sejarah, dan arti dibaliknya. Di pandanganku, kaleng berbentuk bis tingkat oleh2 anakku bukti perhatian dan cintanya, lebih berharga dari keramik antik dinasti Ming. Kaleng bekas tempat cangkir teh yang menandai persahabatanku dengan Dini, jauh lebih bermakna ketimbang kristal Bohemia berpinggir emas.
Karena itu, kaleng penyok tua
bergambar figurine bertopeng yang aku ceritakan di atas tadi, jauh lebih
berharga sekarang, daripada ketika masih diisi oleh setelan perhiasan emas ibu.
Aku beruntung memperoleh pelajaran
hidup dari ibu lewat kaleng ini, bahwa yang tak kasat mata seringkali
invaluable.
Tak terbeli.
YA,
Jakarta, December 30th, 2011