Saturday, December 1, 2012

Melaka Dalam Versiku




Dalam suatu situs resmi Melaka, ada satu halaman yang menunjukkan tak kurang dari 60 tujuan wisata di kota ini. Hampir seluruhnya menarik, otentik dan bersejarah. Tak heran - pelabuhan tuanya jadi saksi betapa berbagai bangsa menjejakkan kaki di sini, dan lantas menggoreskan sejarah (sayang, pantai aslinya telah tertimbun reklamasi). Sejak dibangun oleh seorang pengeran Sumatera - Prameswara- di tahun 1400-an, Melaka menjadi pusat dagang yang sibuk. Bagai anak dara memikat, ia menjadi obyek rebutan. Tak kurang empat bangsa pernah bercokol dan menjajah: Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang (walau sebentar). Perjalanan sejarah mengandung luka ini menorehkan jejak multikultur di setiap fasad dan ceruknya, pada lengkungan pedimen ruko kunonya, pada satu bukit yang penuh diselimuti makam-makam indah (terutama dari etnis Cina), pada kulinernya yang merayakan amalgam dan pengaruh berbagai kultur. Sebagian dari tujuan wisata ini telah kukunjungi.

Namun kenanganku tentang Melaka amat privat, terdiri dari potongan2 pengalaman impromptu yang tak ada di kartu2 pos dan brosur wisata.

♥♥♥

Seiris mosaik kenangan akan Melaka ini datang tak terduga hampir jam enam pagi, saat kota baru mulai menggeliat bangun. Aku dan Marina sobatku (juga teman sekamar dalam perjalanan ini) menyusuri jalan-jalan kecil mencari kedai kopi tradisional. Ini hari terakhir buat Marina dan rombongan kami (teman2 sekuliah) - jam sembilan berangkat balik ke Jakarta. Kami memutuskan untuk tidak makan pagi di hotel. Dari semalam aku mengompori Marina, tiga jam terakhirnya di Melaka harus diperah sekuat mungkin untuk tetap bisa meneteskan pengalaman asyik. Dalam kamusku, itu berarti makan enak. Jadilah kami bangun pagi-pagi sekali dan mengeksplorasi.

Deretan ruko yang mengapit jalan-jalan ini tidak sekuno di kawasan lain di Melaka, tapi tampak tetap mengacu pada tata kota yang sama: lorong antar blok yang lapang, back alley/spasi jalan belakang antar deretan toko yang luas. Satu hal lagi yang memberi kesan lega: mayoritas bangunan tak lebih dari tiga tingkat.

Belum ada kehidupan terlihat, kota baru terjaga. Semua bisnis masih tutup, kecuali hotel2 yang kami temui setiap selang beberapa toko. Kelas kenanga kurasa (di bawah kelas melati, istilahku sendiri, untuk menggambarkan kecilnya). Kulihat para resepsionisnya mencoba mencuri tidur dengan bertelekan tangan di balik meja penerima tamu.



Tidak ada ayam seperti dalam gambaran Durell di jalan yang kami lewati. Namun sebagai gantinya, aku menahan nafas menjumpai burung-burung laut bergerombol di tepi jalan mematuk2. Beberapa menit sekali mereka berjemaah mengepakkan sayap, terbang ringan setinggi beberapa centi dari tanah, lalu mendarat lagi meneruskan apapun yang mereka lakukan tadi. Begitu berkali-kali. Embun dingin terasa di pipi. Langit masih belum terang betul. Kalau tak ada burung-burung ini, tak ingat aku bahwa kami hanya beberapa ratus meter dari laut.

♥♥♥



Seorang anak muda yang bergegas berlawanan arah dengan kami menunjukkan satu-satunya tempat makan yang sudah buka: kedai kopi India yang telah dipenuhi pengunjung tetap. Meja kursi bahkan memenuhi trotoar di depan kedai. (Kelihatannya bagian di udara terbuka ini menjadi favorit, tak ada kursi tersisa). Memang sarapan di kedai-kedai kopi sudah jadi keseharian di semenanjung ini - seperti halnya di banyak kota Indonesia yang ditapaki budaya Melayu (mulai dari Aceh, Bagan Siapi-api, Tanjung Pinang, Pangkalan Bun, Pontianak, sampai Manado). Seorang lelaki keturunan Tionghoa seusia kami (yaah, sekitar 30-an begitu...-smile..) dengan kemeja Hawai menyeruput kopi sambil tangan tak lepas dari telepon genggamnya. Sepasang bapak ibu usia pensiun beretnis melayu duduk di depan kami, terlihat sekali menikmati waktu yang lengang, yang tak tergopoh-gopoh. Di kedai-kedai kopi semua etnis bersinggungan, a melting pot. Hari itu Sabtu, tak ada yang berpakaian kerja. Suasana festive di udara. (Atau hanya aku yang merasakan?)


Ungkapan tua Jerman "sarapanlah seperti raja, makan siang seperti pangeran, dan makan malam seperti mereka yang melarat", tiba-tiba menyorobok masuk ingatanku saat pesanan datang. Benar-benar sarapan kali ini serasa ‘a feast’, sebuah perjamuan. Seperti adegan dalam Alexandrian Quartet tadi kami memperoleh kopi (tarik) dan telur rebus (setengah matang). Ditambah roti canai berisi pisang dan (aku malu menambahkannya)...roti panggang. Semua untuk imbalan tak lebih dari 10 ringgit atau sekitar 30 ribuan perak. Dan istimewanya lagi, setiap item dikerjakan dengan sempurna - pisang yang tersempil di balik lapisan-lapisan canai menguning madu; kopiku yang datang dalam gelas bertangkai tinggi seperti gelas teh ayahku dulu, beraroma sempurna namun cukup ringan sehingga bisa habis sampai tetes darah...ehh... kopi penghabisan. 

Matahari makin tinggi ketika kami bergegas balik ke hotel. Bus rombongan berangkat pukul sembilan, dan Marina harus memastikan barang-barangnya tak ada yang tertinggal. Anak muda di depan besi panas pipih pemanggang di depan kedai tak henti-henti menguleni, menarik, menggilas, melempengkan dan memanggang macam-macam roti. Orang tak putus-putus pula datang dan pergi mengunjungi kedai - memulai hari dengan cara yang memperkuat rasa syukur.

Sepotong Melaka tertinggal di hati.



2-7 November 2012



No comments:

Post a Comment