Dunia Pak Dayat terasa hangat. Ukurannya mungil, berupa kios rokok bercat putih di ujung jalan KH Wahid Hasyim dekat Bank Universal, perapatan dengan jalan Cemara. Gordijn di pintu masuk, transistor, jam dinding di atas kepala Pak Dayat membantu menciptakan hawa rumah di ruang sempitnya. Kiosnya unik, berbentuk 'hampir' sirkular serba simetris.
Meninggalkan tanah kelahiran Surabaya di tahun 1962, Pak Dayat berpindah-pindah sampai akhirnya melempar jangkar di kota tua Jacatra yang sekarang kita panggil Jakarta.
Dan bukan karena kios terlalu nyaman sehingga Pak Dayat sudah cukup lama tidak pulang ke kota asalnya. "Saya malu kalau pulang ndak bawa uang cukup. Tapi saya cukup senang karena bisa hidup dengan harga diri. Itu pesan bapak saya".
'Harga diri' yang disebut Pak Dayat dalam bahasa sederhanya kupahami sebagai sesuatu yang hakiki dan mahal: martabat, dignity. Kompas dari ayah yang sudah meninggal di jaman Jepang, tak aus menuntun Pak Dayat menjalani keseharian di dunia keras Jakarta - berurusan dengan preman, tukang palak, keributan jalanan, hidup dari hari ke hari.
Pelajaran buatku bisa datang dari mana saja. Kali ini datang dari petarung dan pengarung hidup kenyang asam garam seperti Pak Dayat. Matur nuwun. Sehat2 selalu ya.
No comments:
Post a Comment