Monday, June 10, 2013

SORE HARI



Entah kenapa - seperti satu baris lagu yang bersiul berulang dalam kepala- sekeping gambar mengikuti saya, terbawa bertahun-tahun. Tentang suatu sore.
@@@
Saya pulang kerja lebih cepat. Di pengkolan satu pemukiman padat, di balik gedung-gedung gagah jalan Jenderal Sudirman, berendeng lima lelaki muda mencangking helm keselamatan, berjins koyak berkaus penuh noda semen dan cat, menuju ke arah perumahan penduduk yang masih tersisa. Langit mulai jingga. Mereka berjalan dengan langkah merdeka, bercanda saling meninju lengan, tertawa lepas. Kelihatannya baru pulang kerja dari salah satu proyek pembangunan gedung di sekitar tempat itu.
Beberapa rumah dari tikungan, ada deretan ruko tua dengan teras lantai dua yang cukup luas. Dua gadis yang saya tahu kerja di toko tersebut (saya seorang langganan toko mereka) sudah rapi mandi berdandan sedang riuh berceloteh sambil menyuapi anak majikan. Cekikan mereka menghentikan langkah para pemuda, yang melontarkan pandang ke atas, melempar teguran dan seketika membuat tawa kedua gadis tertahan jadi tersipu-sipu. Kejadian ini hanya sebentar dan tak ada yang istimewa yang kemudian terjadi. Pekerja bangunan pulang meneruskan langkah saling menggoda teman, lawan jenis mereka di balkon meneruskan memomong anak. Tetapi kombinasi jalan gontai asoi para pekerja bangunan, rambut setengah basah habis mandi melekat di kepala para gadis, sapuan bedak di wajah, keriangan mensyukuri selesainya pekerjaan hari ini, menciptakan magis yang membuat keadaan ini membeku dalam album di kepala saya.
Saya ingat  betapa hati  tersengat tertulari kebahagiaan sederhana ini dan terpikir, betapa berharga dan betapa mulai langka sore nikmat. Lalu sadar, ada aroma ajaib ketika hari akan bersalin gelap. Seolah di titik ini alam sedang bersujud syukur bersama, satu hari produktif lagi diselesaikan.

@@@
VS Naipaul, penulis pemenang Nobel dalam bukunya "Among the Believers" menceritakan pengalamannya bertualang ke negara-negara Islam. Di satu halaman ia melukiskan sketsa satu sore di kampung daerah Jawa Tengah. "Sore begitu penting buat mereka" observasi Naipaul.
Seakan menegaskan kesimpulan Naipaul, anak saya mengamati hal yang sama. Desa keluarga angkat Ajeng saat tugas sekolah berada di Jawa Tengah, di desa Sukorejo. Setiap sore para ibu berkumpul di satu pondok, masing-masing membawa cemilan, dan satu teko teh kental terhidang. Mereka akan ngerumpi ngalor ngidul menunggu panggilan adzan magrib. Ajeng antusias menceritakan ini, mungkin rindu akan sore-sore hari  saat kecilnya, disuapi sambil bermain ayunan dan perosotan depan rumah ditemani sekawanan anak-anak lain.
@@@
Dalam memori saya yang mulai memburam, berlembar-lembar sore indah lain terkenang. Beberapa menonjol jelas, seperti foto berwarna di antara gambar hitam putih. Kebanyakan bersama orang tua saya.
Masih jelas anggukan daun pohon palem di pinggir Sungai Musi, saat masih kecil dan tinggal di kompleks perumahan Sungai Gerong, Palembang. Sore-sore kami sekeluarga menyusuri trotoar di bawahnya. Sungai lebar memisahkan kami dari titik-titik kecil di seberang, rumah-rumah bertonggak di atas air. Di mata kanak-kanak saya sama perkasanya badan air Musi ini dengan lautan.

Seringkali jalan-jalan diteruskan ke "Kamar Bola", semacam klub komunitas yang mayoritas pegawai Stanvac, perusahaan minyak tempat ayah bekerja. Kalau ayah sedang murah hati kami diperbolehkan memesan es krim tanpa pengawet, melulu susu yang diwadahi gelas stainless steel setengah bola. Sekali sekala boleh minum limun hijau.  Kalau sudah begitu, saya merasa paling beruntung sedunia.
Ayah juga sering membawa kami berputar-putar di antara waktu asar dan magrib. Waktu usia saya kurang dari sembilan tahun, mobil ayah bermerek Dodge dengan bak belakang. Saya bersama adik-adik  duduk di bak beralaskan terpal, menikmati udara sore dalam arti sebenar-benarnya dengan terpaanangin di muka. Kemana? Tak tentu, kadang ke penjahit langganan - tante Merry- di Kampung Baru, kadang menyambung silaturahmi mampir ke rumah guru mengaji, seperti yang saya katakan, sesuka-suka setir ayah membawa.
@@@
Sudah beberapa bulan ini saya tidak bekerja keluar rumah. Sore-sore jadi milik saya lagi. Selepas asar saya akan duduk depan jendela apartemen di tingkat 32 memperhatikan dua kavling tanah luas berpagar seng dijepit gedung-gedung tinggi. Beberapa bulan lagi pemandangan ini akan terhalang. Tanah kosong sebelah kanan telah ditanami berkubik-kubik fondasi, gedung-gedung berpuluh tingkat akan tumbuh di atasnya. Yang sebelah kiri, areal berumput satu-satunya yang tinggal sudah dikepung pagar seng, siap digilas proyek berikutnya. Sementara ini hanya ada satu jalan tanah membelah rumput subur kavling ini.
Sementara ini, saya masih diizinkan Tuhan menikmati pemandangan macam-macam. Ketika sore masih muda tadi, sering terlihat pasukan sapi atau kambing  merumput, kadang berpapasan mobil berat proyek, yang terpaksa menunggu dengan sabar sampai gerombolan ternak berkenan memberi jalan. Sering saya potret (dengan lensa berzoom tinggi) mengamati perilaku hewan-hewan ini untuk mengamati polanya. Kambing-kambing biasanya dengan tenangnya mendeprokkan badan, berbaring di jalan tanah setelah merumput. Sapi sering bercanda satu sama lain, melompat dan menyeruduk canda. Dan tak sengaja membuat sore lebih berwarna.

Satu sore, satu motor terlihat dihentikan di lapangan rumput. Lensa kamera cukup kuat untuk melihat bahwa ini adalah motor pedagang dengan semacam bak berisi barang dagangan di belakang (tak jelas apa).

Sang pengemudi turun dari motornya, tegak berdiri di samping motor cukup lama, sebentar memandang ke atas, menghadap ke sana, bertolak pinggang. Saya merasa agak tak enak hati, seperti mengintip privasi tanpa izin, walau bertengger jauh di atas, berada tiga puluh dua lantai dari bumi. Setelah kira-kira 20 menit ia menstarter motornya dan segera hilang dari pandangan. Mungkin dia mengisi ulang semangatnya, menikmati sore jatahnya.
@@@
Di akhir 70-an awal 80-an, Denny Malik menyanyikan hits-nya, "Jalan Sore-Sore". Himbaunya, "Mari kita mencuci mata.. Mumpung kita-kita masih muda". Di tingkat urban kini, bahkan yang muda pun susah menikmati sore. Beban tugas semakin berat, mengarungi jalanan memerlukan waktu panjang, rumah baru bisa dipeluk saat malam sudah turun.
Teman, kapan terakhir sempat memperhatikan sore?

Jakarta, 10 Juni 2013


Saturday, June 8, 2013

SATE ENTOK DAERAH RASUNA


When life gives you traffic jam, make picnic - kalau hidup melemparkan macet padamu, buatlah jadi picnic (plesetan dari when life gives you lemon, make lemonade).

Kira-kira ini yang terjadi kemarin sore. Macet seperti iring-iringan semut. Merangkak bagai siput dari rumah di Apartemen Rasuna ke depan KPK, padahal kami sudah memutar lewat belakang, ke arah Imperium. Tapi bagi saya, yang sudah lama keluar rumah, serasa piknik. 

Segerombolan sapi yang sering saya lihat dari lantai 32 apartemen sedang bermain-main merumput di sepetak lapangan tersisa diantara beton Jakarta, dilingkari mobil rapat parkir di pinggirnya. Deretan gerobak dorong menggelar bangku di kaki lima di depan gedung-gedung tinggi, bertembok pagar tanaman gedung yang rapi seperti rambut baru diset di salon, mengkontraskan yang ideal (gedung tinggi) dan realita (kaki lima). Bangku-bangku papan menampung sebagian manusia-manusia yang keluar dari kantor-kantor megah, yang tingkat dompetnya hanya mampu dibelanjakan di warung-warung seperti ini.

Macet tak juga reda, dua jam duduk dalam taksi, tak jauh ruas jalan yang kami berhasil tembus. Saya bertukar strategi. Tak mungkin juga janji bisa dipenuhi tepat waktu. Saya batalkan pertemuan, dan segera pak supir taksi balik kanan jalan.

@@@
Tapi saya sudah terlanjur kesetrum udara luar. Mau pulang merasa rugi, sudah ada di luar. Sudah dua bulan sakit saya menghalangi menikmati jam pulang kantor penuh uap bersyukur. 

Saya menelisik deretan gerobak dengan nanar. Satu menarik perhatian. Bukan karena warna, bentuk atau meriahnya, tapi tulisan di kaca etalasenya. "SATE ENTOK" serunya di kaca kiri "LONTONG SAYUR" terpampang sebelah kanan. Pak Supir pun segera cari parkir.

 

@@@

Hidangan ini dihadirkan sebagai setelan dua jenis pemeran yang sama pentingnya: lontong sayur (diameter lontong sebesar bumbung bambu), dengan satu atau dua tusuk sate entok. Kalau dibawa pulang, lidi bambunya dilepas, daging entok yang diiris pipih dicemplungkan sekalian ke dalam lon-say (istilah orang sumatera untuk lontong sayur).  "Nanti menusuk plastiknya, bisa bocor" kata penjualnya.
`
Sayurnya bersantan cair, bumbu dan sambal yang pas nian, serpihan tempe dan irisan halus kacang panjang (atau buncis) hanya sayup-sayup terlihat. Daging entok yang kucurigai akan amis, muncul mempesona sebagai primadona. Seratnya rapat seperti daging kerbau. Warnanyapun lebih gelap daripada bebek atau ayam. Citarasanya susah saya gambarkan selain satu kata ini: mantap. Lebih menyerupai daging mamalia daripada unggas, empuk seperti sapi muda.

Sambil menunggu disiapkan, saya seperti biasa, mengobrol dengan pemiliknya. "Nama saya Nok, bu" kata sang istri yang cantik semok.  "Hah, mbak Nok jual entok?" saya keceplosan karena merasa seronok mendengar nama yang  berselaras dengan  bunyi "entok". Mbak Nok tidak tersenyum. Kelihatannya tidak terlalu menyukai gurauan saya. Namun wajah mbak Nok mekar sumringah begitu mulai bercerita tentang bisnisnya. Bisnis ini baru setahun belakangan ini dirintisnya bersama suami (mbak Nok cerita sambil senyum-senyum, seolah bisa baca pikiran saya yang terkagum-kagum menyaksikan antrian yang panjang menungggu sate entok dan meja-meja berlantai rumput beratap langit yang selalu penuh). Sebelumnya mereka berjualan nasi goreng.

"Kenapa terpikir menjual sate entok?" "Ini masakan khas Brebes, bu, kampung suami".

Sampai di rumah saya langsung bercengkerama lagi dengan teman baik, Mr. Google. Tidak keluar gambar maupun cerita yang memadukan sate entok dengan sandingan ketupat sayur.

 
Penasaran, besoknya saya beli lagi - selain ketagihan juga ingin tahu lebih banyak mengenai masakan ini. Dari mana asal resepnya? Apakah kreasi sendiri? Resep warisan nenek? Pertanyaan berderet di kepala saya. Mbak Nok tertawa ketika aku setengah mengeluh bercerita tentang kesulitanku mencari informasi mengenai sate entok di internet. "Mungkin orang mengenalnya sebagai ketupat entok bu", katanya. 

Well, hasil pencarian saya dengan kata kunci "ketupat entok", menggiring saya ke penemuan baru. Saya duga keras (sungguh keras, teman-teman, ciyuss nih), bahwa sate entok mbak Nok tergolong jajaan Brebes yang disebut kupat blengong. Atau lebih tepatnya kupat glabed plus sate blengong. (lihat site: http://www.tempo.co/read/news/2009/12/13/105213494/Kupat-Blengong).

Dari site ini saya jadi paham bahwa aslinya, daging sate terbuat dari blengong hasil persilangan bebek dan entok. Keturunan kedua jenis spesies inipun masih harus diseleksi, hanya yang jantan, karena dagingnya lebih tebal. Tak jelas apakah mbak Nok suami isteri memakai daging blengong atau entok, seperti yang tertulis dengan cat tebal pada kaca gerobak dorongnya.

Entok atau blengong, satu hal sudah jelas: piknik tak sengaja malam itu mempertemukan saya dengan jajaan mbak Nok dan suami yang mantab punya !!!

P/S: Oh, iya, gerobak dorong sate entok baru operasional sore-sore menjelang pulang kantor sampai malam hari.

Friday, June 7, 2013

PONDOK SAPI BENGGALA


Sapi benggala ditambatkan di pondok sederhana ini. Di kampung manakah gerangan?



Mungkin kalau dizoom out lebih jelas kelihatannya.....


Oooh, kampung di belakang gedung?


Rupanya satu pondok tersisa dari satu kampung yang tinggal puing-puing, menghitung sisa hari untuk juga diratakan, menjadi gedung bertingkat seperti jendela tempatku menginguk ini.

Jakarta 1 Juni 2013]

 (Dari "Diari Jendela")

MAYESTIK


Saya masuk Jakarta akhir tahun 80-an. Pasar yang paling sering saya kunjungi pasar Mayestik . Di mataku yang awam kota metropolitan ini, pasar seperti miniatur kota. Tak ubahnya seperti ucapan Ishai Golan, pembawa acara dan produser acara Market Value (National Geography): menurutnya jika kita ingin mempelajari suatu masyarakat dan budayanya, pasarlah tempatnya.

Semakin famiiliar saya dengan pojok-pojok Mayestik - dimana beli kecombrang, tali tambang, renda, korset; berkenalan dengan pramuniaga Toserba Esa Genangku; rajin berlangganan berbagai jajanan di depan Restoran Miramar dst - semakin pede saya akan pemahaman magnitude Jakarta. Saya yang dari kota kecil - Rumbai kemudian Bogor - menjadi gape berurusan dengan kompleksitas dan skala Jakarta.

Terakhir kali saya kemari, agak terhenyak melihat bangunan sederhana pasar yang pojok-pojoknya begitu akrab dengan saya sudah beralih rupa menjadi bangunan kubus hijau belang-belang kuning seperti kotak kue bika ambon Zulaika Medan.

Syukurlah saya masih bertemu dengan ketupat ketan rebus santan kesayangan di depan toko outlet Khong Guan yang tak berubah, di dekatnya masih bisa saya nikmati ayam bumbu rujak dijepit bambu mbak Tini (meneruskan bisnis almarhum ibunya), Kedai Selera favorit saya dengan lontong cap-gomeh dan pindang kudus andalannya masih pol aslinya, toko Nasional yang tak mengenal istilah layout toko, panci, rantang, cangkir enamel diletakkan di atas mesin jahit (yang ternyata punya orang, sedang direparasi).

Jiwa Mayestik yang seada-adanya, juga masih tak tersentuh, seperti terlihat di kios berjualan pecah belah dan keramik biru Belanda (pura-pura), yang di bawahnya ditimbuni bawang brambang (gambar kiri paling atas).

@@@@

Jokowi dalam buku berjudul namanya: JOKOWI, menulis pikirannya tentang pasar tradisional (hal. 122) :

"...saya juga merevitalisasi pasar-pasar tradisional dan menekan tumbuhnya jumlah supermarket dan tempat belanja modern. Solo adalah kota dengan potensi ekonomi kerarkyatan yang sangat kuat. Pedagang-pedagang kecil jumlahnya sangat banyak dan masyarakat kami juga masih menganut hidup yang kental dengan tradisi. Di antaranya, para ibu yang setia berbelanja ke pasar. Ekonomi berputar karena pedagang kecil di pasar terespon baik oleh apresiasi pembeli. Situasi indah ini tak boleh dirusak.

Modernisasi boleh ada, tapi itu tak boleh menciptakan shock kultur. Biarlah secara alamiah dan perlahan modernisasi akan menyentuh berbagai elemen kehidupan, termasuk perdagangan. "

@@@@

Besar harapan masyarakat kebanyakan Jakarta, agar (setelah bukti mengesankan di Solo) Jokowi teguh dengan kebijakan berkepihakan kepada rakyat banyak (non-korporasi) ini. Mall-mall tidak bertambah, dan pasar dirawat beserta segala nilai dan makna budayanya.

Amin


SELAMAT MERAYAKAN INDONESIA
Gerakan mengupload foto, status, video, note, link, cerita, anekdot, refleksi, renungan tentang hal-hil yang benyawa Indonesia, setiap Jumat di kabupaten Facebook.

7 Juni 2013

Wednesday, June 5, 2013

ACCIDENTAL RECLAIM

Saya tidak terlalu yakin apakah judul di atas benar secara grammar. Namun bagi saya amat tepat menggambarkan pelajaran yang saya tarik dari kejadian semalam.

Saya kehilangan laptop.

Untuk menggambarkan keseriusan dari keadaan ini, izinkan saya menjelaskan isi laptop tersebut. Semua pekerjaan saya dari tahun 2005 s.d. saat ini terkumpul di dalam tebaran ribuan file-file di dalamnya. Sebagaimana jutaan knowledge worker lainnya, sudah barang tentu output dari kiprah kita di dunia kerja berbentuk soft copies. Dengan kata lain, saya kehilangan output aktivitas saya selama lima tahun terakhir.

Kok bisa ? Komentar ini yang saya terima dari orang-orang terdekat saya. Saya mendeteksi ada rasa kasihan di dalamnya, berusaha bersimpati, dst. Namun saya merasa the underlying feeling pasti rasa jengkel. Kok seorang dewasa (well, lebih dari dewasa. Lebih tepat disebut berumur), sehat rohani dan pikiran ( ini pasti) dan sehat raga (hmmm.... debatable...), tidak bodoh-bodoh amat, bisa-bisanya meninggalkan barang "jimat"nya di lalu lalang keramaian publik di mall ? Lagipula yang ditinggal bukan berukuran kecil. Laptop disimpan dalam koper geret beroda "fourwheel" berukuran 50 xx 45 x 25 cm. (Yes, I love you too, pembaca. Tapi tidak sampai begitu cinta "head over heels" sampai harus mengeluarkan meteran dan mengukurnya dengan rinci. Ini hanya ukuran taksiran).

Saya punya berbagai kilah : kelelahan, banyak pikiran, dikejar deadline, tidak fokus, dst. Yang paling benar adalah faktor U. Akhirnya saya mendapatkan sekelumit pengalaman bagaimana penderitaan teman-teman yang didera gejala Alzheimer. Selama beberapa jam yang berlalu di antara saat saya tertinggal koper (di Pondok Indah Mall) sampai saya turun di bilangan Mampang tempat saya tinggal, sistem sensori saya tidak sekalipun mengirimkan warning ke otak bahwa ada yang tidak beres. Kotak hitam segi empat beroda berisi laptop itu seolah-olah hilang dari dunia Yana. Padahal Yana dan laptop bisa dikatakan tak terpisahkan.

Saya tidak akan membuat bosan pembaca dengan menceritakan detil kehilangan tersebut . Well, fast forward boleh deh.....(Babak 1 :Yana kerja di PIM bersama partner bisnis saya Eliseo dan seorang dari team kami, Michael, makan, pergi ke Gramedia, beli buku, mampir ke Food Mart, panggil taksi dan pulang. Babak 2 :Yana sampai , dan ditanya orang rumah : mana koper geretnya?. Babak 3 : Yana balik ke PIM 1, pergi ke Foodmart dan disodori satu tas geret besar asing beserta seplastik belanjaan Ace Hardware. Satpamnya yakin sekali saya yang punya, walaupun saya menyangkal. Dua tiga detik saya tergoda untuk mengiyakan. Kelihatannya yang ini lebih menarik dari koper laptop usang saya. Hmmm..... Babak 4 dimana tirai ditutup dan penonton bisa pulang dengan bahagia : Yana masuk Gramedia, disambut satpam yang tanpa banyak kerumitan menunjukkan harta karun saya disimpan. Prosedur pengambilan minimal, pelayanan istimewa, cara mengkonfirmasi bahwa saya pemilik juga halus sekali. Pendek kata, happy ending.)

Sekarang saya sedang mengetik di atas laptop tua usang saya itu. Ajaib. Ada perasaan baru menyelimuti saya. Walaupun kadar cinta tetap sama, namun saya tidak merasa terlalu "attached" lagi ke benda ini.

Kalau percakapan saya dengan laptop direkam bunyinya seperti ini :
Yana :"saya cinta padamu"
Laptop :"saya juga"
Yana :"tapi saya sanggup hidup tanpamu"
Laptop:"lho kok? Berarti kau tidak mencintaiku lagi. Hatimu berpaling"
Yana: "bukan. Hanya saja saya sadar bahwa kalau kami tidak ada, duniaku tidak runtuh"
Laptop: "apakah artinya saya sudah boleh pensiun?"
dst. dst.

Beberapa jam kehilangan barang andalan ini menyadarkan saya akan beberapa hal:

Kehilangan akan menunda perjalanan sejenak, but life goes on: Saya tiba-tiba sadar bahwa kehilangan itu adalah kejadian paling alamiah dalam hidup kita. Saat ini, saat saya mengetik, saya sedang kehilangan beberapa hal : waktu, usia, sel tubuh dst.Sahabat saya teriak di telpon saat seya cerita tentang kehilangan laptop: "Yana, ini benar-benar musibah. Separo dari"otak" perusahaan ada di dalamnya".

Hari ini saya baca Ayu Azhari melaporkan anaknya yang dituduh mencuri USD 50.000.- darinya. Ayu pasti merasa kehilangan, dan bahwa anaknya somehow terlibat menghilangkan uangnya, mungkin dianggap Ayu sebagai musibah besar.

Tapi jika letakkan dalam perspektif yang tepat, kehilangan laptop, bahkan kehilangan yang dialami Ayu tidak ada apa-apanya. Dalam skala tidak terbayangkan. Mentawai, Padang, Yogya, Wasior, menderita kehilangan luar biasa. Dan mereka yang berduka berupaya untuk bangkit lagi dan melanjutkan hidup sekuat tenaga.

Andaikan laptop saya benar-benar hilang, memang dunia saya jungkir balik sejenak.. Namun hal ini tidak akan menyurutkan langkah saya untuk "jalan" terus.

Tidak ada barang yang begitu indespensable / tidak tergantikan :
Beberapa tahun lalu aku pernah membaca artikel tentang seorang inovator yang kehilangan bukunya. Ia menghabiskan begitu banyak waktu untuk mencari buku catatan kesayangannya itu. Baginya, sebagai inovator, kehilangan catatan pikiran dan ide adalah musibah besar. Semua buah pikirannya telah dituangkannya walaupun masih dalam bentuk kasar dalam berbagai disain awal dan konsep.

Suatu hari buku itu kembali. Seorang pelayan kafe yang mendengar dari pelanggan lain tentang buku yang hilang ini segera menghubunginya. Dengan kegirangan dibukanya lembar demi lembar untuk memeriksa catatan-catatannya.

Oh my God, pikirnya, ternyata apa yang selama ini dipikirnya penemuan (invention) sensasional, ternyata tak lebih dari coretan-coretan mentah yang naif. Ada satu dua ide yang pantas dikembangkan. Tapi tidak perlu dibaca dari catatan, karena telah terpatri cukup sempurna dalam pikirannya.

Cerita di atas menginspirasiku. Karena itu jam-jam kehilangan saya isi dengan menginventori hal-hal yang sifatnya meminimalkan kerugian. Isi pikiran saya saat itu seperti ini : 1) bagaimana dengan file di dalamnya? Alhamdulillah sampai bulan Juni 2010 sudah diback up. 2) Bagaimana dengan file dari bulan Juli sampai sekarang? Yang penting pasti ada disangkutkan dalam korespondensi via internet. 3) Waduh, saya bisa susah nih, semua hal yang current dan paling up-to-date ada dalam file yang belum di back up. Well, kalau sebegitu pentingnya, how come saya tidak sempat memback-upnya? Jika sebegitu penting,bagaimanamungkin saya tidak membuka file-file tersebut selama beberapa bulan? 4) bagaimana dengan beberapa artikel yang baru ditulis, awal dari beberapa paper dst? well, saya selalu bisa menulisnya ulang dari mula. Kali ini bahkan lebih gampang karena ide sudah pernah dituangkan ke tulisan.

I Should NotTake Things for Granted (jangan anggap kecil apa yang saya miliki)
Sekarang saya lebih siap kehilangan laptop. Isi laptop telah saya backup dalam dua buah external harddisk.
Namun pada saat yang bersamaan laptop ini makin saya sayangi. Begitu setianya ia menemani saya pergi ke pelosok, ke tempat terpencil, ke hutan, ke luar negeri. Saya baru saja menyapukan kuas kecil di seputar keyboard, mengeluarkan remah-remah yang tertinggal di antara tombolnya. Layar saya usap hati-hati dengan bahan khusus. Sepanjang barang ini masih dipercayakan kepada saya, akan saya rawat lebih hati-hati.Mudah-mudahan pelajaran ini bisa "nempel" untuk jangka waktu agak lama. Tadi pagi pena parker pemberian teman nyelip entah dimana. Saya menghabiskan satu jam mencarinya sambil stress dan mngomel-omel menyalahkan diri sendiri. Susah rupanya menerapkan pelajaran dengan konsisten.

Yang penting kan usahe.... iya nggak?

Tuesday, June 4, 2013

PANTAS MASUK TAMAN JURASSIC?

”No good writing can be produced from a connected desk (tak ada tulisan bagus yang dapat tercipta dari atas meja yang tersambung (ke dunia cyber)".
Ini adalah ucapan Cate Kennedy, penulis buku award winning “The World Beneath” saat saya menghadiri acara bedah bukunya di Ubud Writer’s Festival, Oktober lalu. (Mengenai event ini, akan saya ceritakan di tulisan terpisah).
Saat itu ucapan Cate masuk akal. Apalagi diteruskannya dengan: "Tulisan yang baik dihasilkan dari jam-jam merenung dan orat-oret di pojok ruangan". Hmmm… iya juga ya?  Argumen yang diutarakan Cate adalah bahwa fokus penulis bisa teralihkan dengan menelusuri dunia cyber tanpa terbendung.  Melihat reputasi Cate, dengan deretan buku larisnya, dengan pembawaannya yang karismatik, susah untuk tidak menyetujui hipotesisnya di atas :  penulis tak perlu internet, atau dengan kata lain, teknologi.
Beberapa waktu belakangan ini saya mulai ragu apakah saya masih sependapat dengan Cate. Jenar Mahesa Ayu, penulis yang benar ayu itu, menghabiskan malam-malam penciptaan berbagai novel dan cerpennya di teras Coffeewar, Kemang Timur. Wifi menghubungkannya ke bendungan informasi lewat berbagai pintu, google, dan mesin pencari lain.
Di tempat yang sama minggu lalu, saya menyaksikan kejadian yang makin membuat saya ragu, apa iya penulis kreatif  saat menulis sebaiknya tidak terhubung ke dunia maya? 
Saat itu saya menemani anak mengerjakan tugas jurnalistik kelompoknya. Hasil akhirnya tak dapat dikatakan tulisan bergenre kreatif,seperti karya seniman teman2 Mahesa Ayu di kafe ini.  Tetapi saya berani tanding panco dengan siapa saja yang mengatakan bahwa proses penulisannya tidak kreatif.. Begitu kreatifnya sampai-sampai melibatkan paling tidak tujuh wahana berteknologi.
Di bawah ini saya mencoba menvisualisasikan kerepotan Ajeng , anak saya, dalam mengerjakan laporannya yang dihadang deadline tersebut.
Di layar laptop (perangkat pertama), terbuka halaman facebook (wahana kedua) dimana Ajeng terhubung dengan teman2nya satu kelompok melalui chat room (tool ketiga). Inbox facebook dipakai untuk mengirimkan kepingan2 pekerjaan yang digarap oleh anggota kelompok berbeda (tool keempat). Email juga diberdayakan untuk menampung hasil wawancara yang direkam lewat video (tool kelima dan keenam). Sambil merakit potongan2 dan menyelesaikan bagiannya sendiri, Ajeng memonitor proses pengkoleksian bahan ini lewat blackberry messangernya (tool ketujuh)…..
Saya tercengang-cengang melihat Ajeng dengan gesit berakrobat men”juggle” ketujuh wahana berteknologi ini untuk mengalahkan deadline yang semakin merapat.
Tiba-tiba saya merasa sama usangnya  (dan pantas punah) dengan dinosaurus beserta keluarga besarnya.
Tepat di saat yang sama saya sedang menggarap satu tulisan bersama dengan rekan kerja. Ia minta tolong agar lembar draft yang kami oret-oret pada pertemuan sebelumnya dikirimkan kepadanya yang sedang berada di luar kota.
Buah pikiran kami yg jadi landasan tulisan tersebut kukirimkanlah lewat…. sebelas potong SMS !!!  Percaya ga sih?  Tidak email, tidak pesan BB, tidak pula berupa hasi scanning. Saya dan rekan saya itu memang perlu diafkirkan ke Jurrasic Park,  saking tertinggalnya dalam hal kegapean teknologi.  SMS – yang benar saja !. S udahlah  memakan waktu, tidak tepat guna dan rentan terhadap kesalahan pula.  Sejam lebih  saya tertatih-tatih mengetik kalimat demi kalimat dalam frame sms yang kecil-kecil itu.  Jika Ajeng ada dalam posisiku, pekerjaan sesederhana ini sudah diselesaikannya dalam waktu jauh lebih singkat.
Memandang Ajeng malam itu saya  diam-diam tersenyum. Suatu keyakinan merambat di hatiku bahwa Insyaallah di masa depan Indonesia akan lebih mantab (pakai “B” bukan “F”) jalannya karena  digiring oleh generasi yang amat gaptek (baca :  GAPE  teknologi).
Dan sementara menunggu masa depan, siapa bilang orangtua tidak bisa belajar dari anaknya agar dapat menguasai teknologi dengan lebih baik?  Seperti saya, yang minggu  ini lebih TangTek (tanggap teknologi) dibanding kemarin-kemarin. Thanks to Ajeng.
P/S: Cate Kennedy seumuran saya. Tak heran ia  tidak canggih teknologi…..

Monday, June 3, 2013

PIPIT, BIDADARI DARI INDRAMAYU



Pipit (17 tahun), asal Kertasemaya, desa Tulungagung, Indramayu, muncul di pintuku saat aku sedang mencari tenaga untuk menemaniku di rumah, pulang dari Hari ini -setelah percobaan minggu lalu gagal, dan menghasilkan bundaran gepeng- Pipit berhasil membuat kue sus. Tak banyak kutuntun, memang bakat dan kecerdasannya luar biasa. Tak henti-hentinya ia tertawa cekikikan mengagumi hasil karyanya sendiri. Sebentar-bentar pintu oven diintipnya sambil mengeluarkan bebunyian: Waaah, woooow, aaaah. Agaknya takjub ia karena bisa menciptakan magic : "Kok bisa gembung begitu ya bu?" Aaah, indah sekali melihat dunia dari kacamata Pipit. sakit.

Pertemuan pertama telah menyiratkan reaksi kimia begitu mutual, sehingga hari-hari kami selanjutnya begitu meriah diisi keindahan seorang Pipit.


Ia tak melanjutkan SMA setelah selesai SMP (dimana ia selalu ranking 1) untuk memberi jalan abangnya yang di SMA (tak kurang berprestasinya, sehingga sering dibantu Kepala Sekolah dalam hal pembiayaan). Ayah Pipit sudah lama tak bisa bekerja sebagai pemasak saat hajatan; paru-paru dilumuri asap terlalu lama sehingga tak sehat lagi. Ibunya di hari-hari beruntung mencuci pakaian tetangga, di sisa hari lain terpaksa keliling mengamen. 

Rapor Pipit mencengangkanku, kecepatan ia menyerap semua instruksi dan pelajaran membuatku terkesan. Acara teve Arirang, Opera Van Java, program memasak dan jalan-jalan di luar negeri jadi kegemarannya. Waktu senggangnya dibuat browsing internet. Saat membaca suara2 keluar dari Pipit, tak bisa membaca dalam sunyi. "Baca apa Pit", tanyaku dari kamar. "Kisah para nabi, bu". Suatu hari ia bereaksi kagum lebih nyaring: "Bu, ada foto stasiun Kertasemaya dekat kampung Pipit. Lihat mesjid besar, Jami' Al A'Dhom itu bu? Lorong ke kanan sesudah tembok itu ke arah kampung Pipit".

Mulai bulan ini Pipit tercatat sebagai pelajar pengejar Paket C (SMA) di Tebet Dalam. Di samping itu ia mengantongi ketrampilan lain: memotret, membuat kue, memasak.....

Ia rajin membaca buku resep - memang cita-citanya ingin jadi koki terkenal. Baru-baru ini ia kuajari membuat stew, masakan Eropa berupa ayam yang kuahnya dikentalkan seperti cream sup. Ia bercerita tentang percakapannya dengan maknya di kampung bahwa ia sudah bisa memasak stew. "Apa itu stu" tanya ibunya. "Itu mak, ayam dimasak seperti opor tapi bukan opor"... Hehehehe aku terhibur mendengar analoginya, walaupun selain berbahan sama2 ayam (yang dimasak stew ayam soale), aku tak melihat kemiripan stew dengan opor.

Bagaimana menulis stew? tanyaku. "S T O E" jawabnya yakin. hihihi....

Hari ini -setelah percobaan minggu lalu gagal, dan menghasilkan bundaran gepeng- Pipit berhasil membuat kue sus. Tak banyak kutuntun, memang bakat dan kecerdasannya luar biasa. Tak henti-hentinya ia tertawa cekikikan mengagumi hasil karyanya sendiri. Sebentar-bentar pintu oven diintipnya sambil mengeluarkan bebunyian: Waaah, woooow, aaaah. Agaknya takjub ia karena bisa menciptakan magic : "Kok bisa gembung begitu ya bu?" Aaah, indah sekali melihat dunia dari kacamata Pipit.


Potret ini kucuri, Pipit tak suka difoto, ia lebih suka menfoto. Setiap sore, ia pergi ke depan jendela dan melaporkan kepadaku, "bu, langitnya bagus bu. Pipit potret ya?". Intuisinya dalam men-frame objeknya, mengambil sudut, membuatku semakin ber-wow-wow, bersyukur dikirimi seorang Pipit.

Barusan kutunjukkan tulisan ini kepadanya: "Ah, Ibuuu...." Pipit lalu menyembunyikan mukanya di tangan sambil tertawa malu. Tak lama ia duduk depan komputer dan mulai membaca sambil senyum2.

Ah, Pipit. Lucu banget sih.