Monday, June 3, 2013

GULA-GULA GULALI (2)

Bang Aceng braksi dengan performancenya (kanan atas)
Foto-foto lain kupinjam dari internet, para seniman gula dari luar negeri

Aku punya teman yang saat hamil mengidam gulali. Suaminya kelimpungan menyisir sekolah-sekolah dasar di pinggir Jakarta. Memang tak lagi mudah mencari gulali saat ini. Karena itu saya langsung memotreti Bang Aceng yang sedang ‘ in action’. Mula-mula ia terlihat tercengang dan rada sungkan di foto begitu, walaupun tak lama kemudian naluri nya untuk menghibur sebagai artist yang performing muncul. Tambah serulah atraksinya memutar-mutar gula. 

Tetap saja, kurasa di luar angan-angannya yang paling jauh sekalipun bahwa akan ada yang menyebut gulalinya sebagai karya seni. Apalagi menyebut diri “seniman pemahat permen” seperti seorang seniman gulali jepang (Amezaiku), yang bernama Miyuki (http://wn.com/Miyuki__Japanese_Candy_Sculpture_Artist)).

Bang Aceng seperti juga penjual gulali lain, memilih ‘memahat' gulali untuk menyambung hidup. Walaupun profesi ini menular dalam keluarga, ia baru lima tahun menekuninya. “Saya belajar dari abang saya yang udah taonan ngerjain ini bu. Saya harus belajar tiga bulan sama dia, lalu ikut magang, jualan. Baru habis itu disapih, boleh jualan sendiri.” Bang Aceng mengenang-ngenang. “Waktu belajar berapa kilo aja yang dibuang bu. Salah melulu”.

Seperti kita semua bisa tebak, Bang Aceng mangkal di sekolah-sekolah. Aku tanya, apakah di sekolah swasta yang mahal gulali masih bisa laku, “Iya bu, sama saja dengan sekolah kampung. Malah lebih laris.” Jawabnya sambil tangannya tetap bekerja. “Memang banyak juga ibu-ibu yang ga ngasi anaknya beli, takut sakit gigi, dan takut bahaya bahan pewarna. Padahal saya beli di toko bahan2 buat kue bu.” Bang Aceng sambil tersenyum pasrah berkata lagi bahwa ini memang, “ resiko pedagang.“

Ia tinggal di Kebayoran Lama, “dan harus jalan jauh-jauh bu.. Setiap tiga hari saya pindah mangkal, takut orang bosen bu”. Aku tanya, bentuk apa yang paling digemari. Jawabannya membuatku terbahak. “Empeng bu (dot bayi, maksudnya). Apalagi sekarang banyak PUD (pendidikan usia dini)”. Katanya bentuk terompet juga menjadi hits pula, karena bisa dituangi susu kental manis di dalamnya, untuk diisap-isap. “Makanya saya pakai merek Gulaku, supaya gampang dibentuk”. 

@@@

Pada dasarnya - baik di Cina, Taiwan, Indonesia maupun di Jepang, dan negara di Asia lainnya, pembuatan gulali mengandalkan teknik yang secara international disebut “pulled sugar art” (seni gula tarik). Lha, katanya di Cina ditiup, ini kok ditarik, gimana sih nih Yana? – (mungkin ada yang jadi jengkel karena aku terdengar plin-plan). Bukan gitu temans, gula tiup adalah bagian dari teknik gula tarik ini. (Secara keseluruhan, gula menggula ini disebut Sugar Art. Begitu kata literatur)

Gula tarik dimulai dengan “mengawinkan” air dan gula dalam perbandingan yang pas (menurut bang Aceng, satu banding satu, namun tak semua manual yang kubaca sepakat dengan rasio ini). Setelah bewarna keemasan, berbuih pinggirnya, karamel terbentuk, lalu diaduk dengan konstan, agar adonan menjadi transparan dan liat. Adonan yang telah jadi, akan elastis seperti lempung. Nah inilah yang akan dibawa-bawa Bang Aceng dan pedagang gulali lain berkeliling di atas tungku di pikulannya. Besar api harus terkontrol, tak terlalu tinggi sehingga melelehkan gula kembali, namun harus cukup panas untuk menjaga adonan tetap lentur. Kekenyalan adonan seperti ini yang menyebabkannya bisa dipluntir, ditarik membentang setipis pita, bahkan bisa dibuat seperti mie, dan tentunya juga.... ditiup. 

Seni mengolah membuat yang manis-manis ini sudah ada ribuan tahun lalu, bahkan sebelum gula putih dikenal. Orang Romawi, Mesir dan bangsa kuno lainnya, menggunakan madu untuk bahan permen mereka, dicampur kacang, buah-buahan dan bagian lain dari tumbuhan. Ada kubaca mengenai wanita kelas atas di Eropa tahun 1800-an yang ‘menyembunyikan’ permen dalam dompetnya ketika diundang makan malam, tanpa permisi. Alasan mengenai ‘pencurian’ ringan ini adalah harga gula yang mahal sekali di masa itu, dan bahwa tak ada toko yang berjualan permen. Hanya koki pandai yang kerja di rumah orang-orang kaya yang membuatnya. 

Namun mengenai gulali, tak terlalu jelas kapan diciptakan dan dimana. China Today pernah memuat artikel yang menyebutkan seni pembuatan gula tiup/tarik di Cina bermula di dinasti Tang (618 - 907). Aku menduga kuat bahwa seni gulali masuk ke Indonesia melalui warga Cina daratan yang datang diimpor Belanda. Tebakan ini didukung oleh beberapa hal yang kuamati mirip pada pikulan penjaja gulali di kedua negera. Bentuk wadah adonan karamel pada pikulan di negeri Cina juga terbuat dari aluminium seperti di sini. Hal lain yang mirip adalah kayu pipih yang terpasang melintang dan dilubangi kecil-kecil, tempat berdirinya gulali di atas “tongkat” bambunya. (Aku membayangkan dulu, beratus tahun lalu, beberapa wirausaha Tiongkok yang tadinya datang untuk jadi pekerja, melihat para sinyo dan noni Londo, terus mentargetkan mereka sebagai pangsa pasar yang lucrative.)

Sedihnya, satu kemiripan lain adalah bahwa di manapun seni rakyat/ tradisi gula tarik ini hampir punah. Seperti kukatakan di awal tulisan, penjual gulali makin langka, hanya kita temui sekali setahun saat HUT Jakarta. Wang Tongguo dan Wang Tongsheng, dua master pembuat gulali dari Beijing yang diwawancari di artikel China Today tadi mengatakan bahwa walaupun lahir di keluarga pembuat gulali, mereka tak yakin bahwa akan ada yang meneruskan. “Pendapatan tak seberapa, dan untuk menjadi benar-benar ahli, bukannya mudah” begitu analisa mereka.

@@@ 

Patut disayangkan jika seni ‘jalanan’ gulali ini mati. Padahal di tataran kuliner modern Seni Gula mendapat nafas kedua dan semakin hidup. Sekolah-sekolah kuliner menawarkan kursus menghias dengan teknik ini, yang memungkinkan dibentuknya figurin, pita, bola dsb. Beberapa klip demo yang kulihat di youtube (contohhttp://www.youtube.com/watch?v=1gan41ls5Hk ) mirip bengkel, ada alat mirip las, mesin tiup, dsb.

Dua Wang bersaudara yang kusebut di atas, dilaporkan mendapat kesempatan untuk menampilkan keahliannya di hotel-hotel bergengsi di Beijing. Dengan demikian ada insentif bagi mereka untuk bertahan, meningkatkan dan bahkan berinovasi dalam kriyanya. 

Aku bermimpi bahwa di Indonesia, somehow abang-abang gulali ini masih bisa bertahan. Mereka akan mendapatkan bimbingan dan pencerahan agar dapat beradaptasi dengan jaman. Misalnya dari sisi proses, akan mengurangi pewarnaan karamel (toh di Cina gulali tak bewarna), atau jika diwarnai sekalipun, dengan pewarna yang aman. Jadi para ibu tak lagi cemas membelinya. Lalu, somehow, para abang gulali ini meningkatkan nilai jualan dari sisi tak kasat matanya, mulai lebih giat beratraksi atau bahkan mendongeng. Dan ini menyebabkan anak-anak (para target market mereka) semakin mencari-cari para penjaja gulali ini dan para ibunya jadi terdorong untuk membayar lebih mahal. 

Satu cara untuk beradaptasi adalah dengan semakin kreatif dalam membentuk gulali. Di Jepang, seniman amezaiku sanggup mengerjakan bentuk apapun yang diminta, dan dibarengi dengan atraksi mendongeng. Seni ‘memahat’ mereka dibantu gunting, jepit, pinset dan alat lain. Di Indonesia, jangan-jangan bisa diterapkan hal yang sama yak?

Aku menggeleng-geleng sendiri saat membaca ‘wishful thinking’ yang kutuliskan di atas. Namanya juga mimpi. Kok jauh ya dari api.... 

Siapa ya, instansi mana, yang bersedia untuk memberikan pencerahan dan bimbingan bagi para abang Aceng se Jakarta atau di kota lainnya? Aku tidak mengharapkan banyak dari pemerintah. Ini kan zamannya masyarakat berdaya. Siapa tahu ada yayasan yang tergerak untuk memulainya.

Ah, Yana, namanya juga mimpi, bisa dong dimulai dengan mengambil langkah kecil untuk mewujudkannya. Misalnya, dengan menuliskannya dan dipublish di wadah sederhana seperti facebook ini. Insyaallah.

No comments:

Post a Comment