Monday, June 3, 2013

INI LONTONG MEDAN BUNG!!


Dear Sandri,


Kemarin dirimu berkomen di bawah foto lontong medan yang kuupload, agar aku menceritakannya lebih detil kan dik? Nah ini dia ceritanya, Sandri.....

Lontong medan yang direkomendasikan sobatku Irman ini terletak ke arah jalan menuju Belawan, jalan Glugur namanya. Judulnya lucu : “Tenda Biru”, padahal terasnya ditutupi fibre warna hejo ngejreng begitu, membuat semua objek bersemu hijau di bawah tudungannya. Bangunannya ruko zaman sekarang, dengan tegel hijau juga di dindingnya. Etalase yang memajang lauk pauk dipasang di teras menghadap jalan, dan seperti banyak resto melayu atau padang, konter minuman dengan pajangan buah-buahan ada di dinding belakang. 

Pak Karimullah, pemilik usaha ini generasi kedua, duduk menghadap meja kasir sebelum pintu masuk. Wajahnya nampak serius. Namun dari waktu ke waktu kutangkap ia bercanda dengan keponakan lelakinya yang bertugas meracikkan makanan di depan rombong makana. Jika tertawa, gigi atas sudah tak ada, namun tak mengurangi sisa-sisa ketampanannya. 

Kalau Sandri kemari, bisa pilih, nasi gurih atau lontong medan. Aku sih tak mau pusing, kupesan dua-duanya (tak bisa kuhabiskan sayang, karena lingkar pinggangku sudah berteriak kritis). Piring lontong datang dengan timbunan macam-macam “taburan” di atasnya : rendang, telur balado, kering kentang bersambal, kering teri, dan lainnya yang lupa kucatat. Kuah sayur labu siam tidak segarang dan medhok seperti ketupat sayur minang. Ada letusan rasa tauco di tengah “keriuhan” rasa yang terjadi karena larutan tumpukan lauk pauk di dalam kuah. Lontongnya padat dan halus seperti pipi bayi satu tahun. 

Nasi gurih seperti namanya cukup lezat, tapi tidak seistimewa lontong sayur menurutku. Dialasi daun pisang, nasi dimasak santan ini datang dengan lauk-pauk yang sama dan bisa ditambahi perkedel. Ukuran perkedel lebih besar dari yang kulihat di Jakarta, tapi tak sepulen yang kuharapkan. 

Kesamaan di kesemua masakan ini adalah semburat rasa manis yang walau samar, namun jarang ditemui di Medan. 

Ternyata ada ceritanya Sandri.

Pak Karimullah bercerita bahwa usaha ini dimulai menggunakan gerobak dorong di depan mesjid At Tartib, kurang lebih 500 meter jauhnya dari lokasi sekarang. Ibunya almarhum, yang asli Jawa, mangkal di bawah pohon menunggui dagangan. Rasa manis dalam masakan Tenda Biru kupikir bermuasal dari resep turunan dari ibunda Pak Karimullah ini. Konon setiap jam sembilan pagi sudah habis, saking larisnya. 

Manajemen Tenda Biru dipegang oleh generasi ketiga. Pak Karimullah hanya mendampingi. Pagi ini ada ibu muda cantik berdandan sederhana tapi cukup modis yang kadang sibuk menulis-nulis kadang sibuk ke dapur. Kata Pak Karimullah, sore rumah makan dipegang anak perempuannya satu lagi bersama suaminya. Kelima anak lelakinya tak ikut-ikut dalam bisnis ini.

(Di tembok ada tulisan besar-besar : TIDAK MEMBUKA CABANG DI TEMPAT LAIN).

Menjelang siang mereka tutup, dan sore jam lima buka lagi sampai sehabisnya makanan. 

Lepas dari bisnis yang kelihatan cukup sukses (pengunjung silih berganti datang), tampak luar rumah makan ini sekilas biasa-biasa saja. Tidak kudeteksi karakter yang biasa menyelimuti usaha yang sudah berpuluh tahun. Mungkin karena ruko yang ditempati ini baru berusia lima tahun. Dua puluh lima tahun sebelumnya - sebelum bisa membeli ruko sendiri - mereka berjualan di emperan toko tak jauh dari mesjid tadi. 

Saat membayar, aku mampir ke meja Pak Karimullah... dan wow, kutemui karakter yang kucari-cari. Di atas meja kasir setinggi pinggang, berukuran satu setengah meter kali 90 centi (kurang lebih), tersusun dengan rapi tumpukan uang berdasarkan besarannya di sebelah kanan, tumpukan koin di antara gundukan uang, penggaris, kalkulator di sebelah kiri. Di tengah meja ada kertas karton tebal dengan lajur-lajur yang antara lain bertuliskan: Padi, Mandi, Panas dst, serta tabulasi di bawahnya. Ternyata itu adalah akronim – Mandi artinya manis dingin dst (aku lupa Padi artinya apa. Tentu bukan panas dingin... hihihi). 

Aku terkagum-kagum memikirkan bahwa lewat pencatatan pemasukan sederhana seperti ini “Tenda Biru” akhirnya bisa memiliki ruko sendiri setelah dua puluh lima tahun.

@@@

Sandri, kadang aku berpikir jangan-jangan tulisan-tulisanku mengesankan bahwa aku mengagungkan cara tradisional, terkungkung oleh nostalgia. Tidak tepat demikian sebetulnya.

Aku sedang mengamati, apa sih yang bisa dipelajari dari bisnis-bisnis yang berumur panjang? Nanti ya, aku mencoba menuliskan pengamatanku di sambungan surat ini....

In the meantime, selamat menikmati Jakarta ya Sandri. Jangan lupa mencoba tempat makan unik....

Salam manis



No comments:

Post a Comment