Saturday, June 1, 2013

Masakan Bugis Rumahan di Passer Koeningan (Bagian 2)


(Kawan, bolehkah berbaik hati membaca tulisan bagian 1 dahulu sebelum sampai ke bagian ini? Terimakasih).

~~~~~~~~~

Aku berpapasan dengan warung ini tanpa sengaja. Dan segera kepincut satu masakan andalan, sop ubi. Disebut sop, namun jika harus diuji oleh juri manapun, akan dikategorikan di bawah cluster soto2an. Gambar soto di keping kanan atas (dalam tulisan ini bagian satu) tak mampu mewakili keunikan rasanya. Kita bisa menebak dari namanya bahwa ubi (kayu) menjadi aktor utama suguhan khas Bugis ini. Kombinasi kuah kaldu yang membawa rasa manis daging sapi, renyahnya toge, halusnya serabut bihun dalam kuah, kacang tanah goreng yang menggeretuk saat tergigit, menjadi "penari latar" buat mempersiapkan lidah untuk bertemu dengan gurihnya potongan ubi kayu goreng yang melunak dilumat kuah. Benar-benar sensasional. Paduan yang ditanggung membuat ingin sesuap lagi, sesuap lagi. Begitu juga denganku, jatuh cinta terguling-guling sehingga setahun ini menjadi pelanggan paling setia.

Satu lauk andalan Andi Ani lain bernama Bale Nasu. Temanku yang ketagihan masakan ini, Niken, memplesetkannya menjadi Bale Nafsu. Tak salah juga, karena rasa asam segar kuah lauk ini membangkitkan nafsu makan. Memang ikan tongkol dikuah asam, ada ditemui di berbagai penjuru Indonesia. Tapi kalau rasa asamnya dari irisan mangga kering, maka menjadi tak biasa. Bahkan tak biasa juga ditemui di berbagai tempat makan Makassar lain.

"Ini resep turun temurun mbak, dari nenek ke ibu, lalu ke saya", keterangan Andi Ani mempertegas dugaan saya bahwa sajian di warung ini bukan rata-rata.

Sesuatu yang "rata-rata" seperti kolak pisang, di tangan Andi Ani, berubah menjadi penganan luar biasa. Potongan pisang sebesar genggaman bayi, dengan tekstur yang pas, dimasak dengan api pelan dalam santan dan gula abang. Hasil akhirnya adalah kuah yang lebih kental dari kolak biasa dan pisang berkilau keemasan, yang jika dipotong menunjukkan bagaimana meresapnya santan dan gula ke dalam daging pisang. Andi Ani menyandingkan kolak ini dengan ketan hitam kukus. Aaah, pantas disajikan untuk raja-raja, menurutku. (Lihat gambar di tulisan ini bagian pertama, kolak kuwadahi dalam mangkuk porselen biru).

@@

Andi Ani (yang amat rendah hati) beberapa kali menekankan bahwa masakan2 yang keluar dari dapurnya lebih tepat disebut masakan Bugis daripada Makassar. Berayah dari Pare-Pare, Ibu dari Sidrap campur Goa, Andi Ani tak begitu yakin masakannya mewakili daerah Bugis tertentu karena " masakan-masakan ini bisa ditemukan secara generik hampir di seluruh Sulsel. Yang bikin berbeda adalah bahwa ini makanan rumahan, mbak Yana. Rahasia dan trik dalam membuatnya diwariskan ke aku", begitu jelas Ani.

@@@

Aku jadi teringat tulisan Deborah Harris, pakar sosiologi dari Universitas Texas, yang menggali tendensi chefs lelaki dan perempuan. Dalam lingkungan rumah, menurut Harris, masakan diasosiasikan dengan perempuan. Tapi di lingkaran yang lebih profesional, dunia masak dihubungkan dengan lelaki. Hal ini disebabkan, begitu Harris berargumen, chefs lelaki lebih fokus pada efesiensi, sistem, berkembangnya bisnis, dan ketenaran. Chef perempuan tidak begitu tertarik akan hal-hal tersebut. Mereka lebih fokus pada "mengurusi" orang banyak, membahagiakan lewat masakannya. Chef lelaki lebih banyak mematahkan aturan (kata yang dipilih Harris sendiri "breaking the rules"), sementara chefs wanita lebih cenderung meneruskan tradisi, merawat warisan pengetahuan memasak turun-temurun.

Well, seperti banyak penelitian lain, penemuannya seringkali masih bisa diperdebatkan. Tetapi dalam hal chef bernama Andi Dewani Tenri Ampaulang, kurasa penemuan Hariris masuk akal. Andi Ani tak terlalu perduli dengan hitung-hitungan profit. Setiap masakan, baik dibandrol mahal atau murah, diramunya dengan kecintaan penuh. Jika pisang, singkong, ikan atau bahan lain pasokannya dari pasar tak memenuhi standar kualitasnya, Andi Ani memutuskan untuk meniadakan menu yang menggunakannya di hari itu. Ini hanya satu contoh kecil dari komitmennya mempertahankan kualitas.

@@@

Kecenderungan chef wanita untuk berfokus pada standar pembuatan, bahan dan kualitas, dan kurang kompetennya mereka dalam membangun sistem yang melancarkan operasional, kadang memperlambat pelayanan. Begitu juga di Warung Desakoe Delima ini.

Kadang kami, pelanggan setianya, menunggu agak lama sebelum bertemu makanan kegemaran kam. Tapi kami tak pernah komplain. Tetap menunggu dengan sabar.

Masakan istimewa yang diproses secara istimewa pantas ditunggu.


Jakarta, 7 April 2013

Keterangan gambar:
Kanan atas: Tampak depan Waroeng Dessakoe Delima
Kanan bawah: Asam mangga, dibuat dari mangga yang dikeringkan, bahan penting bale nasu
Kiri atas: SIngkong goreng di warung ini dimakan dengan sambal bercampur belimbing wuluh
Kiri bawah: Barongko, campuran pisang raja tua masak, telur, tepung beras dan santan dikukus dalam daun pisang. Disimpan sampai dingin, baru disajikan. Penganan yang sudah jadi akan mengeluarkan cairan seperti madu yang bisa dihirup bersama potongan kue ini.
 — with Koez ArraihanErny SusantyDian SlametPungki Wiryawan PurboyoSandri Kartini and Esti Slamet.

No comments:

Post a Comment