Saturday, June 1, 2013

Kue Putu Bambu Tunggal Mang Epul


Di jalan Jend. Sudirman Bogor, ada toko kue yang usianya puluhan tahun, lahir tahun 1963. Bogor Permai namanya. (Keponakanku Dion bertanya, kalau begitu apakah lebih tua atau lebih muda dari Bude? Aduh Dion.... sssst....  ). Senang rasanya melihat ramainya pengunjung toko tersebut berebut kue-mue (atau ditulis di buku resep nenekku: kuwih-muwih) tradisional. Beberapa di antaranya bahkan sudah jarang sekali terlihat, seperti kue cucur dan kue sengkulun (hayoo, ada yang tahu tidak, kue ini? Aku juga baru tahu tuh).

Aku senang karena yakin bahwa kue-kue jajan pasar ini kelihatannya tak akan hilang tergusur red velvet cake, cup cakes dkk.

Agar dapat survive, jajanan yang banyak dititipkan di toko-toko kue ini kuamati lebih memperelok diri. Kue sengkulun dari Betawi, misalnya. Aslinya terbuat dari tepung ketan bercampur kelapa yang tadinya sekedar ditumpuk, bagian bawah ketan warna putih, atasnya berwarna merah. Hmm, Di Bogor Permai ini kue jenis ini digulung dengan bagian utama dari ketan diwarnai merah muda terang. Tentu saja, pikirku. Selain harus dipikirkan dari segi kepraktisan membuatnya dalam skala besar, juga dari sisi estetik.

Contoh lain adalah kue putu. Zaman dulu aku hanya mengenalnya sebagai putu dicetak dalam tabung bambu yang dilewati uap sehingga masak dalam hitungan menit.

Namun di tahun delapan puluhan akhir, kue putu berevolusi. Arisan saat itu sedang marak, dan ibu-ibu yang perlu variasi kue2 suguhan, ingin bisa membuat sendiri jajan pasar. Maka -dipelopori oleh majalah2 wanita saat itu- inovasi kuliner menghadirkan putu jenis baru. Varian ini tetap hijau muda daun suji, tetapi lehih praktis karena tak perlu buluh bambu. Hanya dicetak berbentuk lingkaran berpola, berlubang tengahnya, dan dikukus sekaligus dalam jumlah banyak. Tetap bertabur kelapa. Setelah berdandan dan bergincu lebih genit begini namanya jadi putu ayu.

Putu bambu seperti yang aku kenal di masa kecilku masih sering kujumpai. Terutama yang menggunakan gerobak besar dan mangkal. Penjaja putu gerobak-an ini mampu memproduksi beberapa putu sekaligus dalam sekali "tiup". Hal ini dimungkinkan karena menggunakan beberapa cetakan bambu sekaligus.

Penjaja putu bambu yang uapnya bersiul-siul memanggil kita, yang berkeliling di perumahan, semakin jarang kulihat.

@@@@

Hari Minggu lalu, di daerah Nirwana Bogor, aku beruntung bertemu Mang Epul, sang penjual putu bambu tunggal. Aku bisa menebak pertanyaan teman2, apa itu bambu tunggal? Hehe, itu rekaanku sendiri, untuk membedakan jenis pembuatan putu Mang Epul yang hanya berbambu satu buah (monggo, silakan lihat gambar kiri atas). Alhasil, putu pun, dibuat satu-satu. Pembeli dengan sabar menunggu. Kalau satu putu butuh dua menit, maka limabelas putu memerlukan setengah jam untuk membuatnya. Tapi kelihatannya ia cukup dikenal di perumahan tersebut. Baru selesai ia meladeni pemilik satu rumah tempat kami menemukannya, ia sudah kami todong untuk sekian lusin putu. Begitu kami selesai "berurusan' dengannya, Mang Epul sudah dipanggil penghuni rumah di ujung jalan tersebut. Waah, laris manis. Alhamdulillah.

Mang Epul -seperti penjaja kue putu lainnya - juga menjual kelepon. Tapi "keleponnya dibuat di rumah bu, pikulan saya ga memadai untuk dibuat langsung sambil jualan", katanya sambil membungkuskan kami sepuluh butir kelepon. Well, karena itu kelepon agak dingin dan tak terlalu empuk. Namun adikku Vivien tak kurang akal. Dipanaskannya kelepon dengan menggunakan 'cerobong asap" angkringan Mang Epul (lihat gambar kanan bawah).

Mang Epul bercerita bahwa ia bangun pagi-pagi mempersiapkan bahan2 dagangan, dan baru keluar agak siang, memikul dagangannya dengan jalan kaki berkilo-kilometer dari rumahnya di Kampung Batu. Biasanya sebelum Isya sudah habis, katanya.

Aku tak heran. Putunya legit dan pulen. Gulanya asli tak dicampur sintetis. Lagipula pekerjaannya terorganisir sekali. Aku terkagum-kagum lihat laci-laci gerobak kerjanya. Laci paling bawah berisi tepung beras bubuk bersuji warna hijau, di atasnya kelapa parut. Laci paling atas dibagi dua. Yang kanan berisi gula jawa, dan kiri buat uang dan receh (gambar kiri bawah). Sebuah payung yang masih kuat, rapi dan berwarna senada dengan pikulannya terpasang bak senjata rahasia di samping gerobak (lihat gambar kanan tengah).

Berbekal sebungkus putu dan kelepon kami melanjutkan perjalanan dengan gembira. Suara siualan uap putu bambu mang Epul makin lama semakin lirih. Waktu kutengok sebelum sosoknya menghilang karena kami berbelok, ia tengah dirubung beberapa anak kecil dan ibunya.

Mungkin gak ya, dua puluh tahun lagi, anak kecil yang sekarang antri ini, setelah menjadi orangtua, mengantarkan anaknya antri putu bambu di depan rumah, sore-sore menjelang magrib seperti ini?

@@@@

Oh iya, hampir kelupaan.. Terimakasih ya Vien, kita semua ditraktir kelepon dan putu yang asli pulen legit seperti ini.... Alhamdulillah....

No comments:

Post a Comment