Monday, June 10, 2013

SORE HARI



Entah kenapa - seperti satu baris lagu yang bersiul berulang dalam kepala- sekeping gambar mengikuti saya, terbawa bertahun-tahun. Tentang suatu sore.
@@@
Saya pulang kerja lebih cepat. Di pengkolan satu pemukiman padat, di balik gedung-gedung gagah jalan Jenderal Sudirman, berendeng lima lelaki muda mencangking helm keselamatan, berjins koyak berkaus penuh noda semen dan cat, menuju ke arah perumahan penduduk yang masih tersisa. Langit mulai jingga. Mereka berjalan dengan langkah merdeka, bercanda saling meninju lengan, tertawa lepas. Kelihatannya baru pulang kerja dari salah satu proyek pembangunan gedung di sekitar tempat itu.
Beberapa rumah dari tikungan, ada deretan ruko tua dengan teras lantai dua yang cukup luas. Dua gadis yang saya tahu kerja di toko tersebut (saya seorang langganan toko mereka) sudah rapi mandi berdandan sedang riuh berceloteh sambil menyuapi anak majikan. Cekikan mereka menghentikan langkah para pemuda, yang melontarkan pandang ke atas, melempar teguran dan seketika membuat tawa kedua gadis tertahan jadi tersipu-sipu. Kejadian ini hanya sebentar dan tak ada yang istimewa yang kemudian terjadi. Pekerja bangunan pulang meneruskan langkah saling menggoda teman, lawan jenis mereka di balkon meneruskan memomong anak. Tetapi kombinasi jalan gontai asoi para pekerja bangunan, rambut setengah basah habis mandi melekat di kepala para gadis, sapuan bedak di wajah, keriangan mensyukuri selesainya pekerjaan hari ini, menciptakan magis yang membuat keadaan ini membeku dalam album di kepala saya.
Saya ingat  betapa hati  tersengat tertulari kebahagiaan sederhana ini dan terpikir, betapa berharga dan betapa mulai langka sore nikmat. Lalu sadar, ada aroma ajaib ketika hari akan bersalin gelap. Seolah di titik ini alam sedang bersujud syukur bersama, satu hari produktif lagi diselesaikan.

@@@
VS Naipaul, penulis pemenang Nobel dalam bukunya "Among the Believers" menceritakan pengalamannya bertualang ke negara-negara Islam. Di satu halaman ia melukiskan sketsa satu sore di kampung daerah Jawa Tengah. "Sore begitu penting buat mereka" observasi Naipaul.
Seakan menegaskan kesimpulan Naipaul, anak saya mengamati hal yang sama. Desa keluarga angkat Ajeng saat tugas sekolah berada di Jawa Tengah, di desa Sukorejo. Setiap sore para ibu berkumpul di satu pondok, masing-masing membawa cemilan, dan satu teko teh kental terhidang. Mereka akan ngerumpi ngalor ngidul menunggu panggilan adzan magrib. Ajeng antusias menceritakan ini, mungkin rindu akan sore-sore hari  saat kecilnya, disuapi sambil bermain ayunan dan perosotan depan rumah ditemani sekawanan anak-anak lain.
@@@
Dalam memori saya yang mulai memburam, berlembar-lembar sore indah lain terkenang. Beberapa menonjol jelas, seperti foto berwarna di antara gambar hitam putih. Kebanyakan bersama orang tua saya.
Masih jelas anggukan daun pohon palem di pinggir Sungai Musi, saat masih kecil dan tinggal di kompleks perumahan Sungai Gerong, Palembang. Sore-sore kami sekeluarga menyusuri trotoar di bawahnya. Sungai lebar memisahkan kami dari titik-titik kecil di seberang, rumah-rumah bertonggak di atas air. Di mata kanak-kanak saya sama perkasanya badan air Musi ini dengan lautan.

Seringkali jalan-jalan diteruskan ke "Kamar Bola", semacam klub komunitas yang mayoritas pegawai Stanvac, perusahaan minyak tempat ayah bekerja. Kalau ayah sedang murah hati kami diperbolehkan memesan es krim tanpa pengawet, melulu susu yang diwadahi gelas stainless steel setengah bola. Sekali sekala boleh minum limun hijau.  Kalau sudah begitu, saya merasa paling beruntung sedunia.
Ayah juga sering membawa kami berputar-putar di antara waktu asar dan magrib. Waktu usia saya kurang dari sembilan tahun, mobil ayah bermerek Dodge dengan bak belakang. Saya bersama adik-adik  duduk di bak beralaskan terpal, menikmati udara sore dalam arti sebenar-benarnya dengan terpaanangin di muka. Kemana? Tak tentu, kadang ke penjahit langganan - tante Merry- di Kampung Baru, kadang menyambung silaturahmi mampir ke rumah guru mengaji, seperti yang saya katakan, sesuka-suka setir ayah membawa.
@@@
Sudah beberapa bulan ini saya tidak bekerja keluar rumah. Sore-sore jadi milik saya lagi. Selepas asar saya akan duduk depan jendela apartemen di tingkat 32 memperhatikan dua kavling tanah luas berpagar seng dijepit gedung-gedung tinggi. Beberapa bulan lagi pemandangan ini akan terhalang. Tanah kosong sebelah kanan telah ditanami berkubik-kubik fondasi, gedung-gedung berpuluh tingkat akan tumbuh di atasnya. Yang sebelah kiri, areal berumput satu-satunya yang tinggal sudah dikepung pagar seng, siap digilas proyek berikutnya. Sementara ini hanya ada satu jalan tanah membelah rumput subur kavling ini.
Sementara ini, saya masih diizinkan Tuhan menikmati pemandangan macam-macam. Ketika sore masih muda tadi, sering terlihat pasukan sapi atau kambing  merumput, kadang berpapasan mobil berat proyek, yang terpaksa menunggu dengan sabar sampai gerombolan ternak berkenan memberi jalan. Sering saya potret (dengan lensa berzoom tinggi) mengamati perilaku hewan-hewan ini untuk mengamati polanya. Kambing-kambing biasanya dengan tenangnya mendeprokkan badan, berbaring di jalan tanah setelah merumput. Sapi sering bercanda satu sama lain, melompat dan menyeruduk canda. Dan tak sengaja membuat sore lebih berwarna.

Satu sore, satu motor terlihat dihentikan di lapangan rumput. Lensa kamera cukup kuat untuk melihat bahwa ini adalah motor pedagang dengan semacam bak berisi barang dagangan di belakang (tak jelas apa).

Sang pengemudi turun dari motornya, tegak berdiri di samping motor cukup lama, sebentar memandang ke atas, menghadap ke sana, bertolak pinggang. Saya merasa agak tak enak hati, seperti mengintip privasi tanpa izin, walau bertengger jauh di atas, berada tiga puluh dua lantai dari bumi. Setelah kira-kira 20 menit ia menstarter motornya dan segera hilang dari pandangan. Mungkin dia mengisi ulang semangatnya, menikmati sore jatahnya.
@@@
Di akhir 70-an awal 80-an, Denny Malik menyanyikan hits-nya, "Jalan Sore-Sore". Himbaunya, "Mari kita mencuci mata.. Mumpung kita-kita masih muda". Di tingkat urban kini, bahkan yang muda pun susah menikmati sore. Beban tugas semakin berat, mengarungi jalanan memerlukan waktu panjang, rumah baru bisa dipeluk saat malam sudah turun.
Teman, kapan terakhir sempat memperhatikan sore?

Jakarta, 10 Juni 2013


1 comment: