Saturday, June 8, 2013

SATE ENTOK DAERAH RASUNA


When life gives you traffic jam, make picnic - kalau hidup melemparkan macet padamu, buatlah jadi picnic (plesetan dari when life gives you lemon, make lemonade).

Kira-kira ini yang terjadi kemarin sore. Macet seperti iring-iringan semut. Merangkak bagai siput dari rumah di Apartemen Rasuna ke depan KPK, padahal kami sudah memutar lewat belakang, ke arah Imperium. Tapi bagi saya, yang sudah lama keluar rumah, serasa piknik. 

Segerombolan sapi yang sering saya lihat dari lantai 32 apartemen sedang bermain-main merumput di sepetak lapangan tersisa diantara beton Jakarta, dilingkari mobil rapat parkir di pinggirnya. Deretan gerobak dorong menggelar bangku di kaki lima di depan gedung-gedung tinggi, bertembok pagar tanaman gedung yang rapi seperti rambut baru diset di salon, mengkontraskan yang ideal (gedung tinggi) dan realita (kaki lima). Bangku-bangku papan menampung sebagian manusia-manusia yang keluar dari kantor-kantor megah, yang tingkat dompetnya hanya mampu dibelanjakan di warung-warung seperti ini.

Macet tak juga reda, dua jam duduk dalam taksi, tak jauh ruas jalan yang kami berhasil tembus. Saya bertukar strategi. Tak mungkin juga janji bisa dipenuhi tepat waktu. Saya batalkan pertemuan, dan segera pak supir taksi balik kanan jalan.

@@@
Tapi saya sudah terlanjur kesetrum udara luar. Mau pulang merasa rugi, sudah ada di luar. Sudah dua bulan sakit saya menghalangi menikmati jam pulang kantor penuh uap bersyukur. 

Saya menelisik deretan gerobak dengan nanar. Satu menarik perhatian. Bukan karena warna, bentuk atau meriahnya, tapi tulisan di kaca etalasenya. "SATE ENTOK" serunya di kaca kiri "LONTONG SAYUR" terpampang sebelah kanan. Pak Supir pun segera cari parkir.

 

@@@

Hidangan ini dihadirkan sebagai setelan dua jenis pemeran yang sama pentingnya: lontong sayur (diameter lontong sebesar bumbung bambu), dengan satu atau dua tusuk sate entok. Kalau dibawa pulang, lidi bambunya dilepas, daging entok yang diiris pipih dicemplungkan sekalian ke dalam lon-say (istilah orang sumatera untuk lontong sayur).  "Nanti menusuk plastiknya, bisa bocor" kata penjualnya.
`
Sayurnya bersantan cair, bumbu dan sambal yang pas nian, serpihan tempe dan irisan halus kacang panjang (atau buncis) hanya sayup-sayup terlihat. Daging entok yang kucurigai akan amis, muncul mempesona sebagai primadona. Seratnya rapat seperti daging kerbau. Warnanyapun lebih gelap daripada bebek atau ayam. Citarasanya susah saya gambarkan selain satu kata ini: mantap. Lebih menyerupai daging mamalia daripada unggas, empuk seperti sapi muda.

Sambil menunggu disiapkan, saya seperti biasa, mengobrol dengan pemiliknya. "Nama saya Nok, bu" kata sang istri yang cantik semok.  "Hah, mbak Nok jual entok?" saya keceplosan karena merasa seronok mendengar nama yang  berselaras dengan  bunyi "entok". Mbak Nok tidak tersenyum. Kelihatannya tidak terlalu menyukai gurauan saya. Namun wajah mbak Nok mekar sumringah begitu mulai bercerita tentang bisnisnya. Bisnis ini baru setahun belakangan ini dirintisnya bersama suami (mbak Nok cerita sambil senyum-senyum, seolah bisa baca pikiran saya yang terkagum-kagum menyaksikan antrian yang panjang menungggu sate entok dan meja-meja berlantai rumput beratap langit yang selalu penuh). Sebelumnya mereka berjualan nasi goreng.

"Kenapa terpikir menjual sate entok?" "Ini masakan khas Brebes, bu, kampung suami".

Sampai di rumah saya langsung bercengkerama lagi dengan teman baik, Mr. Google. Tidak keluar gambar maupun cerita yang memadukan sate entok dengan sandingan ketupat sayur.

 
Penasaran, besoknya saya beli lagi - selain ketagihan juga ingin tahu lebih banyak mengenai masakan ini. Dari mana asal resepnya? Apakah kreasi sendiri? Resep warisan nenek? Pertanyaan berderet di kepala saya. Mbak Nok tertawa ketika aku setengah mengeluh bercerita tentang kesulitanku mencari informasi mengenai sate entok di internet. "Mungkin orang mengenalnya sebagai ketupat entok bu", katanya. 

Well, hasil pencarian saya dengan kata kunci "ketupat entok", menggiring saya ke penemuan baru. Saya duga keras (sungguh keras, teman-teman, ciyuss nih), bahwa sate entok mbak Nok tergolong jajaan Brebes yang disebut kupat blengong. Atau lebih tepatnya kupat glabed plus sate blengong. (lihat site: http://www.tempo.co/read/news/2009/12/13/105213494/Kupat-Blengong).

Dari site ini saya jadi paham bahwa aslinya, daging sate terbuat dari blengong hasil persilangan bebek dan entok. Keturunan kedua jenis spesies inipun masih harus diseleksi, hanya yang jantan, karena dagingnya lebih tebal. Tak jelas apakah mbak Nok suami isteri memakai daging blengong atau entok, seperti yang tertulis dengan cat tebal pada kaca gerobak dorongnya.

Entok atau blengong, satu hal sudah jelas: piknik tak sengaja malam itu mempertemukan saya dengan jajaan mbak Nok dan suami yang mantab punya !!!

P/S: Oh, iya, gerobak dorong sate entok baru operasional sore-sore menjelang pulang kantor sampai malam hari.

1 comment: