Saturday, June 1, 2013

Kopi Molly.



Itu nama yang tertera di dinding facade satu ruko tua di pojokan jalan Semarang, Medan, jauh di atas terpal biru yang menjulur dari atas kusen pintu-pintu utama. Saya tanyakan kepada wanita muda agak gemuk di balik meja kasir, asal muasal nama ini, dan saya jadi kecele. Saya membayangkan ini namanya, cucu pendiri kedai. Ternyata, dari nama Mulyono. bapaknya, generasi kedua pemilik Kedai Kopi Molly.

Saya merasa "at home" seketika berada di ruang hangat ini (saking at homenya, hampir lupa bayar, hehe). Bermacam hiasan dinding tertempel rata di tembok, dengan dominasi warna merah dan emas. Di dinding menuju lorong samping, gelas berbagai bentuk, keramik dan warna ditata rapi dalam rak kayu, di atas kompor industrial dari stainless steel. Mesti tambahan terbaru di kedai, pikir saya.

Meja altar kayu yang menancap di dinding -cukup tinggi dari lantai- didiami oleh "pendatang baru", vas keramik biru Ming pura-pura, dengan bunga merah juga pura-pura di atasnya, diapit dua tanggalan kertas. Foto arwah dan perangkat pemujaan berdupa, turun ke lantai bersandar ke dinding segaris lurus di bawah meja. Entah kenapa. Di depan meja terayun lampion merah yang menggantung. Wow, di mata saya, begitu artistik dalam ketindaksengajaannya.

Sang putri Molly (yang berkali-kali mengusulkan agar saya ngobrol dengan ayahnya besok pagi, Pak Molly, yang sudah berangkat tidur) tersenyum senang campur bingung ketika saya minta izin pula memotret meja di sampingnya. Sebetulnya yang saya bidik adalah teko, yang dia bilang sudah ada dari dia belum lahir, berlatarkan gambar dewa (lupa tanya, terlihat seperti Shiva di mata saya. Mungkin salah), ditempelkan di sisi kanan kotak display rokok. Sebuah tempat minum plastik hijau dan pisang yang bertumpuk seperti dua bersaudara anjing sedang berjemur, melengkapi sudut ini, seolah-olah sedang berias untuk majalah Travel.

Menggunakan parameter umum, sepiring sate padang sebagai teman kopi tampaknya kurang pas. Namun Sate Padang Sejoli ini sudah berpuluh tahun menjadi teman bagi Kopi Molly. Uniknya, di antara tusukan lidah, usus dan jantung sejamaknya sate padang, terselip sate kerang dan .... ayam!! Saya harus ke Padang untuk mencek, apakah Pak Sate Sejoli yang tidak standar, atau Sate Padan Ajo dan teman2nya di Jakarta yang tidak menuruti pakem asli.

Besok, eh, beberapa jam lagi, saya berniat balik lagi untuk mengobrol dengan Pak Molly menuruti nasihat putrinya. Rasa kopinya, tanya anda? Tentu sedap, seperti kopi di kedai peranakan pada umumnya. Apakah istimewa? Saya kurang tahu, karena hanya menyeruputnya sedikit, takut susah tidur. Hari telah jam delapan malam.



No comments:

Post a Comment