Monday, June 3, 2013

MATI LAMPU YANG MENYAMBUNG KONEKSI (2)



~di balik jubah (so-called) manusia urban~



BABAK 2



Aku telah dua tahun tinggal di gedung kandang merpati bersusun ini (begitu imagery dalam kepalaku tentang apartemen – atau flat kata orang Inggris dan saudara2 Commonwealthnya). Dan selama itu pula tak pernah ada kejadian tak biasa - mati lampu tak pernah, apalagi percekcokan diiringi ‘gocoh-gocoh’an seperti malam itu.

Tapi yang lebih tak biasa lagi adalah apa yang terjadi sesudah insiden perkelahian itu. Penghuni yang tadinya sanggup dan “tega” duduk bersinggungan bahu dan pinggul (saking sukar mencari tempat duduk, penuuh) tanpa bertegur sapa, tiba-tiba mendapati diri saling bertukar opini. “Waah, payah si Bapak... kayak preman saja. Mentang-mentang pemilik main kuasa saja”

“Bukan begitu mBak, bapak itu kan wakil ketua RT di sini. Orangnya sangat melayani lho mBak, dia penghuni biasa kayak kita, tapi dia sampai ndak masuk kerja membantu negosiasi dengan PLN, menenangkan kita dsb.”

“Iya mas, tapi sebaik-baiknya orang, kalau saat tertekan keluar aslinya, tak bertata krama bahasanya, apalagi mengancam, hilang deh semua amalnya.”

“Saya setuju, ga usah playing victimlah. Malah menghilangkan simpati dari kita-kita”.

Dst. dst., obrolan ini akhirnya membentuk lingkaran “sarasehan” dadakan di pelataran lobby. Di tengah-tengah percakapan baru pada ingat belum memperkenalkan diri “Mas siapa ya, saya Yanti, 23 A, gedung Timur”. “Lho, saya juga dari lantai yang sama, 23 D. Kok gak pernah ketemu ya?”. Beberapa anggota “sarasehan” ada yang bertukar PIN.

Ketegangan karena pertengkaran tadi mencair, berganti gelak tawa. Seorang wanita yang terlihat chic ternyata broker jual beli apartemen yang juga penghuni lama. Orangnya kocak. Ia berbagi cerita macam-macam mulai rumor mengenai unit berhantu sampai pembunuhan di blok apartemen tetangga. Mungkin rasa sepenanggungan yang menyebabkan bonding terasa terbentuk. Ada yang nyeletuk “ayo bikin BB group atau milis eks mati lampu blok 18 yuk”. 

Bahkan ketika satpam memberitahu “lampu sudah nyala, tidak pakai genset lagi, tapi dari PLN”, lingkaran ini meneruskan obrolan serunya. Kami baru bubar ketika Yanti berteriak tiba-tiba “Aduuuh, saya harus ke atas, lupa mematikan setrikaan.”

Seperti saya bilang, ini kejadian dua malam lalu. Pagi ini ketika saya menunggu jemputan di lobby, saya mengenali beberapa wajah eks member sarasehan dadakan malam itu. Tak semua menegur. Tapi aku terhibur dengan satu sapaan hangat :”Halo mama Ajeng....... berangkat siang nih?”. Seperti biasa, Ajeng anakku selalu lebih diingat dari mamanya. Aku masuk mobil jemputan dengan rasa syukur. 

@@@@

Dalam “The Metropolis and The Mental Life”, George Simmel menunjukkan perbedaan manusia urban dan rural. Yang disebut pertama, orang urban menerima perubahan yang begitu besar jumlahnya dalam kehidupan sehari-harinya. Istilah yang dipakai Simmel : “Intensification of Nervous Stimulation”, atau eksposur stimulus pada saraf yang intens sifatnya. Jika sensitifitas saraf tak diturunkan, atau dengan kata lain, “ditumpulkan”, maka orang kota bisa overwhelmed, kelimpungan mengatasi perubahaan2 ini. Coba, dalam semenit bisa beratus lebih stimuli yang diterima: pertukaran lampu merah, suara kendaraan, klakson, teriakan kenek metro mini, pesan dari bb dan sms, telpon.... tak putus-putus. Itulah sebabnya, manusia urban memilih untuk bersandar lebih pada organnya yang paling tidak sensitif sarafnya, tidak merasa, yakni otak. Kata kunci hubungan mereka adalah transaksional, dengan nilai-nilai ekonomi dan uang sebagai denominator. (Bukan gue lho yang bilang, ini kata Simmel. :-)). 



Kami, para penghuni apartemen, yang acuh tak acuh jika berpapasan di lift, atau mengantar anak-anak berenang, masuk dalam golongan mereka yang saraf rasanya sudah tumpul. Tapi kejadian kemarin, dimana tiba-tiba kerinduan penghuni untuk menyambung koneksi dalam tataran personal dengan para tetangga tiba-tiba menyeruak (dibuktikan dengan antusiasme bertukar PIN BB dan nomor telpon), membuktikan bahwa kami belum seratus persen (dan tidak rela) digolongkan ke dalam kelompok manusia urban.

Seperti apa manusia rural ? 

Simmel menggambarkannya seperti ini :

“..(in rural areas) the rythm of life and sensory mental imagery flows more slowly, more habitually and more evenly ... Small town life ... rests more upon deeply felt and emotional relationships. These .. are rooted in the more unconscious layers of the psyche5 and grow most readily in the steady rhythm of uninterrupted habituations. (..Di daerah, ritme kehidupan dan stimulus yang diterima indera mengalir lebih lambat, lebih rutin, lebih teratur...........Kehidupan kota kecil... bersandar lebih pada hubungan dekat dan emosional. Hal ini... berakar pada lapisan lebih dalam dari jiwa manusia dan tumbuh lebih subur dalam ritme teratur dan kebiasaan yang tidak terganggu atau terputus) “

Di bawah sadar, kami, penghuni apartemen di dekade pertama tahun 2000-an, masih rindu akan hubungan antar-manusia yang hangat. Nampaknya di memori kami masih tersimpan asyiknya bertukar-tukaran rantang menjelang hari istimewa, atau saling meminjam garam atau terasi jika kehabisan dan segala dinamika “kampungan” lain yang indah.

Kupikir-pikir kami kan barulah generasi pertama yang tinggal di apartemen. Aku yakin tak satupun dari kami yang tumbuh besar di kotak-kotak bersusun tinggi ini. Bagaimanapun, deep inside, kurasa kami tetap berakar di kota kecil atau kampung. Dan kuharap masih lamaaa lagi sebelum kami berubah menjadi manusia urban yang dingin. Brrr.

(Eitts... sebentar teman-teman.... barusan ada sms masuk. Dari teman baruku Ruli, yang baru kukenal malam itu, mengajak kumpul-kumpul di kantin dekat tempat tinggal kami. Horeee..... ).

~T A M A T - L A Y A R T U R U N~

Nota : Sketsa diambil dari buku : "Java, the Garden of The East" tulisan Eliza Ruhamah Scidmore, terbitan tahun 1922

No comments:

Post a Comment