Monday, June 3, 2013

WARUNG DINDING BOLONG




September 6 tahun 1980 Goenawan Mohamad bercerita di Catatan Pinggir, Tempo, tentang Sinyo Oudeblah, orang Belanda yang mencap inlander pemalas semua. Si sinyo imajiner digunakan Goenawan sebagai simbol imperialisme - juga sebagai frame tulisan pembelaannya terhadap Zuhdi, Rusli serta anak-anak bumi Indonesia lainnya, yang dicap bermentaliteit malas bekerja.

@@@

GM menulis di catatan berjudul "Zuhdi" tersebut : "Sinyo Oudeblah ... boleh bilang .... keturunan Zuhdi, asal usul atau nenek-moyangnya bukan pemberi warisan 'kebudayaan intens'. Sinyo Oudeblah juga bisa bilang.....bangsa Zuhdi adalah bangsa sonder etos kerja dan degup jentung calvinis.

.....

Sinyo Oudeblah dan yang sebangsanya tak banyak tahu sebenarnya peri hidup inlanders ini.... Tapi ia pandai bicara. Kecepatannya menarik konklusi dianggap sebagai tanda kecemerlangan, bukan kesembronoan. Dan konklusinya tandas, telak: mentaliteit itulah yang bikin tidak ada kemadjoean.................

Tapi Zuhdi bangun pagi-pagi. Ia mencangkul dengan tangannya yang kekar dan niat yang lebih kekar lagi. Adakah dia kecualian?..... Inikah masa pengakuan terhadap etos kerja?"

@@@

Tiga puluh tiga tahun berlalu sejak pikiran GM dibaginya dengan para pembaca kolomnya. Tudingan bangsa kita pemalas ini tak lagi hanya datang dari bangsa Oudeblah, kita -orang Indonesia- lebih cepat lagi menempelkan cap itu ke badan kita sendiri.

Lupa mereken mereka yang harus berangkat kerja sesaat setelah matahari naik, mengejar angkutan umum yang tak ramah-pengguna. Lupa memperhitungkan petani yang tetap berusaha menggarap tanahnya walaupun hasil tak seberapa. Lupa mengambil contoh jutaan mbak-mbak muda dari desa-desa yang bangun pagi-pagi sekali menyediakan sarapan, menyiapkan anak-anak berangkat sekolah, mengepel, mencuci, singkat kata: mengurus rumah tangga majikannya.

@@@

Di tahun ke 68 kita merdeka - melewati bermacam krisis, puluhan bencana alam, nyeri dan goresan konsekuensi pengambilan keputusan dalam mengelola Indonesia, liku-liku yang kadang bikin vertigo dalam belajar bernegara- bangsa Zuhdi tadi , lepas dari kekurangan dalam berproses, tetap tangguh, inovatif, tahan banting.

@@@

Di mataku, keuletan itu terwakili -salah satunya- oleh "warung-warung dinding bolong". Tak perlu modal besar. untuk mulai berusaha hanya perlu sebuah lubang di dinding rumah. Warung-warung seperti ini kutemukan di seluruh pelosok Indonesia.

Rajin, dalam bahasa Inggris disebut "industrious". Tapi hematku, yang rajin, bermanfaat dan berkontribusi terhadap ekonomi tak perlu selalu bersangkut paut dengan industri atau kapital besar. Usaha kecil mikro, secara kolektif, tak kecil sumbangannya. Pada krisis ekonomi dunia tahun 1998, buffer yang menahan guncangan justru usaha kecil menengah.

Rajin dan industrious bukan hanya milik para eksekutif dan pengusaha kelas industri.


Catatan: Tanda titik-titik (.........) kugunakan untuk menandai bagian tulisan Goenawan yang tak kusertakan sebagai kutipan di atas.

Keterangan foto (seputar jarum jam)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kiri atas: Warung berdinding biru ini berumur lebih dari 40 tahun. Aku selalu menyempatkan diri mampir setiap kali habis pulang jajan di warung Rujak Cingur Genteng Durasim, Surabaya di depannya. Hanya sekedar mengamati serok penyendok beras (buat menimbang) yang sudah menyaksikan berbagai era, bufet kayu yang semakin tahun semakin wangi.

Kanan atas: Satu penciri utama warung rumahan adalah gantungan tirai yang terbuat dari saset-saset yang makin tahun semakin "tebal" karena makin banyak jenisnya. (Lokasi, gang Mergosono, Malang)

Kiri bawah: Warung dengan jeruji sering kutemukan di daerah pemukiman tengah kota yang berusia tua, seperti di jalan Rajawali, Surabaya ini. Aku tak sempat tanya, tapi yakin warung ini telah hadir dan memberikan jasanya puluhan tahun.

Kanan bawah: Warung Obong, di ujung satu jalan buntu perumahan Bogor Baru, mewakli simbiose unik antara penghuni kompleks perumahan dan warga kampung sekitarnya. Delapan puluh persen pelanggannya datang dari kompleks, seakan menegaskan pola hubungan kedua komunitas: elemen kampung (yang tadinya digusur untuk membangun kompleks) yang tersisa dapat bertahan dengan mengambil posisi sebagai pensuplai jasa. Mereka menyediakan tenaga satpam, pembantu rumah tangga, tukang pijat, dsb., bagi kenyamanan penghuni kompleks perumahan suburban.


No comments:

Post a Comment