Monday, June 3, 2013

CEMAL CEMIL CAMILAN (2)


Camilan oleh-oleh sahabat anakku, Cecil namanya.
Moci lunak Cianjur, keripik bayam dan pisang sale


Bisnis Camilan dan Ekonomi Rakyat


Berbagai nilai tambah yang disumbangkan oleh bisnis camilan ini. Satu, bisa jadi sandaran ekonomi rakyat. Barrier to entry yang rendah (dalam arti yang paling "loose", kumaksudkan sebagai : siapa saja bisa memulainya. asal punya nyali dan ketekunan), tak perlu modal terlalu besar. Pak Bondan Winarno pernah ngobrol denganku soal ini. Katanya, kalau tiang ekonomi keluarga tiba-tiba hilang, misalnya PHK atau suami meninggal, apa yang biasanya dilakukan orang? Kalau tidak buka warung, ya membuat makanan kudapan. 

Kedua, memperpanjang usia berbagai produk makanan berarti meningkatkan nilai ekonominya. Diasap, dibakar, dikeringkan, dan teknik pengolahan lain, mengurangi waste/ terbuangnya hasil pertanian, perkebunan, laut maupun peternakan. Ketiga, industri camilan memperbesar kemungkinan digunakannya bahan-bahan yang dalam bentuk tak diolahnya dianggap bukan komoditas jualan utama (cakar ayam, usus, lorjuk, siput laut, wijen hitam, dst.). Keempat, inovasi produk camilan ini mengiringi lajunya pariwisata; bukan hanya lokal, bahkan mancanegara. Para pelancong Malaysia, Singapura dan Brunai, dilaporkan memborong camilan kita dalam jumlah besar saat pulang. Dalam artikel Kompas tadi, toko camilan Sowan, Sunter, dikatakan banyak dikunjungi wisatawan mancanegara untuk memilih dari 237 jenis camilan yang ditawarkan. Kelima, mengingat buying power masyarakat dan perjalanan antar daerah/kota semakin tinggi, kebiasaan oleh-mengolehi ini bisa menyumbang besar terhadap ekonomi daerah. Keenam, lewat multiplier effect, bisnis camilan bisa mendongkrak perputaran ekonomi, misalnya lewat kebutuhan akan kemasan, bahan baku, dsb. Karena kebanyakan adalah bisnis rumahan, daya serap tenaga kerjanya juga berpotensi besar. Kenjeran di Surabaya, beromzet milyaran dari usaha memasok bisnis camilan olahan hasil laut. Aku yakin di daerah pesisir lainpun, Tanjung Pinang, Banjarmasin, kota-kota Pantura, demikian pula halnya.

Tantangan Bisnis Camilan

Di beberapa tulisan aku temui cerita mengenai beberapa produsen camilan yang beromzet di antara 50 juta sampai 500 juta lebih. Tapi mereka ini yang bisnisnya sudah mapan dan maju. Bagaimana dengan yang berukuran kecil? Seperti pengrajin rumahan yang hasilnya diserahkan ke pengumpul? Seperti halnya dalam kerajinan jenis apapun, bahkan seni, seringkali yang menangguk untung paling manis adalah mata rantai paling hujung, yang bersinggungan dengan pembeli, para pemilik outlet (analogi dalam seni, gallery). Pertanyaannya, adakah yang bisa dilakukan untuk memastikan bahwa rupiah yang dibelanjakan pembeli mengucur cukup banyak untuk pengrajin di sisi hulu ? Dan bukan pula hanya untuk mereka yang bermodal kakap?


Rempeyek ini digoreng dalam minyak kelapa
asli, tak berpengawet, buatan sobat
Hindah Jatiningrum

Beberapa pengrajin kulihat mulai memberdayakan diri. Contoh kecil kutemukan minggu lalu di sepanjang Puncak. Aku tertarik pada asap mengepul di beberapa kios dan baskom-baskom berplastik dijejer. Ternyata beberapa pengrajin berinisiatif untuk memutus rantai broker, dan memproduksi camilan sendiri di tempat. Seperti yang kutunjukkan di foto ini, bayam berukuran setelapak tangan dibuat rempeyek, digoreng dalam wadah terbuat dari batu, setinggi pinggang berisi minyak panas. Yang diproduksi mereka tidak hanya terbatas ini, ada juga pisang sale, keripik tempe dsb. 

Kupikir trend seperti ini baik juga didukung. Bukan hanya produk akhirnya, proses pembuatanpun bisa jadi daya tarik tersendiri. Satu episode koki penjelajah kondang, Anthony Bourdain (Program "No Reservation" di Travel Living Channel) menunjukkan kunjungannya ke “pabrik” pembuatan dodol di Garut. Kiat pengrajin seperti ini, bagus juga disemangati, agar tidak tertinggal jauh dengan pemodal besar yang sanggup membuka toko besar dan menampung produk pengrajin.

Para pengrajin ini juga perlu diberi wawasan lebih banyak mengenai proses pengawetan makanan, misalnya tentang bahan pengawet yang aman. Atau teknik pengawetan yang lebih efisien dan efektif. Berbagai institusi bisa menyumbangkan ilmu untuk menyuluh mereka , seperti fakultas teknologi pangan di IPB dan universitas lain. Dari sisi marketingpun bisnis rumahan ini perlu diberdayakan. Selain sistem bermitra dengan korporasi besar, pameran-pameran, bantuan Kementrian Perindustrian dsb, perlu terobosan lebih canggih lagi untuk membuat bisnis camilan lebih marak.


The Morale of the Story ?

Namanya camilan atau makanan kecil, tapi sumbangannya ke kehidupan rakyat tak kecil. Yuuuk, beli camilan lebih sering. Dan jangan dimakan semua.... Mari saling bertukar buah tangan - sambil memelihara tradisi mengoleh-olehi, menyambung silaturahmi.

No comments:

Post a Comment