Tuesday, December 4, 2012

The Windows and Doors of Melaka





TENTANG JENDELA dan PINTU
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Aku benar-benar paham kekaguman para fotografer beken terhadap jendela dan pintu. Semisal, Sorin Onisor (Romania), Ishu Patel (kelahiran India, tokoh film animasi Kanada), Steve Mccurry (Amerika), atau yang hampir beken, Oguzhan Bozkurt (Turki).  Jepretan mereka yang berobyek dua hal ini, jendela dan pintu,  membuatku menghela nafas dalam-dalam. Indah. Coba lihat di tautan ini:  http://121clicks.com/inspirations/25-amazing-examples-of-doors-windows-in-photography. Cantik bukan?

Tapi kekaguman seperti ini perasaan universal,  bukan cuma milik fotografer. Aku misalnya, yang amatir sempurna . Sama juga terpesonanya akan daun-daunan yang bukan bagian dari tanaman ini.

Bagiku jendela dan pintu bagaikan mata di wajah manusia, lubang untuk mengintip jiwa.

♥♥♥

Saat kanak-kanak, aku tak pernah bosan saat diajak pulang kampung ke Surabaya naik kereta api oleh ayah ibuku. Antara magrib dan Isa serta sesaat sesudah fajar adalah waktu kesukaanku. Di jam-jam tersebut rumah-rumah sepanjang rel kereta api sudah menyalakan lampu. Zaman itu tidak semua tempat kebagian listrik (wah, tua sekali aku ya?) - ada yang pakai lampu stromking atau bahkan lampu teplok. Pintu tak jarang dibuka lebar, sehingga bisa tampak aktivitas penghuninya. Berbagai bentuk pintu yang warna-warni juga mampu menahan aku untuk berjam-jam menengok keluar jendela, memperhatikan kehidupan di balik jendela-jendela kecil yang berkelebatan di luar. (Sayang rumah-rumah tak berpagar dengan pintu terbuka tanpa was-was, sudah jarang kulihat. Bahkan di tempat sejauh Aek Nabara, Tanjung Pinang, Pangkalan Kerinci atau Pangkalan Bun tak kudapati..... Makanya aku begitu senang waktu mendapati  deretan rumah dengan pintu ngablak terbuka dengan teve mengaum keras, dan sandal-sandal berserakan di depan pintu di kiri kanan jalan-jalan pulau Belitung, terutama di luar Tanjung Pandan, dan yang mengarah ke Manggar. Horeeeee...)

Kebiasaan naif ini, hal begitu kecil tapi memberikanku begitu banyak kesenangan ini, melongoki dan menikmati jendela, ternyata tidak otomatis sembuh setelah aku masuk ke dunia dewasa.

Berpuluh tahun kemudian, aku dan sahabatku sejak SD, Herda, menitipkan anak kami yang masih kecil-kecil ke suami masing-masing, terbang ke Solo dan bersenang-senang. Sejenak libur dari kegiatan men-juggling momong anak dengan karir.

Kami berburu pernak-pernik di pasar loak, mengicipi kimlo dan tengkleng, ke pasar Klewer, mengagumi lengkungan penyangga atap besi di lorong-lorong daerah Kauman, sangkar-sangkar burung berwarna meriah yang bergelayutan di depan rumah. Tapi terutama, kami termehek-mehek disihir pesona daun jendela dan pintu Solo. Waktu itu kami belum punya kamera. Justru karena itu imaji pintu dan jendela aneka bentuk, rupa dan warna ini membekas kuat di ingatan.

Sihir yang sama menundukkanku saat berjalan ke Malang melalui Porong yang kosong. Rumah-rumah yang ditinggalkan pemiliknya menyisakan pintu dan jendela yang terlihat murung. Pikiranku melayang-layang berimajinasi. Bagaimana ya, jika semua pintu dan jendela ini diangkut oleh penghuninya, bersama-sama dengan perabot, baju, kelambu, tudung saji, basin sayur dan pecah belah lain? Dengan demikian kehidupan di tempat baru tak akan terlalu terasa asing. (Dikepalaku terbayang gembolan berisi daun pintu dan jendela, dipanggul di bahu pakai tongkat. Aneh ya?).

♥♥♥

Ada apa memangnya dengan jendela dan pintu?

Ini yang aku dapatkan dari buku-buku tua panduan renovasi beberapa kota di Amerika dan Inggris:

"The  design,  materials  and  location  of  windows  and  doors significantly  contribute  to  the  architectural  character  of  buildings."

Desain, material dan tempat jendela dan pintu dipasang bermakna secara signifikan terhadap karakter arsitektur bangunan.

Mungkin karena itu aku tidak memperoleh keasyikan yang sama dalam mengamati pintu-pintu rumah-rumah baru, apalagi rumah baru yang mewah.  Uang bisa membeli keindahan yang megah tapi tidak keotentikan dan sejarah.  Sang waktu (dan hati) memang berperan besar untuk "mengolah" jendela dan pintu menjadi berkarakter.

♥♥♥


Tentu saja di kota seperti Melaka aku seperti menemukan surgaku. Kota itu merawat dan menjaga bangunan-bangunan tuanya. Karena perjalanannya adalah catatan leburan berbagai budaya dan pengaruh, maka jendela serta pintu Melaka merefleksikan ceritanya. Jendela dan pintu Melaka seperti ledakan warna yang kulihat saat mengintip lewat teropong kaleidoskop zaman kanak-kanakku.  Menakjubkan.

Kecuali satu pintu yang tidak jadi kupotret (keburu dibantingi pintu oleh pemiliknya, suatu salon kecantikan di lorong kecil sekitar Jonker Street yang kelihatannya datang langsung dari dunia tahun 70-an. Pada jendela masih tertulis jasa mengeriting rambut ! Mereka memang tidak suka hanya diambil fotonya, sementara jasanya tidak pernah dipakai), aku berusaha merekam sebanyak-banyaknya keindahan Melaka lewat parade jendela dan pintu yang aku hadirkan di sekujur tubuh tulisan ini.


Jakata, 4 Desember 2012

♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥




Rumah Demang Abdul Gani, dari daerah Merlimau (23 km dari kota Melaka) yang dibangun tahun 1831 oleh ayahnya Penghulu Mat Natar.*  Leluhur mereka berasal dari Palembang. Mungkin itu menjelaskan bentuk bubungan atap di atas teras yang disebut "Balai Pengharapan" (seperti ruang tunggu rakyat sebelum beraudiensi dengan pemimpin mereka), yang berbentuk perahu terbalik. Rumah ini terekspos ke berbagai pengaruh budaya. Bagian dapur terpisah, dan memiliki jenis tungku yang disebut dutch oven, clearly ini adalah pengaruh belanda. Tegel keramik bercorak di tangga batu depan menunjukkan pengaruh Tiongkok.

*catatan: dari beberapa referensi seperti  "Sejarah Singkat Nanaing" oleh Professor Abdul Zakaria bin Ghozali, dikatakan bahwa asisten residen konsuler Melaka tahun 1837 mengepalai beberapa Pegawai Daerah Pertama (District First Officer ). Dibawahnya ada lima orang demang. Menganalogikannya dengan sistem SDM di Pemerintah Kolonial Belanda (karena walau berbeda penjajah, tetapi hanya dipisah selat,  budayanya serumpun, dan sama2 mempunyai istilah "demang"), aku semakin  yakin bahwa demang = wedana.

Dinding belang separo kuning separo merah itu adalah sisi kanan dari satu toko berjudul  "Orang Utan". Tadinya aku kira ini yayasan nirlaba, karena judulnya binatang yang dilindungi ini. Lagipula  berjualan T shirt berdisain khusus dengan kata-kata yang lucu mengena (seperti Joger itu lho). Ternyata T shirt hanya spin off dari obyek utamanya yaitu lukisan. Seniman dibalik ini adalah Charles Cham, yang menggabungkan lukisan dengan gambar dan tulisan. Ia cukup terkenal ternyata secara Internasional. (Aku menginap di guest house di sebelahnya, tapi tak sempat mengunjungi gallery ini. Sayang). Papan berwarna coklat di bawah jeruji besi bertuliskan: Jalan Tukang Besi. Dulu disini banyak terdapat pandai besi. Tahun 2007, satu di antara dua pandai besi tersisa meninggal - kemungkinan karena uap tungku yang terhirup hari-hari.  Sekarang hanya tinggal satu pandai besi di sini, persis di depan guest houseku tadi. Nanti aku ceritakan khusus tentang The Last Blacksmith Standing ini.

Keluar dari makan pagi di suatu restoran sederhana mama' - atau India Selatan- (roti prata tambah  doosa -sejenis crepe- dengan berbagai chutney plus kari dan teh tarik hanya seharga 2 ringgit beberapa sen alias tujuh ribuan perak saja!), aku menemui diri di dunia zaman lima  puluhan. Ruko di sebelah resto pilihanku tadi, berdisain jadul. Ditambah sepeda dengan keranjang depan, tiga bapak-bapak  India, yang satu bersarung, lampu neon, jeruji pinu besi............. lengkaplah setting yang  mentransportasiku  ke dunia sepia. Syukur aku sempat "membekukan" momen ini....
Pertokoan bergaya  seperti ini banyak terdapat di Melaka, Penang, Singapura, Medan, dan kota-kota lain di kedua pinggir selat Melaka. Karena mengkombinasikan berbagai kultur mereka disebut bergaya peranakan atau Nyonya. Arsitektur dasarnya Inggris (Victorian) dengan pengaruh Portugis. Nuansa Cina banyak pada ornamen, lengkungan atap, paduan warna meriah dsb. Di Melaka ada daerah2 yang dinyatakan sebagai national heritage sehingga tidak bisa dirubuhkan diganti yang baru.


Di bagian dalam Gerja Christ Church yang sudah berusia lebih dari 250 tahun. Dibangun oleh Belanda, tadinya dicat putih. Tapi kemudian dicat merah pada masa Inggris tahun 1910 an.Aku punya cerita cantik di sini. Kursi jemaat di sini cantik luar biasa. Tapi karena aku tidak boleh memoto, maka aku berusaha membuat sketsnya. Rupanya sang penjaga, yang sebenarnya kerja volunteer, kasihan padaku. Karena tidak banyak pengunjung, aku diizinkan untuk mengambil foto. Horeee..... Alhamdulillah...

No comments:

Post a Comment