TENTANG JENDELA dan PINTU
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Aku benar-benar paham kekaguman para fotografer beken terhadap jendela dan pintu. Semisal, Sorin Onisor (Romania), Ishu Patel (kelahiran India, tokoh film animasi Kanada), Steve Mccurry (Amerika), atau yang hampir beken, Oguzhan Bozkurt (Turki). Jepretan mereka yang berobyek dua hal ini, jendela dan pintu, membuatku menghela nafas dalam-dalam. Indah. Coba lihat di tautan ini: http://121clicks.com/inspirations/25-amazing-examples-of-doors-windows-in-photography. Cantik bukan?
Tapi kekaguman seperti ini perasaan universal, bukan cuma milik fotografer. Aku misalnya, yang amatir sempurna . Sama juga terpesonanya akan daun-daunan yang bukan bagian dari tanaman ini.
Bagiku jendela dan pintu bagaikan mata di wajah manusia, lubang untuk mengintip jiwa.
♥♥♥
Saat kanak-kanak, aku tak pernah bosan saat diajak pulang kampung ke Surabaya naik kereta api oleh ayah ibuku. Antara magrib dan Isa serta sesaat sesudah fajar adalah waktu kesukaanku. Di jam-jam tersebut rumah-rumah sepanjang rel kereta api sudah menyalakan lampu. Zaman itu tidak semua tempat kebagian listrik (wah, tua sekali aku ya?) - ada yang pakai lampu stromking atau bahkan lampu teplok. Pintu tak jarang dibuka lebar, sehingga bisa tampak aktivitas penghuninya. Berbagai bentuk pintu yang warna-warni juga mampu menahan aku untuk berjam-jam menengok keluar jendela, memperhatikan kehidupan di balik jendela-jendela kecil yang berkelebatan di luar. (Sayang rumah-rumah tak berpagar dengan pintu terbuka tanpa was-was, sudah jarang kulihat. Bahkan di tempat sejauh Aek Nabara, Tanjung Pinang, Pangkalan Kerinci atau Pangkalan Bun tak kudapati..... Makanya aku begitu senang waktu mendapati deretan rumah dengan pintu ngablak terbuka dengan teve mengaum keras, dan sandal-sandal berserakan di depan pintu di kiri kanan jalan-jalan pulau Belitung, terutama di luar Tanjung Pandan, dan yang mengarah ke Manggar. Horeeeee...)
Kebiasaan naif ini, hal begitu kecil tapi memberikanku begitu banyak kesenangan ini, melongoki dan menikmati jendela, ternyata tidak otomatis sembuh setelah aku masuk ke dunia dewasa.
Berpuluh tahun kemudian, aku dan sahabatku sejak SD, Herda, menitipkan anak kami yang masih kecil-kecil ke suami masing-masing, terbang ke Solo dan bersenang-senang. Sejenak libur dari kegiatan men-juggling momong anak dengan karir.
Kami berburu pernak-pernik di pasar loak, mengicipi kimlo dan tengkleng, ke pasar Klewer, mengagumi lengkungan penyangga atap besi di lorong-lorong daerah Kauman, sangkar-sangkar burung berwarna meriah yang bergelayutan di depan rumah. Tapi terutama, kami termehek-mehek disihir pesona daun jendela dan pintu Solo. Waktu itu kami belum punya kamera. Justru karena itu imaji pintu dan jendela aneka bentuk, rupa dan warna ini membekas kuat di ingatan.
Sihir yang sama menundukkanku saat berjalan ke Malang melalui Porong yang kosong. Rumah-rumah yang ditinggalkan pemiliknya menyisakan pintu dan jendela yang terlihat murung. Pikiranku melayang-layang berimajinasi. Bagaimana ya, jika semua pintu dan jendela ini diangkut oleh penghuninya, bersama-sama dengan perabot, baju, kelambu, tudung saji, basin sayur dan pecah belah lain? Dengan demikian kehidupan di tempat baru tak akan terlalu terasa asing. (Dikepalaku terbayang gembolan berisi daun pintu dan jendela, dipanggul di bahu pakai tongkat. Aneh ya?).
♥♥♥
Ada apa memangnya dengan jendela dan pintu?
Ini yang aku dapatkan dari buku-buku tua panduan renovasi beberapa kota di Amerika dan Inggris:
"The design, materials and location of windows and doors significantly contribute to the architectural character of buildings."
Desain, material dan tempat jendela dan pintu dipasang bermakna secara signifikan terhadap karakter arsitektur bangunan.
Mungkin karena itu aku tidak memperoleh keasyikan yang sama dalam mengamati pintu-pintu rumah-rumah baru, apalagi rumah baru yang mewah. Uang bisa membeli keindahan yang megah tapi tidak keotentikan dan sejarah. Sang waktu (dan hati) memang berperan besar untuk "mengolah" jendela dan pintu menjadi berkarakter.
♥♥♥
Tentu saja di kota seperti Melaka aku seperti menemukan surgaku. Kota itu merawat dan menjaga bangunan-bangunan tuanya. Karena perjalanannya adalah catatan leburan berbagai budaya dan pengaruh, maka jendela serta pintu Melaka merefleksikan ceritanya. Jendela dan pintu Melaka seperti ledakan warna yang kulihat saat mengintip lewat teropong kaleidoskop zaman kanak-kanakku. Menakjubkan.
Kecuali satu pintu yang tidak jadi kupotret (keburu dibantingi pintu oleh pemiliknya, suatu salon kecantikan di lorong kecil sekitar Jonker Street yang kelihatannya datang langsung dari dunia tahun 70-an. Pada jendela masih tertulis jasa mengeriting rambut ! Mereka memang tidak suka hanya diambil fotonya, sementara jasanya tidak pernah dipakai), aku berusaha merekam sebanyak-banyaknya keindahan Melaka lewat parade jendela dan pintu yang aku hadirkan di sekujur tubuh tulisan ini.
Jakata, 4 Desember 2012
♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥ ♥♥♥
No comments:
Post a Comment