Friday, May 31, 2013

MONGGO, SILAKAN DIKUPAS


Hujan mulai turun di mana-mana. Dan banjir mengikutinya. Namun bukan banjir yang menakutkan - ini malah menggembirakan, karena yang sedang meluap-luap adalah mangga. 

Yang lebih menyenangkan lagi dari panen kali ini adalah bahwa teknologi sudah cukup maju untuk memungkinkan petani mangga menjual mangga yang masak pohon (bukan peraman) dengan harga terjangkau.

Tertarik oleh kualitas mangga yang prima, dan harga yang meluncur terus, buah mangga hadir terus di meja makanku.

(Btw., suatu ketika di salah satu bb groupku ada teman yang melontarkan cerita bahwa di Probolinggo, jika mangga terlalu berlimpah ruah, sapi-sapi pun diberi makan mangga. Satu teman lain bertanya dengan polosnya "apa harus dikupas dan dipotong-potong dulu ya?". Aku sampai sakit perut karena geli membayangkan seluruh kampung sibuk memotongi mangga buat sapi piaraan masing2....hihihi.... Untung tidak dijus sekalian.)

@@@@@

Buah sekeren ini perlu dinikmati dengan sepenuh hati, kurasa. Maka ritual mengupas mangga ini kulakukan dengan mindful, dengan perhatian.

Aku sering mengupas mangga dengan cara yang dipelajari ibuku saat berkunjung ke Mesir berpuluh tahun silam. Mereka - kata ibuku- mengupas mangga dengan menorehkan pisau di seputar "pinggang" mangga, lalu me'miting' kedua belah atas dan bawah dengan arah yang berlawanan. Kedua bagian akan berpisah (lihat gambar) dengan pelok alias bji mangga menempel di satu bagiannya. Daging mangga kemudian dinikmati dengan cara disendoki sesuap-sesuap. Bukan hanya daging buahnya, juicenya pun deras bisa kita hirup.

Cara lain yang diturunkan dari ibu adalah dengan mengiris kedua belah "pipi" mangga (bagian paling berdaging). Lalu daging buah yang masih melekat pada kulit, digurat-gurat dengan pisau tajam membentuk kotak-kotak. Ketika bagian bawah yang berkulit kita dorong ke atas, potongan ini akan merekah membentuk potongan2 kubik daging mangga yang masih tertempel pada kulitnya (lihat gambar). "Teknik ini dari mana asalnya, mam?" kutanya ibuku. Menurut beliau, ini teknik rumahan, telah dikenalnya sepanjang masa kanak2nya di kota2 di Jawa. Di internet, walaupun gambar yang menunjukkan teknik ini banyak ditemui, tak dapat kutelusuri dari mana muasalnya.

Aku sering juga mengupas kulitnya secara sederhana, lalu memotong-motongnya berbentuk kotak2, atau dengan potongan ala tukang rujak buah. Namun jika sedang iseng aku kadang membiarkan kulit terkupas panjang dan tergantung di pangkal buah, sehingga menyerupai gurita (lihat gambar).

Temanku Christine dari Australia menunjukkan aku cara mengupas yang aneh lagi. Ia akan membentuk juring berselang seling pada buah mangga secara memanjang tanpa dikupas (please lihat gambar kiri tengah). Seksi ini dinikmatinya terlebih dahulu dengan langsung mengerokotinya dan meninggalkan kulit. Baru setelah bagian ini habis, juring yang melekat pada biji mangga ditariknya dengan mudah. Lalu daging mangga dimakannya langsung dari kulit yang masih melekat.

Jika bosan dimakan begitu saja, mangga kupotong kotak-kotak kecil, kutambahi perasan jeruk lemon, kucampur dengan dua buah markisa (isinya saja tentunya), sesendok madu dan beberapa lembar daun mint. Didiamkan dulu di kulkas paling tidak sejam, sehingga aroma markisa, lemon, madu dan mint sudah menyatu dengan mangga. Nyam.

Monggo, dinikmati mangganya....

P/S: Dina, ding, terimakasih ya difotoin... 

No comments:

Post a Comment