Friday, May 31, 2013

Rumah Warisan Masa Lalu di Suryakencana



Sejak mahasiswi aku terpesona melihat satu rumah bergaya kolonial Belanda, campuran gaya eropa dan tropis, di satu jalan perdagangan utama, Bogor, yang di zaman Belanda disebut Handelstraat. Bersama sobatku saat kuliah itu, Dita - yang kebetulan putri alm. wartawati/penulis terkemuka - kami memutar akal, bagaimana caranya memperoleh kartu wartawan, agar diperbolehkan masuk. Tentu saja angan2 itu tidak terwujud. Bertahun2 kemudian kesempatan masuk tak kunjung datang. Sekarang bahkan bangunan tak ditempati lagi. Pupuslah harapan bisa melihat bagian dalamnya.

@@@

Beberapa tahun ini setiap pulang aku menyempatkan diri mem"bezoek"nya. Kuatir betul aku kalau suatu saat diruntuhkan. Yang aku tak sadari adalah bahwa bangunan ini sudah aman, sudah diberi status BCB alias Bangunan Cagar Budaya. Jika aku buta akan informasi tentangnya dapat dimaklumi. Sepanjang Handelstraat atau sekarang disebut jalan Suryakencana ini, tak satupun warga, dari berbagai jenjang usia, yang dapat memberi informasi mengenai rumah ini.

Untunglah ternyata di tahun ini aku beruntung menemukan beberapa tulisan tentangnya di internet. Yang paling lengkap berupa paper bermuatkan penelitian dari mahasiswi IPB (saat penulisan) bernama Karista Paramita. Ajaibnya, cucu dari pemilik rumah ini, yang menyebut diri dan disapa dengan Mario, memiliki blog serta aktif berinteraksi dengan para pecinta bangaunan tua di berbagai situs. Dari tulisan Mario-lah aku menjadi tahu keberadaan peneliti bernama Setiadi Soepandi yang berfokus pada jalan ini. Tulisannya mengenai jalan Suryakencana diterbitkan di Kompas pada 16 Maret 2003. Dari sinilah aku jadi lebih banyak tahu tentang bangunan2 tua di jalan ini dan bahwa beberapa di antaranya telah menyandang status BCB.


@@@

Dikatakan bahwa di zaman VOC dan Hindia Belanda, pemukiman ditata dan disegregasi berdasarkan warna kulit. Bagitu juga di kota Bogor. Bangsa Eropa diberi hak untuk berdiam di kawasan yang terbentang dari Istana, seputar Kebun Raya sampai sekitar Paledang. Kaum Arab di daerah Empang, serta warga keturunan Tionghoa sepanjang jalan Suryakencana. Daerah ini diperuntukkan bagi para pedagang yang cukup status sosialnya. Kaum pedagang Tionghoa yang lebih rendah strata sosialnya, berumah sepanjang jalan Roda, sejajar Suryakencana, tapi terletak di belakangnya.

Titik nol jalan Suryakencana atau pemilik nomor urut satu di jajaran itu adalah klenteng berusia lebih dari 300 tahun, Hok Tek Bio jika menuruti informasi dari pengurus harian klenteng, Koh A Jung. Beliaulah yang mengatakan konon Hok Tek Bio didirikan sekitar tahun 1672 oleh komunitas pedagang Tionghoa pertama yang sampai di Bogor dengan melayari sungai Ciliwung serta kali-kali yang meneruskannya ke pedalaman. Karena itu aku 'mencurigai' bahwa pasar Bogor persis di samping klenteng ini juga berusia sama.

Penelitian lain oleh Setiadi Soepandi sang arsitek yang kusebutkan di atas menunjukkan bahwa klenteng dibangun tahun 1867 serta Pasar Bogor tahun 1872. Jika perkiraan ini benar, maka usia klenteng dan pasar tak sampai 200 tahun.

Setelah bangunan pasar, bangunan2 ruko di zaman itu didirikan membentang ke arah Selatan. Jika di awal jalan ruko2 berbentuk tradsional dengan atap agak melengkung seperti khasnya bangunan tiongkok dan rapat bertumpuk, maka semakin ke Selatan rumah semakin mewah, karena status sosial pemilik semakin tinggi. Arsitekturnya pun berubah, lebih banyak hawa eropanya. Design seperti ini pada eranya sering disebut gaya Indiische. Ukurannya pun mekar, lebih besar, tak jarang dengan halaman luas di depannya.

Rumah indah yang kuceritakan di atas terletak di belahan Selatan, milik keluarga terkemuka Tan. Di zaman penjajahan setiap golongan etnis dikepalai oleh 'kapiten' yang ditunjuk Belanda. Nah, selama beratus tahun, berkali-kali Kapiten yang mengepalai warga tionghoa di Bogor berasal dari keluarga Tan ini. (Dalam penelitian Karista bahkan ditunjukkan dokumen yang mencatat daftar kapiten tionghoa Bogor). 


@@@

Aku lega sekali mendapatkan cerita dibalik bangunan yang menyihirku berdekade-dekade ini. Masih terawat rapi, kecuali hilangnya emblem berbentuk perisai dan pedang dari metal yang tadinya menempel di salah satu dinding (atau pintu?). Aku tak terlalu ingat lagi, tapi bentuk ornamen tersebut masih jelas tercantum dalam ingatan.

@@@

Di jalan ini masih ada lebih dari beberapa lusin bangunan uzur yang beruntung luput dari renovasi dan penghancuran. Aku mengkhayalkan jalan Suryakencana (dan jalan bersejarah lain di berbagai kota di Indonesia) yang diberi status warisan budaya. Aku memimpikan bangunan-bangunan di jalan ini yang mendapat kesempatan untuk dipugar, dipelihara dan akhirnya bisa menjadi saksi sejarah buat anak keturunan kita.

Mudah-mudahan obsesi terhadap segala sesuatu yang modern, baru, minimalis, ultramodern, maju, barat dst, tidak membuat bangunan2 warisan ini dirontokkan. Dan lantas kepingan tegel, jendela, kusen dst, dpreteli lalu dijual di situs-situs yang menawarkan barang jadoel.

1 comment:

  1. wah ada juga yg merhatiin :D
    bentar mbak :
    1. rumah ini ga pernah ga ditinggalin,jadi selalu ada penghuninya :D
    2. rumah ini bukan termasuk BCB
    3. penelitian Krista ada yg salah karna maen comot saja dari blog saya :D, tp sudah diperbaiki yg di blog saya sih
    4. perisai itu tadinya nempel di pintu kayu, karena kayunya sudah lapuk maka diganti pintu besi dan perisai itu sendiri masih disimpan

    makasih perhatiannya :D

    ReplyDelete