Foto diatas (yang agak kabur karena kuambil sekenanya saat mobil berjalan) di atas, menunjukkan sentra penjualan nangka di depan Taman Pahlawan Bogor. Kupikir para pedagang es campur, es teler, cendol, pada berbondong-bondong kesini untuk memperoleh bahan "racikan"nya yg cukup vital ini: nangka. Lebih dari selusin lapak menjual buah ini dengan kualitas prima. Di situs resmi kota Bogor, bahkan sentra di jalan Pahlawan ini dijadikan tujuan wisata. Maklum, mencari nangka masih dalam gelondongannya bukannya mudah. Melihat gundukan nangka, aku jadi teringat masa kecillku.
~~~
Di tempat aku besar, di kota2 kecil daerah minyak di Riau (Rumbai, Duri, Dumai dst), nangka seperti tanaman wajib. Hampir semua warga punya pohon nangka di halamannya, terutama bagian belakang. Nangka adalah pohon buah yang prolific, rajin berbuah. Seingatku, tak ada musimnya, selalu saja ada yang yang harus disarungi karena sudah hampir matang.
Namun bagi kami anak-anak daerah tersebut, bukan buah nangka ranum gemuk menggemaskan itu yang kami incar. Tapi bayi buahnya sebesar-besar jempol. (Sebenarnya menurut literatur iini adalah bonggol bunga jantan. Namun untuk keperluan tulisan selanjutnya kusebut buah dan bayi buah secara berganti-ganti demi kepraktisan menulis dan membacanya.) Teksturnya padat, renyah, dan diselimuti oleh serbuk kuning yang kubayangkan berfungsi dalam perkawinan, menjadi buah, jika tidak terlanjur sudah dimangsa kami, anak-anak bandel pemakan bayi nangka ini.
Diapakan? Diuleg seperti rujak bebek, dicampur dengan cabe, garam, terasi dan gula. Atau dimakan dengan garam begitu saja. Enakkah? Hmmm..... setelah kucoba lagi saat berkunjung ke Pekanbaru tahun lalu, alah mak jan (itu seruan ala kami, anak2 Rumbai/Duri/Dumai), perlu bergelas-gelas air untuk mendorong seretnya cimbabal ini menembus kerongkongan. Sepet.
Cimbabal? Ya begitulah si bayi-bayi lucu ini disebut. Aku barusan meng-google image dengan kata cimbabal dan hanya ada satu site yang menampilkan gambar ini. Dan surprise, surprise.. (atau malah dapat ditebak ya?), situs yang menampilkan cimbabal ini adalah adik kelas seperguruan, sekolah Cendana (dapat dilihat di situs inihttp://
Hasil searching di 'wilayah' google image dengan menggunakan kata kunci cembabal, cibabal atau babal dan buah babal, menghasilkan banyak situs. Wawasanku tentang cimbabal terkuak lebih jauh.... Ternyata di Jawa namanya pun babal, dan dirujak pula. Hanya bedanya dicampur dengan pace dan daun pepaya mudah. Yummy (atau nggak ya? Kan pahit semua?). Penulusuran lebih lanjut belum mencerahkanku tentang asal muasal kata babal ini. Jauh dari nama latinnya Artocarpus heterophyllus. Dari mana datangnya kata babal ya? Kugoogle untuk mencari tercetusnya nama 'babal', yang keluar "bebal". Wah, yang itu sih aku tahu, karena dalam kadar tertentu aku mengidap "penyakit" ini, bebal. Hehehe....
Kembali ke laptop... eh.. ke buah cimbabal.
Buah gratisan (kadang nyolong pulak) ini begitu berkesannya di hati kami semua, sehingga ada group reuni sekolah di daerah perminyakan Caltex tersebut (sekarang Chevron), Duri, yang menamakan diri group Cimbabal. Para anggotanya disebut, yang tersebar di seluruh dunia, menyebut dirinya cimbabalers. Kalau kita google, terdapatlah berita-berita ajaib seperti: "Mr. Cimbabal acceptance ceremony. California, USA.Merry Christmas, You are now officially a Cimbabalers also !!" (Hello Oscar Matulessya !!. Sorry, sambil numpang menyapa adik kelas).
~~~
Kenapa ya cimbabal kok begitu mengesankannya? Bahkan seolah menjadi salah satu hal penciri identitas kami, anak-anak hutan Riau ini?
Hasil sok analitikal-ku begini:
1. Di kompleks perumahan saat itu hampir bisa dikatakan tidak ada yang menjual jajanan (kecuali di sekolah, dengan pilihan amat terbatas) . Dengan kesibukan bersekolah, beraktifitas ekstra-kurikuler dll. kami jarang meninggalkan kompleks untuk pergi ke daerah non-kompleks seperti kota Pekanbaru, dimana banyak dijual jajanan (dari Rumbai masih 7.5 km. Dulu itu jauuuh rasanya). Karenanya si bayi-bayi cimbabal inilah penawar hati kami, bersama dengan macam2 buah liar seperti seletup, cemplokan, suren (Waktu kutanya, apa itu suren, dijawab temanku Herda Jt Peleh, saat kami SMA: "Oh, itu seperti duren, cuman pakai es... Aduhh...).
2. Kami, anak-anak pegawai perusahaan minyak tsb., lumayan heterogen. Hampir seluruhnya adalah pendatang generasi pertama (setelah kemerdekaan) yang berasal dari segala penjuru Indonesia. Keterikatan kami pada tanah yang kami injak tidak mengurat akar pada generasi-generasi sebelumnya. Aku bahkan baru pindah ke kawasan itu saat usia sembilan tahunan. Banyak di antara pegawai-pegawai ini, bapak2 kami, yang diputar tugasnya di antara ketiga distrik, Duri, Dumai, Rumbai. Perasaan kohesif menyatu dengan lingkungan, komunitas, tak pernah seratus persen utuh. (Anehnya justru semakin tua dan meninggalkan Riau, kami semakin akrab sekali. Ratusan teman masa kecil masih saling terikat lewat berbagai wahana sosial, ya arisan, bb group, reunian, facebook dst. Aku cerita tentang ini di lain kesempatan saja ya? Another story).
Tapi namanya juga anak rantau, pasti kreatif kan. Maka kami, anak-anak pegawai generasi pertama Caltex inilah yang menciptakan kultur Dumai/Duri/Rumbai. Latar belakang dan pengalaman bertumbuh yang sama menciptakan kedekatan dan kesamaan. Kuperhatikan, atribut apapun yang bisa merekatkan, kami gunakan untuk menguatkan identitas. Bahkan ada kosakata yang khas kami, jarang kudengar ada di daerah lain (mungkin di Sumbar ada ya, karena mayoritas pendatang dari tanah Minang) : mada untuk "gila" (dalam konteks "gile lo"), cengkelet untuk curang, rol untuk penggaris/mistar, pelipus untuk penghapus, cido/ibil untuk kecewa, setatak untuk permainan engklek (hasil konsultasi kepada teman SMA, Ellen Lawalata, "pakar" bahasa aneh ini. Aku banyak lupa).
Dan kata Cimbabal adalah satu atribut utama yang amat digadang-gadang, karena terasa amat khas kami. (Makanya hanya ada beberapa situs di internet yang mengemukakan kata cimbabal - kurang dari sepuluh. Semua berhubungan dengan kota minyak Duri. )
3. Hasil analisa sok-sokanku yang ketiga adalah: cimbabal sebenarnya berfungsi sebagai simbol atau memory trigger (kata ahli psikologi) akan masa kecil yang cukup unik dan membahagiakan. Buah ini berasosiasi dengan rasa girang karena berhasil kabur dari kewajiban tidur siang, dan nangkring di atas pohon nangka. Atau excitement mengumpulkan cukup banyak cimbabal sehingga bisa bikin rujak beramai2 dengan teman - yah, semacam Cimbabal party gitu deh. Atau kesenangan memanjat pohon nangka, berburu buahnya yang masih kecil.
~~~
Tak terbayangkan waktu dulu mengunyah-ngunyah rujak cimbabal keseretan dan kepedasan, bahwa benda begitu terlihat kecil, ada dimana-mana dan tak perlu beli ini ternyata membawa banyak kenangan indah saat tua. Kalau aku balik ke Sentra Nangka depan Taman Pahlawan Bogor minta tolong kepada para juragan nangka untuk mencarikan cimbabal, aku bisa membayangkan kening mereka akan berkerut: "Hah? menyetop membesarnya cikal bakal buah nangka suegerrr wangi menyala oranye itu sebelum waktunya? Ndak lah yaow.... Maap Tante"...
Cimbabal oh cimbabal.....
P/S: Foto yang kabur di gambar sebelah kanan, tentang sentra nangka, milikku sendiri. Maklum amatir. Foto sebelah kiri, cimbabal, yang diambil apik, kupinjam dari blog adik se"tanah air": Wien Wardana (aku belum kenal sebelumnya, hanya tahu lewat blognya saja berjudul: "Growing Tree").
No comments:
Post a Comment