Saya kehilangan laptop.
Untuk menggambarkan keseriusan dari keadaan ini, izinkan saya menjelaskan isi laptop tersebut. Semua pekerjaan saya dari tahun 2005 s.d. saat ini terkumpul di dalam tebaran ribuan file-file di dalamnya. Sebagaimana jutaan knowledge worker lainnya, sudah barang tentu output dari kiprah kita di dunia kerja berbentuk soft copies. Dengan kata lain, saya kehilangan output aktivitas saya selama lima tahun terakhir.
Kok bisa ? Komentar ini yang saya terima dari orang-orang terdekat saya. Saya mendeteksi ada rasa kasihan di dalamnya, berusaha bersimpati, dst. Namun saya merasa the underlying feeling pasti rasa jengkel. Kok seorang dewasa (well, lebih dari dewasa. Lebih tepat disebut berumur), sehat rohani dan pikiran ( ini pasti) dan sehat raga (hmmm.... debatable...), tidak bodoh-bodoh amat, bisa-bisanya meninggalkan barang "jimat"nya di lalu lalang keramaian publik di mall ? Lagipula yang ditinggal bukan berukuran kecil. Laptop disimpan dalam koper geret beroda "fourwheel" berukuran 50 xx 45 x 25 cm. (Yes, I love you too, pembaca. Tapi tidak sampai begitu cinta "head over heels" sampai harus mengeluarkan meteran dan mengukurnya dengan rinci. Ini hanya ukuran taksiran).
Saya punya berbagai kilah : kelelahan, banyak pikiran, dikejar deadline, tidak fokus, dst. Yang paling benar adalah faktor U. Akhirnya saya mendapatkan sekelumit pengalaman bagaimana penderitaan teman-teman yang didera gejala Alzheimer. Selama beberapa jam yang berlalu di antara saat saya tertinggal koper (di Pondok Indah Mall) sampai saya turun di bilangan Mampang tempat saya tinggal, sistem sensori saya tidak sekalipun mengirimkan warning ke otak bahwa ada yang tidak beres. Kotak hitam segi empat beroda berisi laptop itu seolah-olah hilang dari dunia Yana. Padahal Yana dan laptop bisa dikatakan tak terpisahkan.
Saya tidak akan membuat bosan pembaca dengan menceritakan detil kehilangan tersebut . Well, fast forward boleh deh.....(Babak 1 :Yana kerja di PIM bersama partner bisnis saya Eliseo dan seorang dari team kami, Michael, makan, pergi ke Gramedia, beli buku, mampir ke Food Mart, panggil taksi dan pulang. Babak 2 :Yana sampai , dan ditanya orang rumah : mana koper geretnya?. Babak 3 : Yana balik ke PIM 1, pergi ke Foodmart dan disodori satu tas geret besar asing beserta seplastik belanjaan Ace Hardware. Satpamnya yakin sekali saya yang punya, walaupun saya menyangkal. Dua tiga detik saya tergoda untuk mengiyakan. Kelihatannya yang ini lebih menarik dari koper laptop usang saya. Hmmm..... Babak 4 dimana tirai ditutup dan penonton bisa pulang dengan bahagia : Yana masuk Gramedia, disambut satpam yang tanpa banyak kerumitan menunjukkan harta karun saya disimpan. Prosedur pengambilan minimal, pelayanan istimewa, cara mengkonfirmasi bahwa saya pemilik juga halus sekali. Pendek kata, happy ending.)
Sekarang saya sedang mengetik di atas laptop tua usang saya itu. Ajaib. Ada perasaan baru menyelimuti saya. Walaupun kadar cinta tetap sama, namun saya tidak merasa terlalu "attached" lagi ke benda ini.
Kalau percakapan saya dengan laptop direkam bunyinya seperti ini :
Yana :"saya cinta padamu"
Laptop :"saya juga"
Yana :"tapi saya sanggup hidup tanpamu"
Laptop:"lho kok? Berarti kau tidak mencintaiku lagi. Hatimu berpaling"
Yana: "bukan. Hanya saja saya sadar bahwa kalau kami tidak ada, duniaku tidak runtuh"
Laptop: "apakah artinya saya sudah boleh pensiun?"
dst. dst.
Beberapa jam kehilangan barang andalan ini menyadarkan saya akan beberapa hal:
Kehilangan akan menunda perjalanan sejenak, but life goes on: Saya tiba-tiba sadar bahwa kehilangan itu adalah kejadian paling alamiah dalam hidup kita. Saat ini, saat saya mengetik, saya sedang kehilangan beberapa hal : waktu, usia, sel tubuh dst.Sahabat saya teriak di telpon saat seya cerita tentang kehilangan laptop: "Yana, ini benar-benar musibah. Separo dari"otak" perusahaan ada di dalamnya".
Hari ini saya baca Ayu Azhari melaporkan anaknya yang dituduh mencuri USD 50.000.- darinya. Ayu pasti merasa kehilangan, dan bahwa anaknya somehow terlibat menghilangkan uangnya, mungkin dianggap Ayu sebagai musibah besar.
Tapi jika letakkan dalam perspektif yang tepat, kehilangan laptop, bahkan kehilangan yang dialami Ayu tidak ada apa-apanya. Dalam skala tidak terbayangkan. Mentawai, Padang, Yogya, Wasior, menderita kehilangan luar biasa. Dan mereka yang berduka berupaya untuk bangkit lagi dan melanjutkan hidup sekuat tenaga.
Andaikan laptop saya benar-benar hilang, memang dunia saya jungkir balik sejenak.. Namun hal ini tidak akan menyurutkan langkah saya untuk "jalan" terus.
Tidak ada barang yang begitu indespensable / tidak tergantikan :
Beberapa tahun lalu aku pernah membaca artikel tentang seorang inovator yang kehilangan bukunya. Ia menghabiskan begitu banyak waktu untuk mencari buku catatan kesayangannya itu. Baginya, sebagai inovator, kehilangan catatan pikiran dan ide adalah musibah besar. Semua buah pikirannya telah dituangkannya walaupun masih dalam bentuk kasar dalam berbagai disain awal dan konsep.
Suatu hari buku itu kembali. Seorang pelayan kafe yang mendengar dari pelanggan lain tentang buku yang hilang ini segera menghubunginya. Dengan kegirangan dibukanya lembar demi lembar untuk memeriksa catatan-catatannya.
Oh my God, pikirnya, ternyata apa yang selama ini dipikirnya penemuan (invention) sensasional, ternyata tak lebih dari coretan-coretan mentah yang naif. Ada satu dua ide yang pantas dikembangkan. Tapi tidak perlu dibaca dari catatan, karena telah terpatri cukup sempurna dalam pikirannya.
Cerita di atas menginspirasiku. Karena itu jam-jam kehilangan saya isi dengan menginventori hal-hal yang sifatnya meminimalkan kerugian. Isi pikiran saya saat itu seperti ini : 1) bagaimana dengan file di dalamnya? Alhamdulillah sampai bulan Juni 2010 sudah diback up. 2) Bagaimana dengan file dari bulan Juli sampai sekarang? Yang penting pasti ada disangkutkan dalam korespondensi via internet. 3) Waduh, saya bisa susah nih, semua hal yang current dan paling up-to-date ada dalam file yang belum di back up. Well, kalau sebegitu pentingnya, how come saya tidak sempat memback-upnya? Jika sebegitu penting,bagaimanamungkin saya tidak membuka file-file tersebut selama beberapa bulan? 4) bagaimana dengan beberapa artikel yang baru ditulis, awal dari beberapa paper dst? well, saya selalu bisa menulisnya ulang dari mula. Kali ini bahkan lebih gampang karena ide sudah pernah dituangkan ke tulisan.
I Should NotTake Things for Granted (jangan anggap kecil apa yang saya miliki)
Sekarang saya lebih siap kehilangan laptop. Isi laptop telah saya backup dalam dua buah external harddisk.
Namun pada saat yang bersamaan laptop ini makin saya sayangi. Begitu setianya ia menemani saya pergi ke pelosok, ke tempat terpencil, ke hutan, ke luar negeri. Saya baru saja menyapukan kuas kecil di seputar keyboard, mengeluarkan remah-remah yang tertinggal di antara tombolnya. Layar saya usap hati-hati dengan bahan khusus. Sepanjang barang ini masih dipercayakan kepada saya, akan saya rawat lebih hati-hati.Mudah-mudahan pelajaran ini bisa "nempel" untuk jangka waktu agak lama. Tadi pagi pena parker pemberian teman nyelip entah dimana. Saya menghabiskan satu jam mencarinya sambil stress dan mngomel-omel menyalahkan diri sendiri. Susah rupanya menerapkan pelajaran dengan konsisten.
Yang penting kan usahe.... iya nggak?
Artikel-artikelmu bagus Yana. Setelah berpisah sejak 1981 (32 tahun yang lalu), usai pembagian kelompok TPB IPB, saya membaca artikel-artikel ini, ternyata penulisnya adalah teman yang sering sama-sama di lab. Tak dinyana dia ternyata pintar menulis. Melalui tulisan pikiran kita bisa diskpresikan. Berguna bagi penulisnya dan tentu saja berguna bagi ribuan pemnacanya. Great. Lanjut Yana. Jannerson Girsang
ReplyDelete