Sebelum bertemu Bu Lili, jika ada yang bertaruh bahwa aku dapat mengenal seseorang jauh lebih dalam, bagai menonton riwayat hidupnya lewat film yang dipercepat -kurang dari satu jam- aku akan mempersilahkan orang itu (dengan amat sangat sopan) untuk ke laut. Yang betul saja.... Mana mungkin ! Namun itulah yang kualami saat ngobrol dengan Bu Lili van Gang Pintu Kecil Lima, Glodok.
Empat puluh lima menit aku duduk di atas bangku plastik merah terpisahkan dengan Ibu Lili oleh sepotong meja tempat ia meletakkan jajaannya, Di akhir pembicaraan petang hari itu, aku merasa menyebrangi pemisah ini, seolah telah lama mengenalnya, berkelebat ke belakang melongok kisah hidupnya.
@@@@@
Bu Lili meggelar deretan panci-panci mengkilat setinggi pinggang balita berisi kolak pisang, bubur ketan hitam, singkong santan, jenang buah atap, kacang hijau, biji salak, bubur jali, dan sejenisnya di bawah terpal biru kuning yang menaungi sepanjang gang. Ia diapit tukang buah dekat mulut gang dengan aneka buah tersusun tinggi bak sesajen persembahan dI Bali, dengan penjual DVD yang menyetel musik keras-keras di samping satunya.
Bertahun-tahun kemari aku jarang mencoba, malas antri. Dagangan bu Lili selalu laris manis. Kalau kadang belipun, kuminta dibungkuskan
Sore itu berbeda. Asar sudah lepas, lorong mulai lengang. Beberapa kios kukut-kukut mengemasi dagangan. Depan meja bu Lili aku melambatkan langkah, memilih di antara isi panci2 yang tinggal bersisa di dasar dan memutuskan mencicipi kolak di tempat.
Derai matahari yang tembus lewat sela terpal memuram, sudah semakin petang, aku ingin buru-buru pulang. Dua suap pertama kutelan dalam diam. Ibu Lili (yang saat itu belum ku ketahui namanya) juga larut dalam lamunannya. Suap berikutnya dievaluasi saraf perasaku dan diberi nilai 9. Mata ikut-ikutan menilai, dan menyukai apa yang terlihat. Pisang, singkong, buah atap, biji salak, terpotong rapi berenang di genangan santan. Mendorong rasa ingin tahu lebih jauh tentang yang membuatnya.
Pertanyaan pertamaku yang sederhana - berapa lama sudah jualan di sini- bagai membuka pintu air yang menumpahkan banjir cerita penuh tekstur: "Lebih dari dua puluh tahun Non, sejak Pak Harto masih ada..."
Ibu Lili berpindah dari satu sub-topik ke lainnya dengan transisi mulus (walaupun kadang membingungkan kapan ia pindah ke rel jurusan lain, saking mulusnya). Ia tidak banyak menggunakan bahasa badan, begitu pula ekspresi wajahnya. Uniknya ia mengatur ritme dan intensitas cerita dengan sorot mata dan senyum, seperti tombol yang menaik-turunkan level.. Aku seperti sedang di bioskop.
@@@@@
Ibu Lili lahir di Blitar. Sebulan sebelum ia dapat menstruasi, ia dinikahkan dengan teman abangnya dari kampung sebelah. “Sebulan menikah, baru deh haid. Biar masih anak, saya sudah pintar bantu-bantu membuat gula merah, mengumpulkan air buah aren, memasaknya di kuali gede seharian, lalu dicetak di batok kelapa" kenangnya. Tapi bisnis utama keluarganya berternak babi. "Tahun tujuh-puluhan itu usaha keluarga sedang maju-majunya. Mas saya saja punya babi dua ratus ekor. Belum lagi paman-paman saya. Saya sering tugas membersihkan kandang. Di Blitar kandang babi dicuci bersih, tidak seperti di Jakarta". Sempat-sempatnya Ibu Lili memasukkan fragmen adegan ini ke kepalaku: air disemprotkan melalui sela-sela jeruji kandang dan suara panik "oink, oink" para babi bertabrakan berlarian dalam kandang menghindari basah.
@@@@@
Ibu Lili berpisah setelah punya 2 anak. "Saya dari dulu kuat kerja. Kalau dia lagi cari air aren atau keluar rumah bertemu pembeli besar, saya memasak air bakal gula di kuali sampai pekat". Seluloid di kepalaku menayangkan dapur berdinding bambu berselaput jelaga akibat debu kayu bakar bertahun-tahun : Lili muda berkacak pinggang dengan muka memerah di depan tungku.
Tapi "saya masih muda, gampang cemburu. Dia cakep sih non", Bu Lili menghela nafas mengingat masa lalu. Ia tidak kuat menahan cemburu karena setiap kali suami berjualan ke pasar, ia pulang pagi hari. Ilustrasi sederhana "pergi ke pasar selalu pulang pagi", melukiskan dengan pas, perihnya, curiganya, galaunya sang Lili muda di perkawinannya yang juga masih seumur jagung (dalam film di kepala, ia sedang terbaring di ranjang memandang eternit, dengan jarit batik sampai ke dagu dan airmata mengalir dari sudut matanya ke pelipis). "Saya pengin kabur. Masak sih saya tidak berani mengadu nasib, siapa tahu nasib berubah".
@@@@@
Anak-anak dititipkannya di orangtuanya dan Ibu Lili merantau. Dua tahun di Semarang (yang tidak dielaborasinya lebih lanjut. Mungkin pahit), ia diajak ke Jakarta oleh temannya untuk bekerja di "konpeksi". Sampai disini wajah Ibu Lili berubah cerah, seolah perjalanan napak tilas batin di titik ini mengingatkannya ke sesuatu yang membahagiakan.
Aku tidak salah kira. Disini dia ketemu belahan jiwanya, Engkoh Sutanto (diperkenalkannya dengan bangga. Sang suami datang karena harus membantu mengangkut para panci, bangku dan perlengkapan lain begitu kios ditutup). Suami isteri ini cerita bersahut-sahutan membangun image di kepalaku bagaimana Sutanto muda jatuh hati melihat kembang dari Jawa Timur di pabrik.. "Saya suka karena halus perangai dan perilakunya. Wah, waktu saya kawini dia mah cakep banget, sekarang gendut". Engkoh Sutanto sudah tidak bergigi lagi, namun masih mengerling mesra pada isterinya saat menceritakan ini.
Mereka tertawa geli mengingat bagaimana Bu Lili terpaksa disembunyikan di bawah ranjang karena perkawinan antar karyawan di perusahaan konveksi itu dilarang, dan mandornya mendadak inspeksi. Melihat ukuran Ibu Lili sekarang, susah aku membayangkannya "merungkel" menggelung diri masuk ke bawah katil. Tapi terkilas di kepalaku sang mandor galak mengendus-endus curiga karena ada bau wanita dalam kamar Sutanto.
@@@@@
Kami masih berbicara hilir mudik dan tergelak-gelak ketika aku memandang keluar lorong dan sadar bahwa magrib telah turun menyelimuti jalan besar. Aku segera memohon diri, menyalami mereka satu-satu dan berjanji akan kembali lagi – merasa seperti tamu di rumah mereka saat Imlek.
Sebelum melangkah pulang, kutanya, apa yang merekatkan mereka selalu rukun. Hampir serempak mereka menjawab "Kami orang sederhana, Non", seolah seluruh dunia sudah sepakat bahwa sesederhana inilah kunci sakti ke arah bahagia. Engkoh Sutanto menambahkan: "Saya tidak pernah protes dimasakin apa saja. Kalau ada lauk ya syukur, kalau tidak nasi dengan kecap juga boleh. Dia ..." Engkoh menunjuk isterinya dengan dagunya, " juga tidak pernah protes dibawain uang berapa saja." Bu Lili lalu menanggapi :"Dia mah ga sulit. Tidurnya saja di batu". Aku membayangkan Zen Master yang tidur bertapa di atas batu besar bulat rada ceper berwarna abu-abu kelam. Keterangan selanjutnya mngembalikanku ke zaman ini "Tinggal dibentangi bedkoper aja dia sudah ayem di batu". Ooh, maksudnya Engkoh Sutanto tidur di lantai toh, bukan sedang bertapa.
@@@
Kisah di atas begitu biasa, diceritakan oleh seseorang yang juga amat biasa.
Namun bagiku, kisah kecil yang diceritakan dengan begitu terbuka, jujur dan sederhana oleh Bu Lili, terasa luar biasa, menyihirku dalam kebiasaannya. Kisah yang dialami jutaan orang lainnya di Nusantara ini bak testimoni dari kekuatan terpendam kita, rakyat Indonesia.
(DIedit dan ditulis ulang dari note-ku berjudul, Ibu Lily, Kolak dan Storytelling, dua tahun lalu, 28 Mei 2011)
~~~~~~~~~~
Selamat Merayakan Indonesia..
Gerakan mengupload foto, status, cerita, video, renungan, fragmen, anekdot, pikiran dll., yang berkarakter Indonesia, di kampung FB setiap Jumat.
Jumat, 30 Mei 2013
No comments:
Post a Comment