Saturday, June 1, 2013
JIKA MEJA MARMER BISA BICARA (1)
~Kedai Kopi Apek, Jalan Hindu, Medan~
Kalimat –kalimat yang kuronce untuk memulai catatan impresiku tentang Kedai Kopi Apek, terkatung menggantung. Berkali-kali. Tak puas aku, rasanya tak cukup bobot untuk menggambarkan tempat yang sudah hampir menjadi institusi di kalangan masyarakat Medan, a legend. (Namun kali ini kukeraskan hati. Malam ini harus selesai.)
Bahwa Kedai Kopi Apek ini sudah jadi legenda, baru kuketahui belakangan lewat riset kecil di internet dan koran-koran. (Diperkirakan berdiri sejak awal 1900-an, dikelola oleh ayah sang Apek, the patriach, bernama Thia A Kee dan istrinya Khi Lang Kiao, yang datang dari daratan Tiongkok. Dan karena ini berada di daerah perniagaan Kesawan, maka pengunjungnya kebanyakan para pegawai perkebunan zaman Belanda. Salah dua di antaranya adalah perusahaan perkebunan dan perdagangan karet Harisson Crosfield yang sudah berkiprah di Sumatera bahkan di penghujung abad 19, dan London Sumatera yg akhirnya mengakuisisi aset Harrison Crosfield hampir seratus tahun kemudian. Konon tempat ini juga banyak didatangi oleh wisatawan dari negeri tetangga. Begitu bekennya tempat ini, Kompas menulis tentang Apek tanggal 8 Juni 2008. Saat itu Thaia Tjo Lie, begitu nama aslinya, berusia 86 tahun. Begitu kurang lebih hasilku meriset kedai ini.)
Namun ketika kusamperi pertama kali, susah kubayangkan kelegendarisaannya. Bangunan yang terletak di perpotongan jalan Hindu dan Perdana, serta di seberang Pasar Hindu ini, terkesan tak terawat dan terlupakan.
Ketika kufoto cukup berjarak dari luar, kekokohan dan profil gedung memang masih mempesona. Kusen serta daun pintu dan jendela berwarna hijau “warung tegal” yang jadi trend di tahun2 doeloe. Begitu kumasuki, sedikit lebih rendah dari jalan dengan atap yang tak terlalu tinggi, terasa bahwa diriku menapaki teritori istimewa. Hawanya beda.
Sepintas kedai ini seperti berusaha terlalu keras untuk terlihat kumuh, lusuh, tak terurus. Kotak kardus, tumpukan barang, tergeletak di depan counter pembatas dapur yang juga berfungsi sebagai kasir. Satu onggok lagi dengan tenangnya nangkring di samping meja tamu. Tak banyak sebenarnya energi yang diperlukan untuk merapikan ruang sekitar 50 meter persegi ini. Menurutku ini persoalan kemauan, bukan kemampuan.
Sekelompok bapak-bapak dengan tongkrongan perlente (lengkap dengan arloji besar berkilau dan cincin berbagai bebatuan yang bling-bling –terlihat setiap kali mereka mengangkat dan memutar-mutar tangan untuk menekankan argumentasinya), tampak tengah berdebat untuk suatu hal yang seru, mungkin politik. Atau soal kasus pengadilan. Mereka seperti sekelompok pengacara – atau pokrol? – di mataku. Aku berasumsi demikian karena persis di depan kedai terdapat satu Lembaga Bantuan Hukum. Suara keras mereka mereda begitu aku masuk, pandangan mereka seolah tak senang karena ada aku, dari spesies berbeda, perempuan pula, menginvansi wilayah mereka. Setelah yakin bahwa aku tak akan mengusik (aku malah sibuk memotreti jendela, meja sembahyang dan segala hal remeh temeh yang tak sesuai dengan kaliber pembicaraan mereka), ramainya perdebatan mereka mencuat beberapa oktaf lagi.
Kuajak bapak pengemudi mobil hotel yang kusewa hari itu. Kupikir kalau aku ditemani makan mungkin aku jadi tak terlalu sungkan. Ternyata aku harus kecewa. Satu dari trio gadis muda yang sedang in-charge menjaga kedai, dengan teganya mengusirku, tak terlalu halus, agak kelewat antusias: “tak bisa pesan bu, mau tutup....” Mungkin ia amat mengantuk karena harus bangun pagi sekali. Kedai-kedai seperti ini memang paling laris untuk sarapan.
Bapak-bapak tadi segera bergegas meninggalkan meja perundingan mereka. Aku masih tenang-tenang memfoto berbagai hal-hal yang mencengangkanku dalam ruangan sambil menunggu Boru Pasaribu menutup toko (begitu namanya kuketahui kemudian). Tak lama aku keluar lalu menyusuri jalan Hindu, mengamati bangunan2 berarsitektur Belanda - beberapa di antaranya hanya mempertahankan tampak depan / facade asli, tetapi sudah mulai meruntuhkan bangunan dibaliknya (sigh, sedih melihatnya). Aku bisa bayangkan berbagai warna kulit hilir mudik di jalan ini, di awal tahun 1900-an. Tentunya pojokan berpintu hijau ‘warteg’ tadi menjadi tempat menghilangkan lelah sambil bersosialisasi yang strategis.
@@@@
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment