~sketsa dinamika manusia urban~
(Intro : Ini hanya sekedar sketsa, fragmen. Babak satu dan dua tidak terlalu amat berhubungan. Seperti kukatakan, sekedar rekaman kejadian.)
BABAK 1
Hatiku tercekat saat turun bareng anakku dari mobil di depan apartemen malam itu. Ini jam 11 malam, tapi teras luar lobby apartmen tempatku tinggal penuh dengan penghuni. Bermacam-macam pakaian kulihat, ada yang masih dengan baju kerja, kebanyakan bersandal dan berbaju rumah, bahkan ada yang dalam piyama. Aku segera tahu bahwa kejadian semalam terulang lagi. Mati lampu. Orang-orang cemas untuk tetap tinggal di atas dan memilih ke bawah sampai nyala lagi.
Di tengah kerumunan ada kericuhan. Seorang wanita berambut cepak berkaos biru berbadan ramping menjadi sentral kekacauan. Telingaku meregister suara-suara keras dan penuh frustrasi.
Wanita baju biru: "Saya selalu bayar tagihan listrik, tahu". Target maki-makiannya, dua orang satpam di meja resepsionis dari tempatku berdiri terlihat mencoba menjawab sebisanya.
Seorang lelaki baju hijau daun (tinggi, cukup ganteng, empat puluhan tahun) segera menyelipkan badannya di antara sang ibu dan pak Satpam), "Ibu, tenang, kami semua juga bayar listrik disini. Tak lama lagi lampu nyala”.
Wanita cepak baju biru (telunjuknya dipindahkan menuding-nuding si bapak cakep, suaranya naik) : “Eh, situ juga tanggung jawab ya... Apartemen apa ini bikin susah penghuninya berhari-hari seperti ini”.
Bapak (suara ikut naik) : “Lho, ibu jangan kasar begitu. Pak Satpam ini tidak tahu menahu mengenai hal ini, jangan dimarahi” (tangan mulai naik-naik juga mengacung-acung).
“Diam, jangan ikut campur. Kamu dari manajemen kan? Dasar tidak becus. Uang listrik ga dibayarkan ke PLN !”
“Lho, kami disini juga bayar semua.. masa kamu saja?”
(Baku mulut berlanjut beberapa menit, lalu seperti slow motion aku melihat tangan wanita itu terangkat dan...............)
“Buuuk” ditingkahi suara menjerit-jerit dari penonton.
Lelaki baju hijau seperti terkejut, mengusapkan punggung tangan ke bawah bibirnya. Aku mendekat, bersama penghuni lain, berusaha melihat lebih jelas. Bibir si lelaki berdarah.
Beberapa menit kemudian chaos terjadi. Baik si lelaki maupun wanita dipegangi tangannya oleh para satpam dan penghuni lain. Tak begitu jelas apa yang terjadi kemudian. Terdengar bunyi dinding kaca tebal terbentur sesuatu (ternyata isteri sang lelaki yang turun gunung membantu suaminya, terlempar, kepalanya menabrak kaca).
Bagai singa-singa terluka, pasangan ini kemudian mengaum-ngaum: “Kubunuh kamu...Kubunuh sudah pasti. Besok pagi kau pasti sudah mati”.
Kelebat warna biru tertangkap mataku. Wanita berambut cepak lolos di bawah ketiak orang ramai dan berhasil masuk ke dalam apartemen. Si lelaki yang murka membanting pot kembang dan bersama istri memaki-maki satpam.
“Kamu tu, brengsek semua.... Dibelain suami saya, eh malah tidak ada yang tahu diri, malah membiarkan suami saya kena tonjok. Hayo.... hayo.... mana itu perempuan sialan itu “ sang isteri bertolak pinggang di tengah gelanggang yang ditinggal lawannya. Kemarahan yang tadinya diarahkan ke wanita baju biru sekarang disebarkan ke segala penjuru.
Sang suami tak kalah meradang “Saya blokir ya rumahnya, tinggal dimana dia, unit berapa? Muka dua semua kalian, tak ada yang membela saya. Saya bunuh dia besok, lihat saja”. (Para penghuni lain tak ada yang mendekat, berpandang-pandangan satu sama lain, ada yang berbisik-bisik, tapi menghindari tatap mata dengan lelaki itu. Termasuk aku.).
Tak lama beberapa lelaki necis –sampai sekarang tak tak tahu siapa – mengawal pasangan itu naik ke atas (Haaah, pakai lift yang hanya bergantung nyawanya pada power dari genset yang tak seberapa kuat itu ?? Hiii, ngeri kalilah – pikirku).
Esok harinya, di halaman satu koran Post Kota: “Ditemukan Tewas, Wanita Berambut Cepak, Jatuh dari Jendela Apartemen Lantai 23”.
.......................... .......................... .......................... ..........................
Oopsss.... maaf.... I got carried away, larut dalam energi marah yang terekam dalam ingatanku tentang malam itu. Kalimat terakhir ini hanya imajinasiku.
Setahuku sampai saat ini (berdasarkan rumor yang beredar, terutama yg bersumber dari meja resepsionis yang dikelola para satpam) sang wanita masih sehat sentosa. Syukurlah.
Tapi paragraf-paragraf sebelumnya merekam kejadian sesungguhnya yang terjadi dua malam lalu di tempatku tinggal. Dua malam berturut-turut mati lampu. Kejadian yang dianggap biasa-biasa jika terjadi di perumahan “menjejak bumi”, menjadi tak biasa dalam kehidupan berapartemen.
Gambar dipajang atas kebaikan pemilik situs : hhttp:// sathishr.blogspot.com/2011/ 06/ apartment-that-we-live-in.h tml
No comments:
Post a Comment