Setiap kali ke Ubud, aku selalu menyempatkan diri mengunjungi temanku, seorang ibu tua (bahkan pada saat itu beliau telah berumur) yang berjualan sate ikan di bawah kerindangan pohon beringin raksasa di depan Pasar Ubud. Ibu ini murah hati dan lugu, berapapun uang yang kusodorkan, selalu segenggam besar sate yang diberikannya. Ia tak berbahasa Indonesia, karena itu sampai saat ini namanyapun aku tak tahu.
Ia meletakkan panggangan dari tanah liat di atas bangku kecil di atas tanah, dan berjongkok mengipasinya. Ada dua macam sate yang dijualnya, satu berbumbu merah, lainnya berwarna kuning. Aku suka dua-duanya.
Kurang lebih empat tahun yang lalu, tak kujumpai lagi Ibu ini. Kutanya ke kiri kanan, jawaban bersimpang siur. Konon Ibu ini berjualan di pasar lain di luar Ubud. Eeh, nDilalah, tahun ini aku mendapat jawaban lebih spesifik dari temanku lain, seorang supir baik hati, Komang Mastra (juga langgananku tiga tahun belakangan ini). Tahun lalu, suatu malam, saat usai mengikuti suatu upacara di pinggiran Ubud, ia memberi tumpangan kepada Ibu ini. Ciri-cirinya cocok dengan yang aku cari. "Iya, betul bu, tadinya ia berjualan di bawah beringin di Pasar Ubud"
Menurut Bli Komang, sang Ibu (yang juga bernama Komang), tergusur penertiban di Pasar Ubud, dan berjualan pada keramaian upacara-upacara di pura-pura. Begitulah ia berpindah-pindah dari satu acara ke acara lain. "Anaknya sukses bu, dibeasiswai oleh Pemda Bali, bersekolah di SMA Pariwisata Denpasar", ujar Bli Komang dengan bangga. (Ia sendiri tak tamat SD - hidupnya juga keras. Ia pernah bercerita bahwa selama enam tahun ia menjadi pedagang acung di pantai2 Kuta, tidur di bawah langit, beralas batu. Anak alam.)
Setelah merasakan sate Ibu ini, aku tidak bergitu berminat lagi mencari sate di Bali. Sate Ibu Beringin begitu berkesan. Restoran dan cafe di pusat Ubud menawarkan sate lilit atau ikan bersama nasi campur Bali yang kondang itu. Namun, walaupun tongkrongannya kenes dan wah, rasa sejatinya sudah luntur. Menurutku, tentunya, yang sudah kadung cinta kepada yang asli dan sederhana.
Ke-skeptik-anku berubah pada kunjungan ini. Aku dibawa Bli Agung, pemasok kue di pasar-pasar, ke penjual sate yang menurutnya, mantaaap ! Suatu sore aku dibonceng di belakang sepeda motornya ke arah Sanggingan, lewat sedikit dari jembatan Campuhan. Di gundukan tanah agak lebih tinggi dari jalan, sepasang suami istri sibuk meladeni antrian yang ingin menikmati karya mereka. Sang istri menerima order dan membungkus pesanan (semua dilakukannya sambil jongkok dan tak bergerak dari posisinya), sang suami mengipas sate (ia akan berpindah-pindah, ke depan tungku, ke belakang. Kukira agar apinya rata, agaknya). Ada dua macam sate, sate ikan dan sate lilit. Mereka juga menjual pepes dan nasi singkong. Tapi Bli Agung melarangku membeli nasi singkong, karena keluarganya sudah membuatkannya untukku. (Nasi jenis ini, seperti namanya, mengandung serpihan singkong seukuran ujung jempol tangan, pipih, yang dikukus bersama nasi.)
Perburuan sate-ikanku berakhir di pinggir jalan dekat jembatan Campuhan. Namun aku akan terus mencari si Ibu Beringin - mudahan dipertemukan lagi, kalau kami ada usia. Insyaallah.
No comments:
Post a Comment