Sepelukan bunga murah di hari ultah anakku Ajeng, menghiasi pojok di rumahku tanpa harus layu |
Bunga kering punya bab tersendiri bagiku. Belasan tahun lalu, aku menghadapi kesulitan cukup serius. Untuk menenangkan diri, aku berlibur ke rumah dinas orang tuaku yang saat itu bekerja (paska pensiun) pada satu perusahaan minyak di Sanga-Sanga, Kaltim.
Bersama tak lebih dari enam rumah lainnya, tempat tinggal orang tuaku itu bertengger di pinggang bukit, dikelilingi jendela kaca setinggi dinding dan lebar-lebar di ketiga sisi ruang tamu. Tak perlu lukisan atau pernak pernik lainnya untuk menghias dinding. Pemandangan indah di luar seperti perpanjangan dari interior rumah. Di satu sisi ada pohon mangga raksasa yang digayuti buah sepanjang tahun (menurut ibuku. Aku tak sampai setahun disana) dan dikerubuti codot kecil setiap maghrib. Di ketinggian bukit ini, langit terasa rendah dan dapat dijamah. Lewat jendela kaca dapur, sambil mencuci piring kami dapat melihat kapal berlayar di sungai yang terlihat kecil nun jauh di balik hutan yang mengelilingi kompleks.
Di sebelah rumah kami tinggal Fanny, Singaporean yang seusia denganku, yang kawin dengan orang Amerika. Aku ingat diajak Fanny mempelajari hobi baru, mengeringkan bunga dan merangkainya. Bersama-sama kami mencari bunga liar, baik berupa semak maupun yang tergantung di pohon. Di dapur yang suhunya relatif lebih panas, Fanny mengajariku agar bunga-bunga ini kugantung terbalik . Tak lebih dari dua tiga hari ia akan mengering tanpa berubah warna.
Teras belakang rumah ortuku segera menjadi sesak dengan karanganku setelah beberapa bulan di sana. Namun yang kuingat dengan jelas adalah betapa kegiatan baru ini menjadi semacam terapi yang memperkuat diriku.
@@@
Gretchen Rubin yang kondang karena “Happiness Project”nya bercerita tentang temannya yang sedang menyelesaikan thesis, namun buntu, tulisan tak rampung-rampung. Momen “eureka” yang dicarinya muncul ketika ia sedang ......main seluncur salju !! Menurut Rubin, dengan memindahkan fokus sementara ke objek lain, dan berhenti berfikir tentang thesis, justru memungkinkan pikiran menjadi jernih dan memperoleh solusi.
Menoleh ke belakang, kukira itulah yang terjadi padaku. Dalam satu kwartal aku di Sanga-Sanga, fokusku berpindah. Aku jadi tak sempat memikirkan masalahku dan mengasihani diri. Setiap pagi aku melompat dengan semangat dari tempat tidur memikirkan mau kemana lagi mencari bunga bareng Fanny. Aku juga "berburu" di banyak tempat : di padang di luar kompleks tempat kutemukan berjenis-jenis bunga dan rumput liar. Tepi sungaipun tak luput kami susuri. Bahkan kadang dalam perjalanan ke Samarinda aku minta mobil berhenti agar aku bisa turun memetik apapun yang menarik perhatianku.
Setelah beberapa lama, aku sanggup melihat masalah yang menyebabkan aku lari kemari tersebut, dari sudut pandang berbeda. Tiba-tiba terasa tak terlalu berat, dan aku dapat menemukan jalan keluarnya. Seolah-olah bunga kering berhasil membasuh lensaku, dan melihat masalah dengan lebih bening.
Luar biasa pelajaran yang kudapat dari episode bunga kering ini.
Selain memindahkan fokus, hobi baru ini membuat mataku seperti dilengkapi kaca pembesar, untuk mendeteksi yang indah-indah. Aku menjadi “first class noticer” (istilah dari Saul Bellow, penulis pemenang Nobel), yang cermat mengamati hal kecil di sekeliling. Di tengah kemacetan Jakarta (yang tak punya hutan), misalnya, aku tetap awas mengamati sekitarku. Selalu dapat kutemukan, di antara beton ibu-kota, segerombol kembang, daun, lalang, rumput, tanaman, yang dinilai mataku sebagai layak dikeringkan. Tak lagi kubawa pulang dan kurangkai, tapi sekedar kukagumi dari jauh, membiarkan hatiku yang bertepuk. Lalu merasa relatif lebih bahagia.
@@@@
Baru-baru ini aku memperoleh sepelukan bunga kering tak sengaja. Di ultah anakku, aku menghiasi rumah dengan bunga ungu (tak tahu namanya) yang kubeli di Rawa Belong. Berminggu kemudian, kudapati bunga-bunga ini mengering tanpa berubah warna, walaupun masih dalam wadah berisi air. Segera aku keluarkan, dan aku gantung dekat blower AC. Bunga mengering dengan sempurna seperti yang dijual-jual di toko. Supaya tidak terlalu rontok, aku semprot dengan hairspray. Jadilah bunga warna lavender ini menghias satu pojok rumahku.
Setiap masuk ke ruang tamu, rimbunnya warna ungu di atas kabinet cina antik membawa ingatan tentang satu kwartal yang kulewatkan di Sanga-Sanga. Tempat aku belajar "membasuh" lensa mataku dalam memandang kesulitan, dan menjadi lebih tegar.
Dan setiap kali pula, hatiku tersenyum, merasa lebih bahagia terkenang saat-saat itu.
Perfect moments in it's imperfection !
No comments:
Post a Comment