Sabtu pagi ini ritual minum kopiku kupersiapkan setingkat lebih tinggi dari biasanya. Kopinya istimewa - bukan hanya rasanya- tapi karena juga karena ini kiriman teman dari Dumai, bu Kartini Rambe. Aku merasa seperti anak kecil di hari ultah menerima kotak berisi berbungkus2 kopi dan berkilo-kilo kerupuk cabe khas kota ini, semalam.
Satu hari, berapa minggu lalu, di bawah satu postingan di wall FBku tentang kopi, bu Kartini menawarkan untuk mengirimkan kopi khas Dumai. Aku sungkan, dan mengatakan hanya akan menerima kebaikan hati ini jika ia berkenan dikirimi balik dari Jakarta. Ini tulisnya: "Kebaikan tak mengenal pamrih atau imbalan, bagi saya itu tak bagus bu." (Aku belajar lagi satu hal, menerima pemberian dengan elegan dan longgar hati.)
Kemungkinan aku tambah sungkan jika paham saat itu bahwa Ibu Kartini melakukan kebaikan ini ke orang asing, aku, yg belum pernah ditemuinya langsung. Aku baru tahu malam ini, waktu menelponnya. (Ada nomor beliau di kotak kirimannya). Kami memang sering baku sapa di lapak komen di bawah tulisan2ku di FB, tapi aku tak sadar kalau belum pernah jumpa. Entah kenapa aku berasumsi bahwa bu Kartini adalah salah satu peserta kelas kepemimpinan yang kuberikan di satu perusahaan di Dumai tahun lalu. Walau tahu selama ini bahwa aku belum pernah bertatap muka dengannya, tetap saja ia sedia berpayah-payah membelikanku kopi dan keripik, membungkusnya dengan rapi dan mengirimkannya ke Jakarta.
Ibu Kartini melakukan suatu “Random Act of Kindness”.
@@@@@@
Istilah ini, Random Act of Kindness (selanjutnya kutulis RAK) atau Kebaikan secara Acak, kupelajari lebih dalam pertama kali lewat buku tua bertahun 1999 yang kutemukan di toko buku bekas. Judulnya “the Power of Kindness”. Seakan sedang mengamalkan prinsip dasar kebaikan, yakni tanpa pamrih, penyusun buku ini tidak mencantumkan nama. Mereka adalah aktivis gerakan RAK yang percaya bahwa virtue/nilai kebaikan hati, dapat membawa ke arah dunia yang lebih baik. Site merekawww.randomactofkindness.co
Ini beberapa contoh kebaikan yang kukutipkan dari buku tadi dan situs RAK: meletakkan bunga di depan pintu tetangga - yang tak terlalu dikenal tapi sedang sakit (tanpa ia harus tahu siapa yang mengirim), membukakan pintu buat orang lain di belakang kita, memberikan giliran ke mereka yang ada di belakang kita saat antri, menulis ucapan terimakasih pada mereka yang pernah berjasa buat kita, menjadi pendengar yang baik untuk teman yang mempunyai masalah, dst. Well, hal-hal kecil yang tak memerlukan banyak energi untuk melakukannya, tapi berarti besar bagi penerima kebaikan tersebut.
Beragam cerita baik di buku maupun di site RAK menginspirasi dan meyakinkan kita kembali, betapa sifat dasar manusia sesungguhnya adalah kebaikan hati. Dan betapa kebaikan yang remeh temeh ini dapat mencetus kembali suatu “high trust society”. Masyarakat modern saat ini yang penuh curiga, was-was, berjarak, skeptik, mungkin kok, kembali mempercayai satu sama lain. Asal saja mau bertekad melakukan kebaikan sebagai kebiasaan di keseharian.
Yayasan RAK menggagas minggu “Random of Kindness“ setiap tanggal 13-20 di bulan Februari. Buku tuaku di atas tadi, “The Power of Kindness”, menyebutkan bahwa 13 tahun lalu, di tahun terbitnya buku itu, minggu RAK berhasil menggerakkan aksi di 11 negara, 40 ribu individual, 15 ribu sekolah, 1000 gereja dan 450 kota(di US). Di hari-hari tersebut ribuan orang itu melakukan kebaikan untuk orang yang mereka tak kenal.
Tentu saat ini magnitudenya jauh lebih besar lagi.
Ini tak berarti bahwa kita hanya boleh melakukan kebaikan sekali setahun. Alasan di balik minggu RAK sedunia ini kukira adalah bahwa tindakan melakukan kebaikan yang dilakukan secara massive, serempak pada jangka waktu bersamaan, dipercaya menghasilkan efek multiplier yang dahsyat, dan berdampak perubahan ke arah lebih baik.
Ini belum lagi bulan Februari – Ibu Kartini telah melakukan “Random Act of Kindness”. Untuk beliau, kebaikan sudah jadi amalan sehari-hari, tak perlu tunggu tahun depan. Di percakapan telpon ia begitu tulus memintaku untuk memberitahunya kalau kopi “Rasa Sayang” yang dikirimnya habis. Ia akan dengan sukacita mengirim lagi.
Ah, bu Kartini... Bagaimana dong aku membalasnya kalau tidak boleh mengirim balik?
Tuhan memberkahi Ibu.
Note:
Kopi kiriman bu Kartini bermerek ‘Rasa Sayang’. Google menginformasiku bahwa kopi merek ini mulai diproduksi serta diedarkan oleh PT Indra Coffee di daerah Dumai dan sekitarnya tahun 1974.
Kerupuk cabe (begitu tertulis di bungkusnya, bukan keripik pedas seperti lazimnya), diproduksi oleh suatu usaha mandiri rumahan: IKA, beralamat di jl. Raya Ali Haji Depan Unri, Purnama, Dumai. Aku sering mendengar tentang keripik ini, dan setelah mencicipi jadi mengerti mengapa. Tampak luarnya tidak terlalu istimewa. Serpihan keripik bergulung dengan luas tak sama, besar kecil. Tapi pasti ada alasannya mengapa keripik ini selalu dirindu oleh yang pernah merasakan. Setelah mencoba, ternyata masyaAllah.....Bumbu gurih pedas dengan gumpalan2 kecil sambal garing melekat di permukaan atau bersembunyi di gelungan keripik secara merata. Kurasa seharusnya diberi merek "Don't Start" (karena satu kali mulai tak dapat berhenti).
No comments:
Post a Comment