Pasar mendapat tempat istimewa di hatiku. Kurasa ini “trait” keturunan dari ayahku. Semasa kecil dan remaja aku sering diajak ayahku ke pasar. Walaupun sambil mengernyitkan hidung (saat itu pasar becek bukan sekedar istilah, tapi harafiah, dan kesadaran kebersihan masih belum seperti sekarang sehingga sisa sayuran dibuang sembarangan dan membusuk -meninggalkan bau luar biasa), dengan setianya aku berjalan di belakang ayahku membawa keranjang belanjaan. Beliau akan melompat-lompat dengan girang dari satu penjual langganan ke langganan lain. Hampir separo pasar kenal ayahku (julukan beliau di lingkungan kami, dokter preman).
Aku tidak tahu persis kapan mulainya kantong kresek mulai dikenal. Zaman itu keranjang belanjaan adalah item wajib para Ibu (atau dalam kasus kami, ayahku). Aku ingat keranjang rotan kesayangan ibuku – yang akhirnya diafkir karena pegangan tangannya yang “mengsle”. Setelah itu digantikan dengan yang berwarna biru dan merah. Dari plastik, jadi cukup jelek rupanya, tapi berguna dan berusia panjang. Yang jelas, lebih ramah lingkungan ketimbang kantong plastik kresek.
Segala ingatan akan “wisata” pasar dengan ayahku ini mendorongku untuk sanggup bangun subuh dan berbelanja di pasar pagi saat aku sudah punya rumah sendiri. Well, tergantung apakah dilihat sebagai gelas setengah penuh atau setengah kosong, karena bagi banyak orang, yang kukatakan subuh bisa jadi adalah (lewat tengah) malam. Pasar yang kumaksud adalah pasar Kebayoran Lama dan kukunjungi sekitar jam dua sampai jam empat pagi. Adakah yang kucari secara khusus di pasar ini? Tidak juga. Aku menikmati bunyi gedebukan ikatan sayur yang dilempar dari atas truk. Atau para pedagang yang terkantuk-kantuk kemulan selimut, mendengarkan gending Jawa dari radio kecil yang menempel di kupingnya. Atau udara dingin di kulit saat berjongkok di depan tumpukan cabe atau kecombrang, berusaha memilih yang paling segar. Dasar wanita, sudah tahu semua segar, masih dipilah-pilih pula.
Sabtu kemarin aku diajak Marina, temanku masa kuliah mengunjungi pasar dekat rumahnya. Ia dengan bersemangat menceritakan berbagai penganan yang kualitasnya oke punya di Pasar Puri Indah ini. Jam enam setengah pagi aku sudah meluncur dari rumah, dan jam tujuh lebih sedikit sudah sampai di depan penjual nasi kuning yang di wanti-wanti temanku harus kucoba. Dan, penonton kecewa : nasi kuning habis! Tak lama, karena diganti dengan keasyikan mencoba nasi uduknya (masih di penjual yang sama) dengan berbagai lauk keringan (tempe, teri, kentang, dendeng, telur). Aku, Marina dan Iksa (juga teman kuliah, jago foto) menyerang satu piring gundukan nasi dan lauk pauk itu dengan tiga sendok.
Di atas meja sederhana menempel di dinding, ditempel robekan halaman majalah yang memuat liputan tentang warung ini. Judulnya “Ini Lontong Medan Bung”. Karena perutku tidak muat, maka dagangan andalan ini kubungkus saja buat oleh-oleh orang rumah. Pelanggan antri dengan sabar dilayani empat lima orang pegawai warung.
Tak percuma Marina membangga-banggakan pasarnya. Segala macam yang dijual memang sudah terseleksi alam. Hanya yang oke yang bertahan, terseleksi oleh pembeli yang teliti membeli. Kue jajan pasar sekualitas dagangan Nyonya Ali (toko kue khusus jajan pasar, namun terletak di daerah elite dengan harga elite pula). Aku diperkenalkan Marina ke tukang ketoprak langganannya. Bang Aga ini mulai berjualan di gerobak kecil depan gereja di daerah itu pula. Sekarang kulihat pelanggannya membeli sekaligus sepuluh atau lima belas bungkus sekaligus. Menurut Marina, kualitas tahunya super. Aku tak begitu suka ketoprak, pun tak terlalu tergila-gila tahu. Tapi hasil ulekan Bang Aga bikin aku kepincut. Ah, Marina memang tak bohong, Pasar Puri Indah oke punya.
Semalam aku bertemu artikel berjudul “Pasar Cikini Hampir Tinggal Kenangan”, dan kulihat tanggal diterbitkannya : 11 Mei 2009. Wah, tentu saja sekarang benar-benar tinggal kenangan. Karena telah berubah bentuk sejak dipindahkan ke bangunan baru. Aku menyesal tidak sempat menyambanginya. Pasar ini seperti banyak pasar lainnya di Jakarta, Solo, Yogya, Surabaya dan kota-kota lainnya, dekat sekali dengan hatiku.
Aku berjanji akan lebih rajin mengunjungi pasar-pasar ini, sebelum semua dilipat habis oleh zaman dan digusur oleh bangunan-bangunan kotak dengan lorong yang juga lurus-lurus – biasanya disebut supermarket. Tidak terlalu istimewa apalagi super, di mataku.
No comments:
Post a Comment