Judul: Fasting, Feasting
Penulis: Anita Desai
Genre: Adult fiction
Halaman: 228
Ringkasan (dari halaman belakang buku): Anita Desai, finalis Booker Prize, dengan brilian men-klaim tempatnya di antara penulis India terpandang lainnya. Fasting, Feasting berputar sekitar tema favorit Desai: konflik keluarga yang rumit dan kompleks. Buku ini bercerita tentang Uma, anak perempuan tertua yang tak menarik dari keluarga India, terikat ke rumah masa kecilnya, melayani kebutuhan dan keperluan orangtuanya yang kadang berlebihan, serta adik bungsunya Arun, di seberang dunia, di Massachusetts, terbingung-bingung mendapati dirinya di kehidupan baru pinggiran kota Amerika.
-------------------------- ---------------------
Review:
Saya menarik nafas panjang. Halaman terakhir di bab ke 27 yang menutup buku berjudul "Fasting, Feasting" tulisan Anisa Desai saya tutup, selesai, tamat. (Anehnya buku ini tidak menomori halamannya). Saya seperti baru pulang dari berpesiar. Digiring menyusuri lorong-lorong nasib wanita berparas terlalu biasa - Uma, namanya- dan terlalu naif, dari keluarga menengah terpelajar India di tahun tujuh puluhan (atau 80 an? Saya hanya menemukan kesannya, tidak secara explisit tertulis), dibentuk dan dibentur oleh tradisi tak terhindari. Hukum survival for the fittest menyingkirkan Uma dari kemungkinan memiliki kehidupan bersuami. Namun yang fit-pun (baca, cantik, cerdas) digilas nasib lewat kultur yang memarginalkan perempuan. Tulisan penulis India yang jadi finalis Booker Prize tiga kali ini (termasuk buku ini) ditulis tanpa sentimentalisme berlebihan, walaupun penggambaran setting amat hidup dan tiga dimensi.
Saya petikkan beberapa bagian (yang saya sebut begitu nyata tadi) yang membuat saya menahan nafas:
"Here was Aruna visibly ripening on the branch, asking to be plucked: no one had to teach her how to make samosas or help her to dress for an occasion. Instincitively, she knew. The pale, pale pink sari, the slender chain of seed pearls, the fresh flowers, the demure downcast turn of the eyes, the little foot in the red slipper thursting out suddenly like a tongue and the laughter low and sly."
("Dan (tengoklah, betapa) Aruna mulai mekar di tangkai, siap untuk dipetik: tak seorang mengajarnya bagaimana membuat samosa atau berpekaian sesuai acara. Tetapi dituntun naluri, ia tahu. Sari berwarna merah jambu, muda sekali, rantai tipis biji mutiara, bunga segar, caranya menurunkan kelopak mata dengan kemayu, bagaimana ia menjulurkan kaki kecilnya terbungkus sandal merah secara tiba-tiba bagai menjulurkan lidah, tertawanya yang rendah dan mengundang....")
Atau pembuka bab 25:
"Summer is beating at them, out of a sky so blue that it threatens to spill and flood the green land. The horizon blurs, watery".
("Musim panas mendera mereka, dari (tempatnya) di langit yang begitu biru, seolah-olah akan segera tumpah dan membanjiri bumi yang hijau. Cakrawala bergetar kabur, berair.")
"The summer seems arrested in the sky, stalled in its great blaze of heat, too dispirited to move. The trees wilt, dust weighs down their leaves that have achieved full span and can unfold no further"
("Musim panas seperti tertahan di udara, terhenti dalam kobaran panas yang amat sangat, terlalu malas untuk berpindah. Pohon-pohon melayu, debu memberati dedaunan yang telah mencapai luas terluasnya, tak bisa membuka lebih lebar lagi.")
@@@@@
Desai bertutur bagai melukis dengan cat air; berhati-hati - tidak bisa total melepaskan diri dan tunduk pada rasa serta seni semata. Saya bayangkan Desai berhenti setiap paragraf, mengkalibrasi sentral gravitasi, mencari keseimbangan, membaca ulang, menimbang-nimbang sapuan berikut. Akankah menimpa garis dan bentuk sebelumnya? (Seperti melukis dengan cat air, Desai seperti merencanakan efek usapan kuas berikutnya.)
Bukan, bukan karena Desai kurang trampil melipat dan menggelung kalimat. Sebaliknya. Ia adalah Profesor Humanity Emeritus John E. Burchard dari MIT (Massachutes Insitute of Technology). Kadang saya berteori bahwa berpikir (well, dia kan profesor), mengganggu jalur penumpahan pikiran dan imajinasi ke atas kertas.
Di bagian pertama dari buku, "Fasting" yang lebih akrab dengan Desai, keragu-raguan dan kesan berpikir ini jarang terlihat. Pena Desai meluncur dengan mudahnya, tanpa beban, dengan setting yang begitu familiar bagi Desai, tanah tumpah darahnya, India. Segala hiruk pikuk, bau, warna, rasa bersliweran seperti coretan lukisan abstrak. Tetap pakai cat air, berhati-hati, tapi ia lebih tak pendulian menggerakkan penanya. Setiap nuansa tercetak jelas tanpa perlu menorehkan banyak cerita tentang latar cerita. Plot, karakter, konteks bertaut-taut sendiri secara natural. Ketika ia bicara tentang kecemasan Uma, sekaligus ia menggarisbawahi latar belakang sosial di India saat itu, contohnya. Atau ketika ia menulis tentang serangkaian tindakan - saat Uma ikut bibinya yang janda melakukan ziarah dan meninggalkan rumah - sekaligus Desai sedang melukis tentang pergumulan bathin Uma tanpa harus berterang-terang menjelaskannya. Penulisan trampil sekaligus alamiah. (Kekuatan yang sayang tidak tegas tampil di bagian 2, "Feasting".)
Bagian pertama yang terdiri dari tiga-belas bab pertama ini dipopulasi penuh oleh orang. Jarang Desai menjadi puitis disini. Gaya menulisnya setara dengan gaya seorang bibi janda, adik atau kakak nyonya rumah, yang kejatuhan beban mengurusi rumah tangga adiknya. Dengan matanya yang praktikal, menangkap semua kejadian dalam rumah, kesenangan, kejutan, tragedi. Sebagai seorang bibi yang gesit, diandalkan, ia akan menpersepsi semua ini tanpa kecengengan, dengan filosofi praktis: "Ok, saya paham tragedi ini harus terjadi, tapi cepat bangun, dan jalan terus."
Saya kutipkan:
"...... Mama ...found herself pregnant.
It had taken the girls a long time to find out what was happening, what was the cause of so much whispering, furtive discussion, visits by the doctor and to the doctor. Older relatives were sent for, consultations were carried on. Mama's eyes were swollen with crying as she lay across her bed and wept. Papa scowled his concern and embarrassment. Like a blister with blood, the air was thick with secrets. The girls felt their ears creep as they strained to hear what was being said. It was incomprehensible, in some way risque, even lewd, but they failed to understand the language although they caught the tone and even the meaning. Something grossly physical, sexual. The word squealed loudly in their throats and they pressed their lips together so it should not escape."
("Lama sekali para gadis itu baru mengetahui apa yang sedang terjadi - apa yang menyebabkan begitu banyak bisik-bisik, diskusi sembunyi-sembunyi, kunjungan ke dan dari dokter. Keluarga tua dipanggil, diminta nasihatnya. Mata mama bengkak sambil terus berbaring di tempat tidur dan menangis. Papa merengut menunjukkan kekuatiran dan rasa malunya. Seperti bagian badan yang melepuh dan berisi darah, udara seperti pekat dengan rahasia. Anak-anak gadis itu merasa telinganya jadi semutan, saat dilebarkan untuk mencoba menangkap apa yang sedang dibicarakan secara rahasia. Tak dapat dipahami, terasa agak beresiko, bahkan mungkin cabul - tapi mereka gagal mengerti bahasa yang dipertukarkan walaupun mereka menangkap nada dan bahkan artinya. Sesuatu yang badaniah, kotor, seksual. Kata ini terperangkap dan berderit nyaring dalam tenggorokan (Uma dan Aruna), dan bibir mereka rapatkan erat agar tidak melompat keluar.")
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment