Bermacam-macam dugaan pakar tentang akar kebaya. Yang paling populer bermuara pada "abbaya", sejenis garmen berinduk di jazirah Arab. Jauh betul? Iya, konon dibawa oleh penyebar agama Islam yang mencoba membuat wanita setempat yang saat itu berkemben atau bertelanjang dada, menutupi aurat mereka.
Peneliti lain tidak puas dengan teori in. Walaupun secara semantik masuk akal, mereka melihat siluet kebaya yang cenderung ramping dan berbukaan depan, lebih mungkin berasal dari Indocina. Mereka mencoba membuktikan dengan menunjukkan bagaimana di daerah yang dilewati penyebarannya ke selatan, mulai dari Vietnam ke Thailand lalu Nusantara, pakaian asli lebih menyerupai kebaya: berbukaan depan dan ramping.
Apapun, kebaya telah mengurat akar dan memberi identitas pemersatu bagai wanita Indonesia. Kebaya berlayar ke seluruh penjuru Indonesia, dan di banyak tempat, menetap dan merasuk ke dalam budaya lokal. Aku menduga hal ini disebabkan oleh amat sesuainyanya kebaya dikenakan dalam iklim tropis. Susan Blackburn, antropolog asal Australia dalam bukunya "Jakarta, 400 tahun" bercerita tentang wanita2 Betawi tahun 1700-an yang apapun latar belakang etnisnya - Cina, India, Arab, Melayu- semua mengenakan kebaya.
Di titik ini, lepas dari trend di pusat pendikte fashion yang naik turun dalam mengusungnya, keberadaan kebaya justru dilestarikan secara organik dalam kebiasaan keseharian. Sama alamiahnya dengan bagaimana kebaya diserap di daerah menjadi bagian dari budaya lokal. Di gereja di Ambon, kebaya hitam dikenakan para wanitanya di hari Minggu. Sementara di gereja2 HKBP, para wanita Batak memakai kebaya brokat dan ulos. Upacara2 keagamaan di Bali dihiasi oleh wanita2 ayu berkebaya berselendang melililit di bagian pinggang. Justru di Jawa, tempat dimana kebaya diasosiasikan paling erat dengan tradisi, kebaya tinggal menggantungkan nafas pada upacara-upacara penting seperti perkawinan. Dan pada wanita di akar rumput, para mbok-mbok penjual jamu, di pasar, pesinden...
Di zaman Sukarno, kebaya dibaptis sebagai busana wanita nasional. Di zaman Suharto para wanita kalangan elite, mulai bu Tien, para istri menteri dan lingkarannya mengenakan kebaya. Memasuki tahun 2013 ini kuperhatikan lapisan yang mempengaruhi jalannya fashion - wanita-wanita pemerhati dan pengguna fashion, yang sering muncul di media yang mengusung gaya hidup (aku menghindari istilah yang digunakan untuk menggambarkan mereka: sosialita) - mulai melirik kebaya. Seperti efek "trickle down", kebaya marak dipakai kembali. Puji Tuhan.
Kebaya bagiku melambangkan keanggunan, martabat, kesederhanaan, identitas. Evolusi kebaya saat ini kadang tak mencerminkan satupun value ini. Kreativitas penting, tapi perlu ada pakem atau decorum yang diobservasi bersama. Kapan kebaya berhenti disebut kebaya? Kebaya yang berornamen penuh seperti kostum karnaval, atau yang tak berlengan, yang menunjukkan permukaan kulit begitu banyak dst., di mataku jauh dari kekebayaan kebaya. Adaptasi perlu agar kebaya dapat bertahan dalam mengarungi zaman, tapi jiwanya jangan sampai hilang.
Kadang aku rindu akan kebaya yang keindahannya terletak semata-mata pada fakta bahwa ia adalah kebaya - just by being kebaya - tak perduli dari bahan apapun; brokat-kah, voile, katun, linen, lurik... Kebaya yang minim ornamen, yang aksentuasinya hanya disampirkan pada selendang berwarna selaras atau bahkan kontras. Kebaya yang tak perlu berteriak: "look at me, aku mahal lho... bahanku semeter sejuta".
Esensinya, aku kangen akan era dimana kata kunci yang diterapkan di segala kalangan adalah kesederhanaan, dalam keyakinan identitas diri.
~~~~~~~~~~~
Keterangan foto:
Eyang puteriku alm (berkebaya biru), Yangti Ahmad Santoso, dengan adik bungsu - Yangti Noedyo (berkebaya putih), serta adik di tengah, Yangti Samoeri (berkebaya gelap). Yang paling ujung menantu beliau, isteri paman, Tante Nani Rudy Suwarno (berkebaya hijau muda). Ini foto satu2nya yang dapat kuperoleh yang merekam ketiga "dara".
Foto kudapat atas kebaikan Mbak Watie Dewanto Noedyo.
No comments:
Post a Comment