Kompas Minggu Tentang Camilan
Hari Minggu pagi ini (27/5/12) Kompas menurunkan tulisan mengenai industri camilan sebagai "cerita" utama (di hari2 minggu asyiknya bukan berita yang dijadikan sentral). Sub-tajuknya yang menggelitik : "Laut Dikuras, Ladang Dibabat" - menurutku - lebih pas ditujukan kepada industri tambang atau sejenisnya yang besar dan berpotensi merusak lingkungan. Bukankah industri camilan payung besarnya adalah industri rumahan, yang senafas dengan rakyat kebanyakan?
Artikel ini bercerita bagaimana camilan menggiatkan ekonomi. Di Bandung, para day-tripper (pelancong sehari) menyesaki sentra oleh-oleh seperti Karya Umbi. Surabaya juga punya Toko Bhek sejak tahun empat-puluhan di jalan Genteng (kuperoleh informasi ancer2 tahun berdirinya langsung dari Pak Aria, cicit pendirinya, Tan Siong Bhek. Ia juga bercerita, saat dibuka di bekas toko percetakan jaman Belanda ini, Bhek berjualan palawija sebelum berevolusi menjual olahan hasil laut). Dikupas pula dalam artikel tsb. betapa daerah tepi pantai Kenjeran menjadi penyuplai utama produsen camilan Jawa Timur: lorjuk, siput laut, tripang, ketimun laut, ikan bulu ayam dan segala macam nama aneh yang hanya pernah kulihat di buku biologi.
Mengemil versus Gaya Hidup Sehat
Team penulis menyelipkan wawancara2 kecil yang mengesankan bahwa penyubur industri ini adalah gaya hidup orang Indonesia mengemil. Pada saat yang sama tulisan itu juga mengulas tentang menguatnya gaya hidup sehat. Hematku, mengemil dan menjaga berat badan terlihat bertolak belakang. Bagaimana menjelaskannya?
Dugaanku, urut-urutannya seperti ini : pendidikan dan ekonomi membaik, menggiring buying power semakin tinggi. Mobilitas antar kota, daerah, pulau yang makin meningkat membuat pelancong memenuhi toko makanan khas asal daerah/kota setempat yang terlihat eksotis dan menggiurkan. Belum lagi ide “mencipta” pelaku bisnis camilan yang semakin kreatif. Maka perilaku konsumtif tak dapat ditahan-tahan lagi. Borong deh ......
Minggu lalu, aku terjepit dalam antrian panjang depan meja kasir suatu sentra oleh-oleh di rest area tol Cikampek. Sambil menunggu aku mengamati keranjang belanjaan orang-orang di depanku, menggunung, dan tak jarang total harga di cash register menunjukkan angka di atas tigaratus ribu !! Melihat tubuh ramping-ramping para pembelanja ini aku tak yakin bahwa gaya hidup mengemil ini adalah pemicu suburnya bisnis camilan.
Tebakan terkuatku adalah : tradisi mengoleh-olehilah yang memotivasi pelancong untuk rela mengantri dan berdesak-desakan di toko camilan. Impuls belanja yang tak bisa dibendung - tergiur beragam produk camilan - berujung pada pembelian yang kadang tak terencana. Dinikmati sendiri? Well, tak mungkin seluruhnya, bukankan menjaga berat badan telah dianggap penting?
Disinilah rasa bersalah karena belanja berlebihan, dibalans dengan melakukan sesuatu yang lebih luhur : mengoleh-olehi. Terasa luhur kubilang karena dalam banyak perspektif, oleh-oleh adalah tradisi kita dari beratus tahun lalu - diperkuat sejak berhaji menjadi bagian dari kita.
Kreatifitas dan Potensi Bisnis Camilan
Definisi Industri Kreatif (baik menurut Howkins maupun jajaran Marie Pangestu) memuat camilan dua kali (versi analisaku). Satu kali di bawah kelompok kerajinan, dan kedua di bawah kuliner. Camilan memang unsur utamanya kreatifitas. Delapan tahun lalu, ketika aku mulai sering mengajar keliling Indonesia, tidak terlalu mudah mencari oleh-oleh tahan lama. Namun saat ini setiap kota, setiap daerah seperti berlomba-lomba meng’rajin” camilan yang lantas diklaim sebagai khas daerah.
Misalnya Mataram, Lombok. Beberapa tahun lalu, selain telur asin dan tahu, agak sulit mencari penganan kering untuk dibawa pulang. Bulan Juni lalu, aku dan teman-teman dibuat termehek-mehek di toko bernama Phoenix. Dari lantai sampai ke loteng, dipenuhi makanan yang tak pernah kulihat sebelumnya dalam berbagai ukuran kemasan, dari sepersekian kilo sampai berkilo-kilo. Kreatifitas tidak berhenti pada jenis bahan baku (tomat, rumput laut, wijen hitam dsb.) tapi juga pada pengolahannya (digoreng, ditepungi, ditaburi bumbu, dikeringkan, dimaniskan, dibuat dodol, diasamkan, dibuat jelly). Begitu pula di Pekanbaru, di bandara berderet-deret berbagai penganan menyebut dirinya khas Riau : lempok dalam berbagai bentuk dan kemasan, kue Kemojo, kue pisang Batam. Aku besar tumbuh di Riau. Tak pernah pun kukenal kueh mueh ini sebagai khas Riau. Namun begitulah versatilenya bisnis penganan/camilan atau oleh-oleh ini. Mereka sanggup mere-invent diri berkali-kali.
Di Medan, jalan Mojopahit yang dipenuhi kotak-kotak bika ambon, manisan ala melayu deli dsb., bukan satu-satunya sentra oleh-oleh. Dari tahun ke tahun, permintaan teman akan buah tangan setiap kali aku ke Medan berubah-ubah. Satu tahun, bolu meranti, kemudian kue tiramisu durian dst. Inovasi orang Medan tak pernah berhenti. Di Jambi, tujuh tahun lalu, aku terpaksa hanya bawa empek-empek dan tempoyak. Aku tak terlalu puas, karena juga bernafaskan palembang bukan melulu Jambi, lagipula tak tahan lama. Sekarang, tiba-tiba muncul kerajinan yang memproklamir diri sebagai khas Jambi, kue kacang dan selai nanas goreng. Di Belitung, berbagai olahan laut bukan hanya dalam bentuk kerupuk dan terasi, tapi juga rusip (bilis yang difermentasi dan dimakan mentah sebagai penambah selera). Tahun lalu aku ke Belitung, dan voila.... ternyata bukan hanya olahan hasil laut saja. Di kota kecil Manggarr aku tanpa direncanakan memilih duduk di warkop (di antara begitu banyak warung kopi yang ada - Manggar terkenal akan ini) yang ternyata memproduksi keripik sukun. Berbungkus-bungkus kopi Manggar dan keripik sukun memenuhi koperku saat kembali.
Satu hal yang kuamati mendorong bisnis ini juga adanya konter-konter oleh-oleh dan camilan di bandara-bandara ibukota propinsi. Tak sempat belanja oleh-oleh di Bandeng Presto Juwana, Semarang atau di Ibu Rudy dan Toko Bhek, Surabaya? Jangan kuatir, ada outlet mereka di bandara saat akan naik pesawat pulang.
No comments:
Post a Comment