Saturday, June 1, 2013

JALAN SURABAYA, JAKARTA


Dalam foto ini, duduk di dalam kiosnya yang bak Gua Aladin  (di mataku), Pak Abdul Gani, asli Banten, lahir di Utan Kayu 82 tahun lalu. Beliau sudah berjualan antik di jalan Surabaya -di bagian belakang yang terbelah oleh kali dengan tempat sekarang- sejak tahun 1956, setahun sebelum ia menikah. Pada tahun 1973 ia beserta rekan2 pedagang antik mohon kepada gubernur saat itu, Alm. Ali Sadikin untuk dibangunkan infrastruktur yang lebih memadai. Argumen mereka saat itu (menurut Pak Abdul Gani), kriteria los tempat berdagang yang mereka harapkan adalah yang 'tiga E': enak dilihat, enak dirasakan, enak ditempati.

Setahun kemudian mereka pindah ke depan, di sepanjang trotoar jalan tsb., di tempat berdagang yang dibangunkan untuk mereka, berupa los tidak berkunci. Setiap sore, usai berjualan, semua barang yang ratusan (setiap los) itu harus dikemasi menyebrangi kali kembali, untuk dipajang lagi ke depan esok paginya. Begitu terus bolak balik setiap hari.

Tahun 1980-an menurut salah satu pemilik kios, Pak Toma, adalah zaman keemasan. Pada saat itu pembeli terbanyak mereka berasal dari mancanegara. ("nama asal mana tuh Pak, kok lain dari yang lain? Apakah nama marga?" tanyaku. Pak Toma cengar-cengir: "bukan, nama beken2an saja. Semua kenal saya dengan nama itu"). Sekarang bisnis tidak terlalu buruk, pembeli kebanyakan turis dari negara Cina, Korea dan Thailand. Yang disebutkan terakhir ini, pembeli dari negeri gajah putih, membeli dalam satuan kontainer, untuk dijual kembali.

Salah satu penjaja, Mas Agus, menyodorkan tempat majalah antik dari besi tempa untuk saya beli: "Ibu saja yang beli ini deh. Kemarin sudah ditawar orang Thailand, saya gak kasi. Sayang, barang bagus, biar disimpen di sini aja deh, sama orang kita".

~~

Puluhan tahun sejak keputusan menata dan merapikan tempat dagang barang antik ini diambil, ternyata jalan Surabaya bukan saja membuat para pedagang bermodal secukupnya ini dapat menyambung nafas usaha dengan lebih tenang. Kios-kios sepanjang jalan ini juga memperindah, memberi karakter pada Jakarta dan bahkan menjadi tempat kunjungan wisatawan.

Legacy Pak Ali Sadikin, mendengarkan aspirasi warga, tak pandang hanya yang punya kuasa dan harta.

No comments:

Post a Comment