(Tribute buat sahabat-sahabatku)
Kita tidak pernah tahu kapan Tuhan memutuskan untuk menebarkan lagi serpihan momen indahnya untuk disyukuri.
Sebenarnya setting tempatku duduk ini sudah cukup sempurna... Aku duduk menghadap komputer, mengetik bermacam-macam jenis tulisan, mulai surat sampai modul. Di depanku paling tidak beratus jenis pohon dengan bermacam bentuk membingkai ruang pandangku. Aku terkagum-kagum - kok bisa ya satu jenis warna, hijau saja, bisa bernuansa beragam seperti ini? Di sebelah kananku deretan gunung di kejauhan seperti lukisan tiongkok, berlapis-lapis (yang jika dilukis, aku tahu, memerlukan sedikit campuran abu-abu dan putih). Kalau aku bisa menggambar, pasti sudah kupindah ke kanvas, kata hatiku, sambil tak henti-henti (ia: hatiku) tersenyum.
Jam sebelas siang begini, restoran hotel ini sudah ditinggalkan oleh para weekenders yang tadi pagi memenuhi meja-meja di sekitarku. Ini jam ketiga sejak aku dan laptopku menghuni meja favoritku, di pinggir, menghadap tebing.
Baru saja, tidak sampai tiga menit yang lalu, tiga orang lelaki usia lanjut (pertengahan tujuh puluhan) keturunan tionghoa bangkit dari kursi mereka di samping kiriku, mengangguk menandakan salam, dan meninggalkan ruangan dikawal oleh salah satu cucu mereka. Bagaimana aku tahu usia mereka? Dan bahwa yang paling muda adalah salah satu cucu? Well, tiga puluh menit yang lalu aku duduk di tengah mereka, mengundang diriku sendiri - setelah sempat ragu-ragu beberapa saat. Aku senang akhirnya mendapatkan kekuatan untuk memperkenalkan diri kepada mereka.
Ketiga kakek tadi segera mengundang perhatianku, karena telingaku tak sengaja mendengar percakapan mereka. Aku tak enak hati telah "mencuri dengar" obrolan mereka. Namun mereka berbicara dengan keras sekali, sehingga angin membawa penggalan percakapan ke "wilayah" yang aku tempati. Otakku berspekulasi , apakah mereka bersaudara? Sedang reuni? Membicarakan warisankah? Atau masih bersemangat mendiskusikan bisnis? Yang menarik untukku adalah isi pembicaraan, mulai dari peraturan berbisnis di negara tertentu (aku tak jelas menangkap, dimana) sampai PIN Blackberry !!! Wah, tangggap teknologi juga ini opa-opa.
Akhirnya aku menyeret diri setengah excited, setengah enggan, setengah malu (lho, jadi satu setengah ya?), ke meja mereka, dan memperkenalkan diriku. Aku lega bahwa mereka mempersilahkanku duduk dengan ramah dan menerangkan bahwa mereka telah berteman selama 50 tahun !!! "Apakah teman SMA ?" galiku. "Oh, bukan, kami bertemu dalam berbagai fase perjalanan. Kami berdua teman SMA, tapi bapak ini dan saya, teman dagang " Salah satu yang paling "talkative" mengibaskan tangannya kesana kemari, menunjuk untuk menekankan penjelasannya.
Aku pikir mereka memang hanya bertiga, bertemu secara berkala. Yang terakhir benar, mereka rajin menyambangi satu sama lain. Tak selalu di Bandung, seperti hari ini, tapi juga di Sukabumi, Garut, dan kota-kota sekitar Bandung lainnya. Namun tak selalu hanya bertiga: "Tadinya ramai, tetapi banyak yang sudah dipanggil Yang Di Atas", kata mereka sambil telunjuknya diarahkan ke langit.
Setelah mereka pergi, kehangatan celoteh dan tawa mereka masih tertinggal di ruangan. Dadaku serasa hangat. Hari rabu lalu aku dan teman-teman kuliah berkumpul makan siang bersama di rumahku. Aku bayangkan beberapa di antara kami akan tersisa sekian puluh tahun lagi - lalu makan siang di suatu tempat. Rambut kami akan total berwarna putih dan pendengaran berkurang, tapi rasa persahabatan malah tambah memenuhi hati. Aku mungkin saja termasuk yang mendahului atau yang tertinggal, wallahu alam. Namun apapun, aku makin yakin, silaturahmi adalah harta tak terbeli dan patut dirawat.
Seperti aku tulis di atas tadi, Tuhan memberi serpihan ekstra momen berharga secara tak terduga. Ujung mingguku dimulai dengan indah - kebahagiaan tiga sahabat tadi menular.
No comments:
Post a Comment